Aku bertemu Sensei di Stasiun Shinjuku. Tepatnya di depan deretan loker koin. Aku tengah mengambil sebuah tas dan akan berangkat kerja tatkala baru aku sadari di sampingku ada orang yang kukenal di masa lalu. Lima belas tahun lalu. Sensei masih awet muda, senyum ramah dan ketampanannya tak pernah lekang. Kami saling mengangguk dan basa-basi antara guru dan murid sebagaimana biasa kalau dalam situasi macam itu. Namun, sebuah kalimat singkat dari Sensei membuyarkan kedirianku dan aku sadar setelah itu aku merindukannya.

            “Cuaca Tokyo hari ini bagus sekali, kalau pakai payung sendirian pasti sedih ya.”

            Setelah dia mengucapkan kalimat itu, gerimis turun. Belum sempat aku menjawab, Sensei sudah pergi sembari melambaikan tangan.

            Aku tiba di apartemen sekitar enam jam setelah pertemuan kami. Usai meletakkan semua barang bawaanku dari Shinjuku ke restoran teppanyaki di Ginza, aku pulang ke Adachi, salin, dan langsung tidur. Keesokannya aku teringat mimpi akan Sensei.

            Aku coba kembali ke loker koin di Shinjuku, berharap bertemu Sensei. Namun, hari itu dia tidak ada di sana. Mungkin dia tidak lagi menyewa loker di stasiun, dan rasa resahku pun mesti tinggal lebih lama.

            Ingatanku kembali begitu jauh. Sensei yang ramah mengajar sastra dan saat itu setelah menerangkan isi pikiran Soseki dari sebuah buku, seseorang mengetuk pintu kelas kami dan Sensei meminta kami untuk tenang. Guru olahraga, yang masih sepupu Sensei, berbisik di telinga kirinya. Kami tak jelas mendengar berita apa yang disampaikan. Begitu terkejut, Sensei tak dapat melanjutkan pelajaran. Dia meminta waktu untuk keluar. Saat Michiro-sensei si guru olahraga kami tanyai, dia mengatakan istri Sensei baru saja meninggal di rumah sakit. Aku dan kawan-kawanku sedih, mengingat Sensei sosok menyenangkan dan baru kami tahu bahwa dia mengurus istrinya sembari tetap mengajar. Esoknya kami di kelas tahu istri Sensei sakit kanker payudara stadium akhir.

            Seminggu Sensei tidak mengajar. Kami cemas. Anak-anak gadis di kelas kami, yang menyenangi sikap dan wajahnya, bertanya kepada siapa pun yang dapat ditanyai. Mereka ke ruang guru dan bertanya kepada para guru, tetapi terlihat jelas para guru enggan memberi tahu. Baru di kemudian hari, setelah Sensei berhasil menata lagi perasaannya, dia datang kembali ke kelas kami. Namun, tak ada yang berani bertanya kabarnya selama ini.

            Sudah lama aku mengagumi Sensei. Dia punya putri yang masih kecil saat istrinya meninggal. Kini tentu saja putrinya sudah remaja. Menginjak SMA mungkin. Dalam rentang 15 tahun kekagumanku yang biasa-biasa saja kepadanya, setelah menjalani pelbagai kisah cinta yang kadang sedih kadang senang, aku kembali ke titik awal keterpesonaanku pada sosok Sensei, dan baru kini kusadari aku jatuh cinta kepadanya. Sungguh hal yang terkesan mengada dan aneh. Namun, hatiku tak bisa berpaling dari Sensei.

            Betapa aneh lipatan kehidupan ini. Fakta bahwa kami tak beranjak dari Tokyo selama puluhan tahun tanpa pernah ketemu lagi setelah aku lulus sungguh mengherankan kalau kupikir-pikir lagi. Tokyo tak terlalu luas, hanya ramai. Apa selama itu kami tak pernah berpapasan?

***

Hari Minggu aku ke Nakano menemui kakak-kakakku. Mereka mau mengajak aku minum-minum dan makan kerang meski di restoran teppanyaki tempatku bekerja, aku sering makan simping yang disisakan pelanggan. Kebiasaanku ini sempat diejek secara bercanda oleh manajer restoran. Aku mengatakan kepadanya bahwa tidak elok menyisakan makanan. Apalagi resto teppanyaki kami menyajikan bahan-bahan terbaik.

Sejak itu, bila ada simping yang tersisa dan masih bagus di piring pelanggan, rekan kerjaku juga mengikuti apa yang kulakukan. Kami tertawa dan gembira untuk semua makanan yang kami masak: terung, kubis, tauge, daging Kobe maupun Akita yang kadang (meski tak sering) disisakan, simping, jamur, dan bir dingin. Orang-orang kaya tak pernah menghabiskan itu semua dalam sekali santap; mereka lebih suka menyia-nyiakan makanan.

            Nakano, sebagaimana sudut-sudut Tokyo lainnya, cerah hari itu. Namun, aku membawa payung karena teringat Sensei.

            “Kau aneh Yumeko, hari seterik ini mana ada hujan.” Kakak pertamaku menyela setelah aku masuk apartemennya dan meletakkan payung di genkan.

            “Buat jaga-jaga. Kita tak tahu apa yang akan terjadi. Hidup itu seperti roller coaster.”

            “Aku lebih suka roda ferris!” seru kakak keduaku dari kamar mandi. Apartemen studio itu minimalis, jadi semua yang diucapkan di ruangan terdengar di segala penjurunya.

            Kedua kakakku tinggal bersama dengan kontrak sparing. Keduanya bekerja sebagai ahli gizi di salon kecantikan yang letaknya tak jauh dari apartemen.

            Kakak pertamaku, Mio, akan menikah bulan September nanti. Usia kami semua sudah terlalu matang untuk menimang bayi dan kedua orang tua kami selalu mengomel. Untung Mio akan menikah, itu meredakan tekanan bagi aku dan kakak keduaku, Sayuki.

            “Di kulkas sudah banyak bir, kita akan ngobrol banyak hari ini,” ujar Mio.

            Aku melangkah ke depan kulkas. Sudah ada banyak bir.

            Kami minum setelah Sayuki selesai mandi. Di meja sudah tersedia berbagai kerang untuk kami santap. Sesekali aku menatap teve yang menyajikan acara dagelan yang kadang kunikmati kalau Minggu siang seperti ini. Aku minta Sayuki mengencangkan volumenya. Namun, kakakku itu tak menjawab. Dia masih sibuk menulis pada layar gawai di tangan kanannya.

            Aku beranjak dari meja dan meraih remot. Suara tawa penonton di depan adegan lawak itu memberiku perasaan riang.

            “Bagaimana, sudah dapat kekasih baru?” tanya Mio tiba-tiba.

            Aku terdiam, memainkan kaleng asahi di tangan kiriku. Bibirku mencebil untuk menyatakan perasaan tak enakku akibat pertanyaan kakakku itu.

            “Sudah, lupakan orang itu. Tak sebanding dengan kamu. Kamu terlalu berharga, Yumeko,” kata Sayuki kepadaku.

            “Aku sudah lupa sama sekali pada dia. Kami sudah tidak kontakan lagi selama dua bulan ini. Dan perlu kalian tahu, ada seseorang yang kusuka akhir-akhir ini, tapi aku tak sempat bertemu lagi dengannya.”

            “Benar?” Kakak-kakakku tampak senang, aku pun tersenyum. “Kamu tidak punya nomor kontaknya?”

            Aku menggeleng.

            “Apa dia teman kuliahmu? Atau pelanggan restoranmu?”

            “Dia guru SMA-ku dulu,” jawabku enteng.

            Mio dan Sayuki kaget. “Jangan bercanda, Yumeko!”

            “Sungguh.”

            “Apa kau yakin. Usiamu dan usia gurumu pasti terpaut jauh. Kau yakin tak menyesal suka dengan orang tua. Apa dia punya istri, sudah punya anak?” tanya Sayuki.

            “Dia duda, istrinya meninggal puluhan tahun lalu. Anaknya sudah besar sekarang mungkin.”

            “Kau masih yakin kali ini tak salah pilih?” Mio menatapku dengan pandangan iba. Aku jadi tak enak karena hal itu, seolah aku kelinci yang rela masuk kandang singa.

            “Entah kenapa aku merasa selama ini aku jatuh cinta kepadanya. Sejak dulu aku mengaguminya. Sudah lama kami tidak bertemu. Akan tetapi, kemarin di Shinjuku kami bertegur sapa setelah 15 tahun. Rasanya menyenangkan. Aku harap bisa bertemu dengannya dan mengaku.”

            Kedua kakakku terdiam. Selang beberapa saat Mio pun kembali bersuara.

            “Baiklah, baiklah. Saatnya kita lanjutkan minum-minum lagi. Hari Minggu itu pendek. Ayo, masih banyak stok di kulkas. Kau juga tak mau ke mana-mana ‘kan?”

            Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Ini berarti mereka sudah tak akan bertanya lagi tentang masalah asmaraku dan semuanya jelas. Tinggal menemukan Sensei saja. Selama minum-minum aku terus menumbuhkan harapan agar dapat bertemu dan mengutarakan rasa cintaku kepada Sensei.

            Pukul 16.00 lebih lima menit aku pulang setelah tidur satu jam di apartemen kakak-kakakku. Aku tak banyak minum bir dan setelah tidur rasanya tubuhku segar. Di konbini aku membeli kopi hangat dan menantikan gerimis seperti pada saat di Shinjuku. Namun, langit terbentang tanpa mau kompromi dengan harapan di hatiku. Aku keluar konbini dan seseorang dari balik punggungku menyapa.

            “Yumeko-san!”

            Aku berbalik. Sensei ternyata!

            “Sensei!” Aku semringah. Teriakan terkejutku menyadarkan orang-orang di sekitar. Wajahku merona seketika.

            Sensei tersenyum.

            “Maaf, Sensei. Saking kagetnya aku bisa bertemu denganmu.”

            “Santai saja. Kamu selalu semangat dari dulu. Itu lumrah!”

            Kami berjalan keluar area konbini.

            “Kamu biasa ke daerah sini?” tanya Sensei.

            “Kedua kakakku tinggal di sini. Itu, di apartemen sana!” Aku menunjuk sebuah bangunan tinggi yang mudah dikenali.

            “Kebetulan, aku juga tinggal di sini.”

            Sensei pun menerangkan lebih jauh sembari kami berjalan menuju apartemennya. Dia ternyata tinggal di apartemen yang letaknya dua blok dari kontrakan kakak-kakakku. Aku senang mengetahui hal ini. Namun, setelah hampir sampai, aku kebingungan, mengapa aku mengikutinya.

            “Masuk dulu ke tempatku?” tanya Sensei.

            Aku pun hanya mengangguk. Kami berdua masuk.

            “Permisi.”

            Lampu menyala, ruangannya bersih dan tampak rapi, menunjukkan ketenangan hidup Sensei selama ini.

“Aku tinggal sendiri di sini.”

Putrinya menempuh pendidikan di sekolah khusus perempuan di Fukuoka. Ketika kutanya kenapa mesti Fukuoka, Sensei bilang rumah ibunya ada di sana, dan putrinya bahagia di sana sebab dia sekolah bersama dengan dua sepupunya, anak-anak dari adik Sensei.

            “Kali pertama aku kesepian, tapi Tokyo-Fukuoka itu bisa ditempuh beberapa jam dengan kereta peluru. Tentu boros kalau aku kerap menyambangi Fukuoka. Aku pikir ini latihan kemandirian baginya. Jadi aku menunda kerinduanku dan hanya datang kalau hari-hari besar macam festival Gion Yamakasa di Hakata, untuk ikut menonton kemeriahan arak-arakan keliling kota,” ujarnya.

            “Aku senang bertemu lagi denganmu, Sensei. Karena ada yang ingin aku katakan sebenarnya.”

            Sensei mengangsurkan teh hangat ke tanganku. Aku memegang mug warna merah jambu itu erat-erat. Kami duduk saling berhadapan di meja kecil dekat rak buku. Sore sudah temaram dan kaok gagak sayup terdengar.

            “Apa, Yumeko-san?”

            Aku mendongak untuk menatap lurus-lurus ke matanya. Lalu kukatakan, “Aku mencintaimu, Sensei.”

            Sensei berusaha tersenyum. Dia menggaruk kepalanya tiga kali.

            “Kamu bercanda, ‘kan? Kamu masih punya hari yang panjang. Aku sudah tua, apa kamu tidak sadar?”

            Meski mengatakannya dengan ekspresi senyum renyah, aku tahu Sensei serius. Dia tidak bisa menampakkan muka marah atau jengkel sejak dulu.

            “Sensei pikir aku asal omong? Aku sudah lama menyukaimu.”

            Sensei masih diam setelah aku mengucapkan kata-kata itu. Dia mengembuskan napas.

            “Lain kali kita bertemu di kafe di Shinjuku mau?”

            “Ya,” jawabku.

            Setelah bertukar nomor kontak seluler, aku pun beranjak dari meja ruang tamu dan keluar dari apartemennya. Sensei mungkin kebingungan dengan pernyataanku. Aku rela mengalah dulu, tetapi tidak menyerah karena kadung cinta kepadanya.

Setelah pulang ke Adachi, aku kembali yakin, benang takdir kami yang selama ini terputus walau jarak hanya sepanjang 19-25 kilometer dengan waktu tempuh setengah jam saja, menjadikan ini semua tampak seperti keajaiban yang aneh. Namun, aku tak berpikir lebih jauh lagi. Aku benar-benar mencintai Sensei.

***

Sensei menghubungiku esoknya. Kami akan bertemu di kafe di Shinjuku jam sembilan malam pada hari Rabu. Waktu yang bertepatan dengan selesainya kerjaku di Ginza. Aku mengabari Sensei bahwa mungkin aku terlambat setengah jam, dengan alasan tempat kerja. Sensei mengerti dan bilang untuk santai saja. Dia akan menungguku.

Aku selesai kerja lalu ganti baju dan memesan taksi via online. Tak sampai setengah jam aku tiba di Shinjuku. Dari kejauhan, aku melihat Sensei yang sudah duduk di bangku kafe dan tengah minum kopi. Menyadari aku memandangnya, dia melambaikan tangan sambil tersenyum. Aku bergegas menyongsong ke depan dan masuk kafe. Bunyi bel berdenting dan aku memesan latte.

“Maaf terlambat.”

“Pasti menyenangkan kerja di restoran.”

“Biasa saja.”

“Tapi wajahmu tampak cerah hari ini.”

“Itu karena bertemu denganmu!”

Sensei tertawa. Aku pun ikut tertawa.

Sensei bercerita, saat kami bertemu lagi itu adalah hari wafat istrinya. Aku sempat terkejut dan otomatis mengenang puluhan tahun lalu saat Sensei tampak rikuh dan menghentikan pelajaran. Dan, alasan dia ke Stasiun Shinjuku untuk mengambil tiga jam tangan di loker koin.

            “Itu kenang-kenangan istriku. Tiga jam tangan paling berarti. Semuanya sudah rusak. Semua dibeli di Hakata selama kemeriahan festival Gion Yamakasa berlangsung puluhan tahun lalu. Memikirkannya kembali membuatku sedih, tapi juga menerbitkan tawa.”

            Aku hanya diam saja mendengar sembari tersenyum tipis.

            “Tiga jam itu merupakan jam hasil curian seorang bocah. Bocah ini memanggil kami dari keramaian saat usungan tandu raksasa yang dibawa puluhan orang tengah melaju dan para penonton bersorak di tepi-tepi jalan. Tentu kamu tahu, di festival itu tandu raksasa kadang menabrak rumah-rumah saking lajunya ia diarak. Orang gembira menyaksikan hal itu dan aku masih bertanya-tanya mengapa mereka tertawa. Karena tandu itu akan rubuh? Atau karena orang-orang mendoakan para pengusung itu mencelat dan tak mampu lagi melaju? Aku tertawa tiap kali memikirkannya. Namun, bocah yang menawarkan jam pada kami lebih lucu lagi. Dia menangis sambil berucap bahwa dia sudah mencuri dan tak tahu harus bagaimana. Ketika kami berdua meminta bocah itu ke pos polisi bersama kami, dia takut setengah mati.”

            Sensei menghentikan kisahnya karena pelayan tiba dan membawakan pesananku. Aku menghirup minumanku pelan-pelan.

            “Lanjutkan lagi, Sensei,” ujarku.

“Lalu istriku, yang saat itu masih jadi kekasihku, tetap tenang dan sabar pada bocah tolol itu, dan perkataan absurdnya waktu itu masih kukenang kini. Istriku bilang dia akan membeli jam-jam itu. Kami tak usah ke pos polisi, masalah beres. Bocah itu tersenyum senang, antara takut dan gembira. Dia mengisap lagi ingusnya dan menyapu air matanya. Aku mau menyela istriku, tapi wajahnya yang rupawan dan bahagia tak sanggup kutekan untuk mencegah hal konyol yang dia lakukan. Dan kau tahu setelah itu apa yang kami lakukan?”

            Aku menggeleng. Sensei semangat melanjutkan kisahnya, dengan senyum tergugah. Sejenak aku iri kepada istrinya, tetapi pikiran ini segera kugusah.

            “Istriku bilang kita akan mengamankan benda ini ke loker demi loker koin di seluruh stasiun yang ada di Tokyo, gila bukan?”

            Aku mengangguk lagi. Kali ini aku tertawa. Benar-benar ide yang ganjil.

            “Aku saat itu menyelanya: ‘Sebentar, lebih baik kita umumkan di kantor polisi. Itu lebih melegakan, Misao’ kubilang. Lalu dia berucap dengan begitu gampang: ‘Aku sudah keluar uang. Sudahlah, ini penanda hubungan kita. Bersamaan dengan waktu pada jam itu, semoga akan terus hidup hubungan kita ini’. Aku pun tertawa terbahak-bahak. Istriku tampak ketus dan berkata jangan tertawa atas gagasan briliannya ini.”

            Sensei menghela napas.

            “Memang aneh sekali, bagaimana seseorang bisa punya gagasan semacam itu. Suatu ide yang tak berkaitan antara hal-hal lain dan serba terpaksa, tanpa mengindahkan norma sekecil apa pun. Itu pemberontakan istriku yang kali pertama dalam hidup dan tentu yang terakhir kalinya. Kami menikah dan Nao-chan lahir. Kami bahagia tentu saja.”

            “Sensei masih cinta Misao-san?” Aku kelepasan, tetapi itu semua tidak dapat kutarik lagi.

            Sensei tersenyum. “Aku mencintainya, tentu saja.” Sensei terdiam beberapa saat setelah mengatakan itu. Akan tetapi, aku terkejut saat dia meraih kedua tanganku dan menariknya lembut, didekatkan ke dadanya.

“Namun, aku juga mencintaimu, Yumeko-san. Hubungan kita pasti menyenangkan dan Nao tentu akan menyukaimu. Karakter kalian bahkan mirip. Dan kuingatkan, panggil aku Haruhiko. Aku bukan lagi gurumu.”

            Aku sangat tersentuh atas ucapan Sensei. Aku menangis tanpa persiapan. Dia menggenggam erat kedua tanganku.

            “Hari-hari yang akan datang pasti lebih menyenangkan,” ujarnya.[]