Selama hampir 17 tahun saya tak pernah bertemu dengan salah satu kawan saya semasa SMP itu. Tapi tiba-tiba satu hari, di pertengahan bulan Agustus lalu, saya dipertemukan dengannya di sebuah pasar di Binuang, Serang.
Saya sedang berjualan tas anak waktu itu dan menggunakan masker. Dari jarak yang cukup dekat, saya dapat mengenalinya dengan baik. Sambil menuntun seorang gadis kecil, saya taksir umur anak itu mungkin 4 tahun, dia makin mendekat ke arah saya. Saya menebak dalam hati, pasti itu anaknya. Tapi kawan saya itu belum menyadari keberadaan saya, karena saya menggunakan masker. Sesungguhnya ada rasa bahagia membuncah dalam hati, tapi saya tahan dan memilih bersikap sewajarnya, lalu lekas saya sapa dia, sambil saya membuka masker, agar ia bisa mengenali saya dengan baik.
BACA JUGA:
Cermin dalam Kamar Mandi
Kami tak saling peluk, hanya bersalaman saja. Mungkin juga karena situasi yang tidak mendukung. Apalagi jalan pasar mulai disesaki motor, mobil, dan pejalan kaki. Ternyata dia tinggal tak jauh dari pasar ini, dan anak gadis itu benar saja merupakan anak kandungnya. Setelah cukup basa-basi, tiba-tiba dia menitipkan anak gadisnya. Sambil dia menunjuk hendak ke barat.
Saya mengiyakan. Sebab saya berpikir dia hanya sebentar. Tak masalah. Untungnya si gadis kecil nurut, dan mau menunggu di samping saya. Sesekali saya ajak mengobrol anak gadis kecil itu, tapi rupanya dia masih malu-malu, mungkin saya masih asing di mata si anak.
Waktu berjalan terus. Tapi teman saya itu tak juga muncul. Sesekali saya melihat sekeliling, mata saya sibuk mencari-cari dia di tengah lalu-lalang orang-orang pasar. Tapi sosok yang saya cari tak juga ketemu.
Perlahan mulai timbul rasa tak sabar. Lama sekali kawan saya ini pergi? Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan baru: kenapa dia berani-beraninya menitipkan anak gadisnya pada saya? Bagaimana kalau saya berubah jadi jahat dan membawa kabur anak gadisnya?
Tapi tetap saja saya tak melihat tanda-tanda kemunculan kawan saya itu. Hati saya makin jengkel. “Lama sekali ini orang!” batin saya. Sudah tahu saya juga sedang sibuk berjualan, malah dititipi anak kecil—meski si anak tak sampai rewel—bikin saya jadi makin kerepotan mengurusnya. Tapi tetap saja saya tak sabar ingin lepas dari amanah titipan anak orang ini.
Setiap satu menit berjalan, rasanya seperti satu jam berlalu, ketika kawan saya yang bernama Rohli itu tak juga menampakkan batang hidungnya.
“Rohli, kamu lagi beli apa, sih? Lama banget!” gerutu saya, masih dalam hati dan sambil sesekali menawarkan dagangan saya pada calon pembeli.
Tak sengaja, saya melihat Rohli sedang sibuk mengatur lalu-lintas, mengatur mobil dan motor yang seperti tak mau mengalah, ingin jalan lebih dulu, ditambah orang-orang pasar yang menyesakki jalan.
“Astaga, ternyata kamu sekarang jadi juru parkir, Roh?” kata saya dalam hati. Rohli terus sibuk mengurai kemacetan di jalan utama pasar. Saya sering melihat orang-orang seperti Rohli, yang jadi tukang parkir dadakan jika jalan pasar sedang macet. Polisi gopek istilah slangnya.
Saya baru tahu sekarang, ternyata ini sebabnya Rohli lama menitipkan anaknya: jadi tukang parkir dadakan. Lagi-lagi saya menggerutu, “Kalau sedang kerja jadi tukang parkir, kan mestinya nggak usah bawa anak segala?” Saya jadi tambah kesal.
Saya perhatikan Rohli mulai bisa mengurai kemacetan. Tiba-tiba ada pemandangan aneh. Rohli tak meminta jasa parkirnya! Setelah kemacetan terurai, dia tidak menagih minta uang parkir. Malah dia langsung pergi dan menemui saya dan anaknya.
Tanpa saya tanya, Rohli mulai bercerita sendiri. “Tadi pas di sana macet. Enggak ada yang mau ngatur. Jadi saya turun tangan,” kata Rohli sambil mengusap keringat di dahinya.
Astaga! Ternyata pikiran-pikiran buruk saya tentang Rohli semuanya keliru.
Tiba-tiba saja kenangan saya terlempar pada tahun-tahun yang lalu, saat saya masih satu kelas dengan Rohli di SMP. Dia yang selalu aktif di kegiatan Pramuka dan seringkali dipercaya guru untuk menjadi salah satu petugas upacara atau pasukan Paskibraka setiap hari Senin. Bahkan saya tahu, saat SMA, meski kita berbeda sekolah, Rohli masih aktif dan bersetia pada kegiatan Pramuka.
BACA JUGA:
Cermin dalam Kamar Mandi
Tiba-tiba saja saya merasa malu sendiri sudah menilai buruk tentang Rohli. Maafkan saya atas semua syak wasangka buruk ini. Tuhan, tolong bersihkan hati ini dari prasangka-prasangka buruk tentang orang lain. (*)
Serang, 2 September 2020