FILM YANG MUNDUR

Di antara warna yang senja lupa,
angin mengusap debu jendela di namamu.

Kita duduk di tepi waktu,
membaca ulang percakapan
yang tak pernah selesai.

Di kejauhan,
sebuah kota berjalan ke belakang,
seperti film yang diputar mundur:

gedung-gedung tumbuh ke tanah,
kereta surut ke peron,
dan kita,

tak pernah bertemu.

***

HIPNOSIS KENANGAN

Aku terhip—
nosis

daun jatuh,
tapi siapa menjatuhkannya lebih dulu—
angin atau waktu?

seperti puisi mencatat dirinya sendiri,
di halaman yang lupa dilipat.

Aku terhip—
nosis

kata-kata,
dengar, ia membentur dirinya sendiri,
melengkung di jendela,
mengendap di gelas kopi,

menghujani pagi dengan suara tak selesai.

Aku terhip—
nosis

waktu,
ia seperti pintu tak pernah tertutup,
seperti jalan tak kunjung pulang.

Aku terhip—
nosis

nama yang nyaris kusebut
tapi tertahan di pecah bibir,
menunggu rintik reda,

menunggu dunia jernih dari ampas kenangan.

***

DI UJUNG DAGO

Sepi merapat

Bibirmu menjauh
Di dingin Dago
Kita mengepulkan pisah

Desir patah di pucuk pinus
Darahku mengeras di batang janji
Tatapmu tajam, serupa duri

Kita retak tanpa suara

Aku mengeja bayangmu
Di trotoar basah
Hujan menyekam luka
Kisah remang meruap di dada

Langkahmu tinggal jejak
Di tikungan tanpa arah
Aku berdiri di ujung malam

Menunggu habisnya dendam.

*) Image by istockphoto.com