KURUNGBUKA.com – (29/04/2024) Pada akhirmya, puisi dan zaman minta dikenang. Yang mudah diyakini: puisi merekam zaman. Penggubah puisi tidak wajib menulis zamannya tapi yang terjadi dalam “pembacaan” pada tempat dan waktu berbeda mungkin memunculkan tautan zaman.
Rekaman-rekaman dekat atau jauh menjadikan puisi tidak sia-sia dituliskan. Yang membaca kadang mengetahui bahwa puisi-puisi menguak zaman: sedikit atau banyak. Namun, puisi tidak harus dituntut tepat dan cocok dalam mengisahkan zamannya. Pembaca saja yang menemukan atau tidak mengetahui pasti kaitan puisi dan zaman.
“Hanya seorang anak muda yang tidak sadar kalau puisi adalah politik,” pengakuan Afrizal Malna. Pada saat mau dan rajin menulis puisi, ia berada dalam tatanan Orde Baru yang dilawan dan digugat para pengarang. Ia tidak terlalu menyadari bahwa sastra itu melawan, sastra yang mengandung pemberontakan. Yang ditulis adalah puisi.
Kesadaran yang perlahan bertumbuh: puisi adalah politik. Artinya, puisi-puisi yang ditulis dan diterbitkan berkaitan tanggapan atau sikap politik. Yang dimengerti: politik itu keniscayaan. Jadi, puisi-puisi yang dihadirkan adalah rekaman zaman yang sulit menghindari politik.
Ingatan saat mulai getol bersastra pada masa Orde Baru, 1980-an: “Saya tidak bisa membayangkan bagaimana puisi bisa hidup dan bersaing dengan pembangunan yang dilakukan rezim Orde Baru waktu itu. Kadang saya membandingkan: mana yang lebih baik antara puisi saya dengan teh botol, bukan dengan puisi-puisi Chairil Anwar atau Darmanto Jatman.” Ia yang menginginkan puisi dalam keterlibatan hidup, yang melampaui seni.
(Afrizal Malna, 2021. Kandang Ayam: Korpus Dapur Teks, Diva)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<