KURUNGBUKA.com – “Saya dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942 ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik.” Begitulah bunyi paragraf pertama dalam buku Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie.
Tepat 81 tahun yang lalu, lahir seorang tokoh aktivis angkatan 66, Soe Hok Gie namanya. Barangkali nama ini asing di telinga kita. Nama yang tak tercatat dalam buku-buku sejarah Indonesia di sekolah. Padahal, Soe Hok Gie merupakan salah satu mahasiswa yang mengarsiteki gerakan menumbangkan Orde Lama pada tahun 1966. Selain di buku-bukunya, kita bisa mengenalnya dalam film Gie (2005) yang disutradarai oleh Riri Riza.
Soe Hok Gie lahir dari pasangan Soe Lie Piet dan Nio Hoei An. Ayahnya, Soe Lie Piet merupakan sastrawan Melayu-Tionghoa. Selain sebagai sastrawan, Soe Lie Piet berprofesi sebagai jurnalis. Soe Lie Piet menjadi redaktur Harian Tjin Po (1925-1926). Pasangan Soe Lie Piet dan Nio Hoei An memiliki lima orang anak, di antaranya: Dien, Mona, Soe Hok Djien (Arief Budiman), Soe Hok Gie dan Siane.
Soe Hok Gie dan keluarganya tinggal di kawasan Kebun Jeruk. Saat kecil, Soe Hok Gie mulai gemar membaca dan menulis. Soe Hok mulai membiasakan menulis catatan harian. Soe Hok Gie juga dikenal sebagai penyayang binatang. Suatu hari sang kakak, yaitu Soe Hok Djien merusak rumah semut. Kejadian ini membuat Soe Hok Gie marah. Kejadian ini yang membuat hubungan kakak-adik ini renggang.
Pendidikan Soe Hok Gie dimulai saat ia berusia lima tahun. Soe Hok Gie bersekolah di Sin Hwa School. Pada tahun 1955, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djien lulus dari Sin Hwa School. Soe Hok Gie ke SMP Strada, sedangkan Soe Hok Djien melanjutkan ke SMP Kansius.
Di bangku SMP ini, pemikiran Soe Hok Gie mulai terasah. Ia membaca berbagai jenis bacaan. Buku-buku karya William Shakespeare, George Orwell, Mochtar Lubis dan lain-lain dilahapnya. Soe Hok Gie juga tak pernah tertinggal dengan isu-isu sosial yang berkembang. Ia membaca media yang ada saat itu. Sebut saja koran Indonesia Raya dan koran Pedoman.
Lulus SMP, Soe Hok Gie melanjutkan ke SMA Kansius dan memilih jurusan sastra. Kegelisahan tentang kondisi bangsa saat itu dituangkan dalam catatan hariannya. Pengalaman sehari-hari yang Soe Hok Gie temukan di jalanan, ia catat dengan gaya penulisannya yang khas. Kritis dan menohok.
Semisal, ia mengkritik pemerintah saat ia melihat seseorang yang ia temui. Dalam catatannya yang kemudian dibukukuan dan diberi judul Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran (1983), tertanggal 10 Desember 1959, Soe Hok Gie menuliskan, “Aku bertemu dengan seorang (bukan pengemis) yang tengah memakan kulit mangga. Rupanya ia kelaparan. Inilah salah satu gejala yang tampak di Ibukota. Dan kuberikan Rp. 2,50 dari uangku. Uangku hanya Rp. 2,50 waktu itu (Rp. 15-uang cadanganku). Ya, dua kilometer dari pemakan kulit, “Paduka” kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik.”
Anom Wani Wicaksana dalam bukunya Soe Hok Gie Tak Pernah Mati: Catatan tentang Seorang Demonstran (2014) menjelaskan bahwa Soe Hok Gie dengan berani mengkritisi situasi yang ada di sekelilingnya. Anom juga menambahkan, dari catatan ini, dapat dilihat bahwa Soe Hok Gie mampu mematahkan stereotipe umum yang berpandangan etnis Tionghoa di Indonesia merupakan kelompok materialistis yang hanya mengejar keuntungan demi kepentingan pribadinya.
Pada tahun 1961, Soe Hok Gie lulus dari SMA Kansius. Ia mendapatkan nilai yang memuaskan. Petualangan intelektual kemudian dilanjutkan di Perguruan Tinggi. Soe Hok Gie diterima di Universitas Indonesia. Ia memilih Jurusan Sejarah Fakultas Sastra. Di tempat ini, Soe Hok Gie memulai petualangan intelektualnya yang baru.
Soe Hok Gie dan Gerakan Mahasiswa 1966
Memasuki bangku Perguruan Tinggi ketajaman berfikir dan menganalisa Soe Hok Gie semakin bertambah. Ia tumbuh menjadi mahasiswa cerdas dan idealis. Ia dikenal sebagai kutu buku yang doyan diskusi. Barangkali, buku adalah benda yang paling dekat Soe Hok Gie semasa hidup. Soe Hok Gie juga senang menonton film dan mendaki gunung.
Idealnya, setiap mahasiswa yang memiliki ketertarikan dengan dunia aktivis, mereka akan bergabung dengan organisasi ekstra yang menonjol saat itu, seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) dan CGMI (Central Gerakan Mahsiswa). Akan tetapi, Soe Hok Gie tidak tertarik dengan organisasi-organisasi itu. Menurutnya, organisasi-organisasi merupakan onderbouw partai-partai. Soe Hok Gie memilih bergabung dengan GMSos (Gerakan Mahasiswa Sosialis) yang dianggap mewakili semangat ideologi yang dianutnya.
Pemerintah Republik yang dipimpin oleh Presiden Sukarno semakin merajalela menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin. Dengan kekuasaannya, Presiden Sukarno tak segan-segan membredel partai dan organisasi yang tidak sesuai dengan kebijakan yang diterakannya. Praktik-praktik yang tidak sesuai dengan kebijakan Sukarno dikategorikan sebagai antirevolusi yang menciderai nilai-nilai Demokrasi Terpimpin.
Melihat hal ini, Soe Hok Gie gelisah. Pada tahun 1966, mahasiswa melancarkan aksi demonstrasi untuk menuntut pemerintah dengan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Isi Tritura itu antara lain: Bubarkan PKI, bersihkan Kabinet Dwikora dan turunkan harga barang kebutuhan pokok. Soe Hok Gie menjadi motor penggerak demonstrasi (aktor intelektual) menumbangkan Orde Baru. Bahkan ia disebut sebagai tokoh kunci terbentuknya aliansi mahasiswa dengan militer pada tahun 1966.
Alam dan Akhir Hidup Soe Hok Gie
Di bangku kuliah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Soe Hok Gie dan kawan-kawan membentuk organisasi pendaki gunung. Dalam Majalah Tempo Edisi 10-16 Oktober 2016, dikatakan bahwa pembentukan organisasi pendaki terinisiasi dari muaknya iklim perpolitikan di kampus saat itu.
Pada tanggal 11 Desember 1964, berkumpulah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Ciampea, Bogor. Di tempat ini terbentuklah Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Prajnaparamita Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ini merupakan cikal bakal berdirinya Mapala UI.
Menurut Luki Sutrisno Bekti, salah satu editor buku Soe Hok-Gie Sekali Lagi: Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya (2009), Mapala UI merupakan kelompok independen yang berpegang teguh pada komitmen awal. Yakni menolak organisasi ekstra kemahasiswaan berperan di almamaternya. Mahasiswa yang bergabung dengan organisasi ini konsisten dengan sikap yang diambilnya.
Soe Hok Gie sangat senang mendaki gunung. Ia selalu rindu pada alam. Tentang gunung, ia pernah menulis, “Saya selalu melihat kehidupan sebagai suatu hal yang amat menarik. Walaupun sangat melelahkan dan kadang-kadang mengerikan. Tetapi di samping itu amat banyak hal-hal yang unik. Dia menjadi tantangan. Kalau saya melihat Gunung yang tinggi dan indah saya selalu merasa bahwa “Sang Gunung Berkata”–” Datanglah”. Dan saya ingin mendakinya.
Desember 1969, bersama rombongan Mapala UI, Soe Hok Gie mendaki Gunung Semeru. Semeru atau Mahameru merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa (3676 mdpl). Dalam rombongan tersebut ikut serta Idhan Lubis, Aristides Katoppo, Herman Lantang dan lain-lain. Di puncak Mahameru, Soe Hok Gie dan Idhan Lubis menghirup gas beracun dan meninggal dunia. Soe Hok Gie meninggal dunia pada tanggal 16 Desember 1969, satu hari sebelum hari ulang tahun kelahirannya. Soe Hok Gie meninggal saat ia berusia 27 tahun.
Soe Hok Gie, pemuda idealis yang selalu gelisah dengan kondisi masyarakat saat itu merupakan motor penggerak aksi demonstrasi tahun 1966. Berdasarkan catatan harian dan kesaksian para sahabatnya, semua sepakat bahwa Soe Hok Gie adalah aktor intelektual di balik runtuhnya Orde Lama yang dipimpin oleh Sukarno.
Nama aktivis ini seharusnya layak masuk dalam pelajaran sejarah Indonesia. Dari kiprah dan tulisan-tulisan Soe Hok Gie kita dapat belajar tentang berapa pentingnya seorang pemuda apa lagi berstatus mahasiswa, harus memiliki sikap kritis.
Menurut Kuntowijoyo dalam pengantar buku Soe Hok Gie: Zaman Peralihan (2005), tulisan-tulisan Soe Hok Gie mempunyai arti penting dalam sejarah intelektual Indonesia, karena ia banyak terlibat dialog antara dunia intelektual dengan realitas sosial, juga dialog intelektual dengan pemikiran-pemikiran yang muncul pada awal Orde Baru.
Selamat ulang tahun, Gie. Apakah masih ada hari ini pemuda atau mahasiswa yang membaca tulisan dan pemikiranmu? Barangkali, perlahan engkau akan terlupakan oleh zaman. Barangkali sosokmu yang kritis dan idealis tak menarik lagi. Padahal Tan Malaka pernah berujar: “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.” Semoga generasi hari ini kembali dan mempelajari tulisan dan pemikiranmu, Gie.