Si Sungai
hitunglah batu-batu duka itu dengan jernih matamu, sejernih corak sisik ikan seperti lidah rasa sakit yang enggan kau bagi pada diriku. seliuk pijakan air, kau akan temukan merah kesepian dengan bahasa tabah. sebuah bahasa yang terpelanting dari masa lalu. masa kita menyerupa satu. kendati seluruh gelap betul-betul menyiram semesta, kau buru-buru menawarkan iba, aku telah berpendar-pendar untuk bercakap dengannya dan merasai kita telah berdosa.
***
Si Pohon
dengan gugup ia menyandarkan diri ke tubuhmu dan menatap lenganmu dengan perasaan ganjil. ungu muda parasnya membuat kau terkesiap: seakan menyimpan roh-roh angin. di pucuk matanya kau temukan masa depan yang lembut dengan suara-suara seolah memanggil. kau bergerak dan mencoba mengintip urat bibirnya dan ia hanya mengulang kalimat-kalimat aneh tentang rindu juga kesepian ke sayup langit.
***
Si Perahu
dalam pagut tertambat, ia cemas menuju tepi. dilihatnya senja abu-abu berjatuhan ke punggung sungai lalu membentuk cerita renta tentang kita. ia menyanyi dengan suara jernih melankoli agar dapat menaksir bagian tersulit dari sepasang manusia yang coba bersetia.
***
Si Pengembara
ia coba melahap bukit-bukit dari atas perahu dengan kelamin mengembang. bibirnya yang kering, meniup bahasa mawar muda dan gadisnya yang marun serupa cangkang sunyi pengap birahi. ia menjulurkan kaki dalam bekas gigitan mesra senja. setiap-tiap darinya, memandang jengah dan iba pada mereka. seumpama api-api menyala.
***
Si Maut
si maut baik hati, memandang mereka dengan was-was. dan berhitung, kematian paling mudah macam apa yang cocok bagi kesia-siaan itu.
*) Image by istockphoto.com