ilustration: Still Life Dining Table Scene in the Manner of Bernard Buffet

Di dalam warung nasi, sudah tampak dua orang pelanggan, seorang bapak yang sedang berdiri membayar makanan di kasir, serta seorang wanita berumur 30-an berwajah ceria, berkaos lengan panjang berbalut rompi hijau muda yang sedang berjalan membawa hidangan di piring menuju kursi.

     Tak lama, datanglah Ayu, lalu memilih-milih hidangan. Setelah itu ia duduk satu meja dengan wanita berompi hijau daun itu, yang hanya makan dengan sayur gudeg, sepotong tempe goreng, dan juga sambal—sementara Ayu sendiri dengan paha ayam dan satu kikil. Tanpa segan Ayu lalu bertanya, “Makannya itu saja? Sederhana…”

     Wanita berompi hijau muda memalingkan muka, tetapi dengan ramah menjawab, “Iya, aku harus mengatur uang. Kalau kau, suka kikil? Ya memang bagus untuk kekuatan lutut. Apakah kau bekerja berat? Tapi kok, kelihatannya anak kuliahan.”

     Ayu membalas, “Iya, aku kuliah.”

     Keduanya kemudian sibuk bersantap. Wanita berompi makan dengan sekali-kali berdecap, malah beberapa kali terdengar bunyi denting, tidak seperti Ayu yang makan tertib. Wanita berompi mendadak memperkenalkan diri. “Eh, kita belum tahu masing-masing nama. Tak ada salahnya kan? Aku Sari.”  

     Keduanya lalu saling menggenggam tangan. “Aku Ayu.”  Tiba-tiba, tercium bau keringat. Sari mengerti bahasa tubuh Ayu. Segera, dia menggeser pantatnya beberapa kali ke samping kanan. Ayu bicara, “Tidak apa-apa ..”

     “Mohon dimaklumi ya, aku kan kerja di jalanan…”

     Ayu terkejut, menghentikan mengunyah yang hampir saja membuatnya tersedak, segera meminum air teh di depannya. “Maksudmu, maaf, kau bekerja di jalanan menjadi wanita…?”

     “…, malam?” Sari terkekeh. “Itu pekerjaan paling dibenci di muka bumi. Memang, yang seperti itu enak kerjanya. Dalam beberapa jam saja sudah bisa mendapat tak sedikit uang. Coba kalau setiap hari mendapat beberapa order, berapa yang terkumpul dalam satu bulan…”

     Ayu segera memotong. “Aku tetap belum mengerti. Apa pekerjaanmu?”

     “Aku bekerja menyapu jalan. Ada beberapa ruas jalan utama di kota yang menjadi tanggung jawabku yang harus dibersihkan, aku digaji pemerintah. Saat subuh, sudah memulai. Bukankah itu berarti aku bekerja di jalanan? Ha ha ha.”

     Saat Sari tertawa, Ayu menjadi terdiam. Sari melihat air muka Ayu berubah. “Eh, kenapa ya, kok jadi tertegun?”

     “Tidak apa-apa. Aku hanya teringat tugas-tugas kuliah yang semakin menumpuk.”

     “O ya, aku jadi mendadak ingat sekarang. Di kampus kan ada istilah yang begituan. Apa ya….” Sari mencoba menerka-nerka dua kata yang pernah didengarnya. “Ah. Benar-benar lupa. Tidak tahu istilah-istilah orang kuliahan.. Kau pasti tahu ya.”

     Dengan pelan perlahan, Ayu berkata juga, “Ayam kampus…”

     “Nah itu.”

     “Kau bukan ayam kampus, kan? Tentu bukan, ya. Eh maaf bercanda. Maaf, ya.“

     Dua piring yang tadi berisi nasi kini sudah habis. Ayu tertunduk lumayan lama.

     “Maafkan aku, ya. Mohon memaklumi sekali lagi, aku hanya sekolah sampai SMP. Sejak dulu dikenal suka ceplas-ceplos.” Sari sebenarnya tak mau menyinggung lawan bicara yang baru dikenalnya.

     “Tidak apa-apa.”

     “Hari ini ada kuliah? Kalau aku kan sudah beres bekerja. Kerja lagi, nanti pukul tiga sore.”

     “Aku sedang libur.”

     “Jadi, sekarang bagaimana? Sarapan pagi sudah. Apa lagi?”

     “Di sini saja. Mendengarkan liku-liku pengalamanmu selama ini. Mumpung warung nasi lagi sepi.”

     Sari mengernyitkan kening. Lalu bercerita ketika pada suatu subuh itu, sedang berjalan memanggul sapu lidi panjang yang bersambung dengan potongan bambu yang telah diraut menjadi halus. Udara subuh masih bersih dan jalanan masih lengang, sehingga mulut dan hidung sengaja tidak ditutupi dengan masker. Aku menatap sampah-sampah di sepanjang jalan itu, rupanya lebih banyak plastiknya, bekas bungkus makanan-minuman yang dibuang orang sembarangan sepanjang malam.

     Dengan resiko terseruduk motor atau mobil, aku memulai. Baru belasan kali mengayunkan sapu, di belakangku dari jarak sekitar tiga meter, ada sedan mentereng yang bergerak langsam. Aku menepi, berjaga-jaga dari serempetan, tetapi mobil dengan kedua jendela terbuka itu malah berhenti. Samar-samar, kudengar dua orang bercakap-cakap dengan kasar.

     “Pelayanan kamu tidak memuaskan!”

     “Masalahnya, bayarannya kurang!”

     Kemudian, bruk! Seorang wanita muda cantik terduduk di pinggir jalan, pengemudi mobil mengeluarkannya dengan paksa. Aku mendekatinya, ingin menolong wanita yang wajahnya tidak begitu jelas terlihat itu karena jalan raya remang—lampu di tiang PJU mati. Tetapi tak disangka, aku malah mendapatkan hardikan kasar dari wanita itu. “He, ngapain pegang lenganku?”

     Aku tak membalas hardikan. Aku membiarkan dia bangkit sendiri. Merapikan dirinya sendiri. Kemudian dia seraya berjalan, melarak-lirik mencari ojek liar di sekitar jalan itu. Aku tahu, di sini ini tidak ada ojek, maka aku berkata, “Di sana, di perempatan depan, belok ke sebelah kanan….” Wanita itu hanya menatap tajam.

     Ayu mendengarkan cerita Sari dengan antusias.

     “Eh kenapa matamu berkaca-kaca?”

     “Aku membayangkan begitu berat pekerjaanmu.”

     “Sudah terbiasa…”

     “Kelanjutannya bagaimana.. Cerita itu sangat menarik bagiku….”

     “Sudah selesai. Ya, aku selalu menyayangkan wanita malam itu, kenapa tidak segera kembali ke jalan yang benar. Bukankah tidak sedikit kejadian, wanita malam yang meninggal karena penyakit kelamin, atau yang amit-amit, yang sampai dihabisi pelanggannya?” “Oh..,” Ayu memintas pembicaraan.  

     “Sekarang aku bercerita lagi ya.. tentang wanita malam juga. Bahannya aku dapatkan dari kolom curahan hati sebuah surat kabar yang pernah aku baca,” dan Ayu mengangguk, siap mendengarkan.

     Wajah wanita itu terlihat lebih berkelas karena riasan, tetapi menjadikannya tampak lebih tua beberapa tahun dari usianya yang baru 20. Tubuhnya semampai, berkulit kuning langsat, dibalut tank-top dan rok mini. Dengan tas tangan yang diselempangkan, dia berdiri di pinggir jalan. Seribu pesona dia pancarkan, dan tak hirau udara dan angin malam. 

     Matanya jalang melihat lalu lalang kendaraan. Telah beberapa mobil dengan lampu yang berkedip menepi, kemudian pengemudi-pengemudi atau penumpang-penumpangya melakukan tawar-menawar dengannya. Tetapi, semuanya meluncur pergi. Rupanya, harga yang ditawarkan wanita itu terlalu tinggi bagi mereka.

     Malam terus saja merayap, berbarengan dengan silih bergantinya puluhan pasang mata lelaki yang menatap wanita itu penuh birahi.

    Menjelang pukul sepuluh malam, sebuah jeep keluaran terbaru berhenti di depannya. Jendela mobil sebelah kiri terbuka. Keduanya bercakap sebentar. Kali ini, ada kata sepakat bulat, kemudian pergi ke sebuah tempat.

     Di vila berhawa dingin, pria yang menyewanya memberinya uang, cukup untuk membayar sewa kamar selama dua bulan.Tetapi untuk kali ini wanita itu merasakan kehampaan, tidak seperti tiga bulan lalu saat pertama kali menceburkan diri, ketika bisa benar-benar penuh gairah menikmatinya.

     Malam terus merangkak. Suasana vila terasa sunyi, seperti yang wanita itu rasakan di dalam hatinya dengan batin yang terus bergejolak memberontak. Pukul satu pagi, dia memaksa pulang. Untung saja pria yang memakai jasanya berbaik hati, mau mengantarkannya sampai beberapa puluh meter lagi ke tempat kost-nya yang baru. Lalu, dia langsung saja merebahkan diri di kamar. Udara dingin di kota ini memanjakannya tidur lelap.

     Dia baru terbangun setelah matahari bersinar. Dirasakannya badannya pegal, bekas tadi malam tentunya. Dengan malas, diregangkan kedua tangannya. Dia sama sekali bukan yang dulu ketika masih kecil, saat masih tinggal bersama orang tuanya, saat selalu bangun subuh pertama kali, yang selalu mendahului kedua kakaknya.

     Duduk di atas kasur tanpa ranjang, ditatapnya foto usang di dinding kamar yang sengaja dia pasang. Keluarganya saat itu masih utuh. Ayahnya yang tampan, ibunya yang cantik dan dirinya serta kedua kakaknya yang masih imut. Kala itu benar-benar merasakan keindahan satu keluarga yang utuh. Keluarga itu benar-benar bahagia. Saban minggu saat kecil, berwisata ke sepenjuru pusat kota kelahirannya.

     Ah, dia tak mau larut dengan kenangan. Dia mengambil dompet, dibukanya. Dihitung ulang seraya memastikan, berapa tadi malam pria itu memberinya uang. Pria itu baginya jujur, jumlahnya sesuai kesepakatan. Kemudian dipilah-pilahnya semua uang. Untuk makan sehari-hari, untuk membeli beberapa alat kecantikan, dan sebagian lagi akan disimpan. Entah kenapa, kali ini tatapannya kosong memandang semua uang dalam genggaman.

     Sebenarnya, sebulan yang lalu, semenjak teman sesama profesinya meninggal akibat penyakit kelamin, sudah berniat untuk berhenti. Tetapi, ketika uang sudah tipis, niat melemah, iman pun goyah. Akhirnya, pergi lagi menembus udara malam, mencari pria yang menginginkan cinta sesaat. Saat kuliahlah musibah itu berawal, kesuciannya direnggut seorang pria beristri. Kemudian berteman dengan teman mahasiswi yang seorang wanita nakal, hingga dia pun terbujuk rayu, terjerumus.

     Tiba-tiba, ada dua orang  pengunjung yang datang ke warung nasi ini. Namun Ayu dan Sari tak mempedulikan. Sari kemudian berkata, “Memang susah untuk menyadarkan orang-orang seperti itu. Harus sadar sendiri. Tetapi kapan?”

     Ayu terdiam, hatinya bicara,“Moga-moga saja secepatnya aku mendapat hidayah dari Tuhan.”