KURUNGBUKA.com – Di tulisan kali ini, kalian cukup membaca judul saja untuk menarik kesimpulannya. Saya tidak akan menulis dengan analisa terlalu dalam karena toh buat apa, nyaris sulit mendapati pembaca demikian di era scroll-scroll layar semudah itu. Atau saya tidak akan menulis dengan gaya nyastra cuma demi mendapatkan “wah” dari kalian, toh saya tidak dibayar untuk ini.

Tulisan ini muncul karena orang tua kolot ribut ngang-ngeng-ngong di beranda Facebook saya dan sepertinya mulai tak begitu asyik untuk diikuti.

Orang-orang yang saling berbalas pantun di status Facebooknya itu konon para penulis yang sudah menerbitkan banyak buku sastra dan memenangi banyak penghargaan ini itu segala macam, sehingga tampaknya mulai banyak laga akhir-akhir ini. Saya tak akan menyebutkan nama siapa pun kecuali nama itu cukup penting untuk saya ketik di tulisan ini.

Saya cuma mau bertanya, memang seberapa laku, sih, buku sastra sampai kalian terlalu fokus meributkan perkara premis cerita alih-alih membahas cara membuat bukumu best seller melampaui buku-buku Tere Liye, buku cerita anak, dan buku motivasi cum buku curhat semacamnya itu?

Setiap kali pertanyaan itu muncul, kalian paling hanya akan menyebutkan nama-nama lawas yang itu-itu lagi dan memang hanya itu, semisal Pramoedya Ananta Toer, Eka Kurniawan, Leila S. Chudori, Ziggy si-nama-tersulit, dan kalau dihitung tidak sampai satu juta eksemplar lakunya. Terus, kalian masih mau meributkan hal-hal teknis yang tidak menghasilkan apa-apa itu selain wes mbuh itu? Proses kreatif orang berbeda-beda dan pemahaman orang terkait teori pun begitu, dan justru di sanalah seninya.

Pada akhirnya, kita jadi tahu, kan, kenapa buku sastra tak laku-laku amat di negeri ini? Karena pelaku industrinya sendiri membuat jarak satu sama lain dan merasa lebih baik dari yang lainnya, alih-alih merangkul dan meluruhkan egonya demi kepentingan bersama.

Saya seringkali iri dengan solidaritas para komika atau para pelaku di industri stand up comedy. Saya pernah diskusi perkara ini dan sebagian orang tak setuju industri perbukuan sastra khususnya, disamakan dengan industri stand up comedy yang notabene memang berfokus pada seni pertunjukkan. Tapi poinnya sebetulnya, bagaimana mereka saling dukung satu sama lain dan meniadakan senioritas. Founder-nya selalu mau berbagi ilmu dan wawasan ke komunitas-komunitas di bawah naungan stand-up Indo di berbagai daerah demi berkembangnya industri pelawak tunggal ini.

Sastrawan, yang sudah lebih dulu ada di negeri ini mestinya lebih dewasa dan mau sama-sama berjuang hidup dari karya, pinjam istilah Pandji Pragiwaksono, bukan malah menjatuhkan satu sama lain.

Stigma karya sastra yang berat dan adiluhung membuat jarak dengan masyarakatnya, dan setelah ditelusuri lebih jauh ternyata setiap kelompok sastrawan membuat petakan dan kotaknya masing-masing dan memisahkan diri dari karya populer yang tidak nyastra, misalnya.

Padahal, kalau industri kepenulisan khususnya susastra ini terbentuk ekosistemnya dengan baik, akan banyak orang yang bisa hidup dari serius menulis, sehingga perlahan kualitas karya pun akan terus membaik. Pembaca juga harusnya dengan mudah kita peroleh dengan meluaskan cakupan jenis ceritanya, tidak berfokus dan berpatok dan mengamini standar yang dibuat oleh koran-koran mainstream itu hingga akhirnya segmented sekali pembacanya. Kita bisa membuat sastra horor, sastra komedi, sastra sains, dan lain sejenisnya sesukamu dengan menambahkan “sastra” di bagian depannya.

Jangan membatasi diri bahwa karya sastra harus seputar ketimpangan sosial, politikus culas, si miskin dan si kaya. Tema itu, bisa kita elaborasi dengan genre lain yang lebih segar, rasanya sudah bosan dan terlalu banyak tema-tema sosial itu dimunculkan dalam media cetak.

Jangan puas dengan memenangi lomba atau penghargaan sastra bergengsi itu, sebab tugas penting berikutnya adalah seberapa laku karya sastra yang kamu buat itu sehingga bisa menggerakkan banyak orang untuk membacanya, mendiskusikannya, atau bahkan menanggapinya dengan karya lagi, sehingga industrinya terus hidup.

Jangan berfokus pada pembaca sastra yang memang sudah jejeg itu, coba buat orang yang tidak suka membaca karya sastra tertarik untuk membacanya, buat cakupannya lebih luas lagi. Salah satu caranya ya dengan berkolaborasi dengan penulis-penulis atau industri kreatif lainnya, bukannya malah ribut mulu yang ujung-ujungnya hanya menghasilkan: gue lebih keren. Padahal kasus semacam ini perkara siapa paling banyak temannya saja yang dianggap “menang”.

Kalau rame, lanjut part 2!

Cilegon, 19 September 2023

PART 2: Ihwal Sastra dan Kemungkinan Marketnya Kini