Mantra

Ibu menulis mantra di piring
Nama-nama berubah tiap tahunnya
Sulung menghiasi sisi paling atas
Sebab biasanya, di sana ada luka-luka lama,
Yang belum selesai,
Lalu meminta diundang.

Tahun lalu mantra berpindah
Antara, menjadi peran berikutnya, menghiasi sudut paling bawah
Ia cukup lama mencari sisi dirinya yang cukup
Cukup untuk tak begitu diandalkan,
Cukup untuk tak terlalu dibebankan.
Sebab Antara, ada untuk pelengkap kepulangan kami.

Dan hari-hari berlalu, kini dipenuhi aku
Di tengah lingkaran, tertutup nasi yang panas
Kadang nama-nama kami berubah warna
Dari piring lain yang biru, menjadi merah atau abu tua

Ibu terus mengulang mantra
Sampai ia lupa rasanya kenyang
Di atas piring kaca, ia membangun ruang
Yang tumbuh, dan menjadi rumah
Di dalam perutku, di atas pundak Sulung, di sepanjang rangkulan Antara,
dan di pijakan Bapak.
Satu hari, ia melupakan mantranya,
Dan kami kelaparan selamanya.

***

Janji Malam

Menyelam bersama seluruhmu
Menyelinap masuk lewat dadamu
Berpeluk tulang belikatmu
Aku bisu, di situ
Kedinginan tak mampu pulang.

Menemanimu lewat nyanyian akhir malam
Dari jendela-jendela petang,
Ada kesia-siaan yang menjelma angin, membawa cerita-cerita lama
Di balkon kamar, dansa paling panjang, selimut tua bekas,
Sepatu basah bekas hujan semalam, segala hal yang hilang.
Lagi-lagi dalam semua adegan, kita masih memilih menyelam bersama.

***

Menggambar Kita

Kau menyebut cinta,
Sesering kau menyeduh kopi pagi hari
Gelap.
Tapi cinta tidak berwarna hitam
Mungkin kau mengiranya itu
Untuk menggambar kelabu, pedih di akhir cerita sedih
Yang kebanyakan kau terima
Dari telinga kananmu
Untuk kembali ke luka-luka lama

Namun jangan mengira ia berwarna merah
Apalagi saat kau menggambar rekahnya
Di kisah-kisah bahagia insan yang beruntung

Untukmu, ia tak beraturan
Ke mana-mana, tanpa warna
Hampir tak ada,
Maksudku, untuk menggambarkan kita.

image by istockphoto.com