image by: istockphoto.com

PERTANYAAN MENGEJUTKAN DI UJUNG MALAM

di antara jarum jam berdentang di ujung malam, engkau datang
dengan wajah dingin, sorot mata tajam
: “berapa lama lagi maut menjemput?”
ia meraba permukaan dadanya, masih ada debar, tetapi tiba-tiba
air matanya berlinang, betapa perjalanan selama ini penuh onak
dan duri, penuh miang dan sembilu
: “sebanyak apa penyakit menggerogoti tubuh?”
ia tidak tahu pasti, karena belum pernah cek fisik
padahal mungkin ia rematik, gula darah, gangguan jantung
atau penyakit tua lainnya, ia sering tiba-tiba diserang flu, pegal
linu dan insomnia
: “seberapa dalam engkau menyelam di kedalaman laut-Nya?”
ia segera sujud, diucapkan doa-doa, seluruh tubuhnya bergetar
dan berpeluh, o betapa, selama ia menyelam harus berhadapan
dengan arus kusut, karang-karang runcing dan asin laut yang getir
: “seduka apa engkau hidup, seikhlas apa engkau bersyukur?”
ia gelisah, betapa selama ini, hidupnya serupa sampan yang
tengah membelah selat, di lambung-lambung gelombang
pendayungnya berlumur keringat dan darah! o sungguh, ia
selalu pasrah dan bersyukur, menerima segala perkara dan
peristiwa di atas sampan dengan suka cita

malam benar-benar tua, ia raba permukaan dadanya
ngilu sembilu!

Jaspinka, 2021/2023

***

SEBARIS PUISI DI BIBIR WEISKU

bertahun-tahun air mata gugur membasahi batu kenangan
bilah rindu menjelma sembilu, o, kesetiaan pada tebing karang
pada segala makhluk bertubuh cahaya, kaubelah laut ke pulau jauh
sampan dilambung-lambung gelombang, ombak menggunung
engkau kian keras hati bertemu weisku, lalu sehabis-habis
peluk dan sebaris puisi kaukecup, kaukecup!

: “hatimu karang, jiwamu luas langit!”

weisku berlinang air mata
kauulurkan sembilu, weisku tiba-tiba membalikkan tubuh
berjalan setengah berlari seraya berteriak
: “laut telah membuat aku sangat mengerti segala cuaca
   aku harus pergi meninggalkan seluruh kenangan jingga!”

sebaris puisi di bibir weisku tak bisa kaukecup lagi, hanya sebilah
sembilu gemetar di telapak tanganmu
: “langit serupa runtuh perlahan, runtuh perlahan!”

Jaspinka, 2021/2023

***

TELAH AKU TINGGALKAN
KARANG RUNCING TANJUNG SODONG

dengan hati riang– telah kutinggalkan
karang runcing di bawah menara mercusuar tanjung sodong
karang runcing tempat aku merajut kata dari ombak
dari angin laut
dari kelepak camar
dari segala yang membuat jiwa berderap
dan debur sunyi yang menyala

bertahun-tahun kukayuh sampan
di bawah matahari dan rembulan
mandi keringat
jantung dan hati terus diuji
jiwa menyatu lumut karang, o,
kesetiaan lelaki pada laut
pada segala musim

kubelah selat nusakambangan
sampanku diayun-ayun gelombang
angin deras berkesiur kelat-getir
napasku berderu

di pantai teluk penyu daun waru berguguran
aku seolah mendengar jeritmu, weisku!

: “pijak pasir teluk penyu sekuatmu, hentak-hentakkan
   lalu bergulingan, lalu berdirilah dengan dada membusung
   dan kepala tegak, langkahkan kakimu ke utara, lewati
   kota kecil cilacap, terus jauh ke utara naik ke bukit sinawing
   lihatlah di lembah sana ada istana kecil jaspinka, istana puisi
   yang terbuat dari kristal keringat dan air mata!”

ke lembah cirebah itulah engkau hendak pergi
membawa edelweis karang untuk weisku!

lalu engkau dan weisku sama-sama menenggak anggur kehidupan
penuh rindu
hingga benar-benar mabuk dan tidak pernah lagi ingat
runcing karang di bawah menara mercusuar tanjung sodong!

Jaspinka, 2021/2023