image by: istockphoto.com

I

Tidak lama setelah saya memilih duduk di meja nomor 7, Bernard datang dengan wajah yang menunjukkan ketidaksenangannya. Meski setelah itu ia tersenyum, tapi saya bukan anak kecil yang mudah dibohongi. Ia berjalan menghampiri saya dengan raut wajah dan sikap badan yang tidak bersemangat. Ya, lagi pula saya tidak peduli ia merasa senang atau tidak untuk menemui saya di kafe ini. Saya hanya ingin meminta pertanggungjawaban.

            Saya sengaja memilih meja nomor 7 karena letaknya berada di sudut ruangan. Harapan saya agar tidak ada pengunjung yang memperhatikan sekaligus mendengarkan percakapan kami. Meskipun saya tahu kafe ini tidak pernah terlihat sepi. Tapi karena semua berawal dari sini, maka di tempat ini pula saya harus menyelesaikannya.

            Setelah saya menyilakannya duduk, saya semakin sadar bahwa ia memang tidak nyaman berada di sini. Gerak-geriknya terasa canggung. Senyuman tipis yang ia pamerkan berulang kali sama sekali tidak bisa menutupi rasa gugupnya. Kamu memang pengecut Bernard! Saya tidak akan terkecoh dengan sikap yang kamu tunjukan sekarang. Saya tahu kamu belum siap dengan kenyataan ini. Pun dengan saya. Tapi kita tidak bisa melawan takdir.

            “Saya ingin kamu bertanggungjawab!”

            Saya tipe orang yang tidak suka basa-basi. Dan untuk apa juga saya melakukannya. Kami sudah sama-sama dewasa. Obrolan semacam itu sudah tidak perlu lagi untuk dibicarakan. Saya hanya ingin bicara yang penting-penting saja. Lagi pula ia terlihat sehat, jadi untuk apa saya bertanya lagi.

            “Kamu sudah pesan minum?”

            Persis dugaan saya, Bernard tidak akan langsung memberi jawaban. Dia memang paling suka membuat obrolan berputar-putar. Apalagi kalau kami bicara lewat telepon, ia selalu mengajak saya bicara yang aneh-aneh. Jam tidur kami selalu habis hanya untuk membahas hal-hal yang tidak penting. Tapi itu justru yang membuat saya terpikat olehnya. Dia pandai bercerita. Dia pandai membuat saya luluh oleh kata-kata. Tapi dalam situasi saat ini, saya tidak menyukainya.

            “Sudah saya pesankan!” jawab saya kemudian.

            “Gimana kabar kamu, Nat? Kamu naik apa ke sini? Tadi saya lewat Jalan Jendral Sudirman, jalan yang paling kamu hindari karena macetnya luar biasa. Dan saya juga salah beli pengharum mobil. Rasanya mau pingsan!”

            Saya tahu niat Bernard ingin mencairkan suasana. Tapi saya tidak berselera untuk membalas ceritanya itu. Yang terpenting bagi saya sekarang adalah bagaimana anak dalam kandungan ini mendapat sebuah pengakuan. Perut saya kian membesar. Saya takut akan banyak orang yang menaruh curiga.

            “Saya hamil. Dan kamu ayah dari bayi ini. Saya ingin kamu bertanggungjawab!”

II

Sejak Natali mengabari saya lewat pesan singat, perasaan saya menjadi kacau. Saya tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Situasi ini membuat saya bingung sekaligus hancur. Tapi mau tidak mau saya harus mengiyakan ajakannya untuk bertemu di kafe. Meskipun saya sama sekali tidak bersemangat.

Setibanya di kafe, Natali mengabari saya bahwa ia duduk di meja nomor 7. Meja paling pojok dekat jendela. Setelah saya melihatnya duduk di sana, dada saya mulai bergemuruh. Badan saya rasanya panas dingin. Saya gugup. Tapi saya harus memberanikan diri dan mencoba untuk tetap tersenyum.

Saya dipersilakan Natali untuk duduk. Dan jujur saja saya tidak senang dengan pertemuan ini, sepertinya ia juga bisa membaca gelagat saya. Tentu saja karena saya sudah tahu bahwa percakapan pada malam ini akan lebih banyak menyudutkan saya. Seolah-olah semua kesalahan bertumpu pada saya. Tapi karena alasan itu pula yang membuat saya sepakat untuk bertemu. Saya ingin meluruskan semuanya.

“Saya ingin kamu bertanggungjawab!” ucap Natali selepas saya menjatuhkan pantat ke kursi.

Seperti dugaan saya, Natali tidak suka basa-basi. Ia langsung menembak saya dengan kalimat penuh intimidasi. Sejujurnya saya ingin protes. Itu bukan salah saya. Tapi bagaimana cara saya menjelaskannya kepada Natali, saya takut dia tidak bisa menerima.

“Kamu sudah pesan minum?” ucap saya setengah bingung.

Saya tidak ingin langsung memberi tanggapan atas pernyataannya. Saya mencoba memutar otak agar percakapan kami pada malam ini menjadi sedikit lebih hangat. Saya yakin Natali akan senang jika saya mengajaknya bicara banyak hal. Seperti saat pertama kami bertemu di kafe ini. Natali yang sedang menangis sendirian di sudut kafe membuat saya berpikir untuk menghiburnya lewat cerita. Dan rupanya itu membuat perasaan Natali menjadi lebih baik. Maka sejak saat itu, setiap menjelang tidur, saya berusaha menjadi pendongeng yang baik untuknya.

“Sudah saya pesankan!” balas Natali.

Saya mendadak gamang di seberang meja. Sepertinya Natali benar-benar tidak mau diajak basa-basi. Tapi saya juga tidak ingin langsung membahas hal itu sekarang. Apalagi suasana kafe yang sedang ramai. Maka saya memutuskan untuk bicara yang lain saja. Saya bilang kepada Natali, kalau tadi saya lewat Jalan Jendral Sudirman dan terkena macet. Saya yakin Natali akan tertarik karena kami punya pengalaman buruk di jalan itu. Kami pernah terjebak semalaman dan tidur di dalam mobil. Lalu saya juga bilang kalau selama terkena macet tadi banyak sekali yang menekan klakson. Ia sangat tidak suka mendengar suara klakson. Dan untuk membuat cerita agar lebih menarik, saya mengarang saja kalau salah beli pengharum mobil. Aroma jeruk. Natali sangat tidak suka dengan aroma itu.

Natali bergeming. Ia tidak tertarik sedikit pun dengan cerita saya. Baiklah. Saya segera membenarkan posisi duduk dan mulai beradu pandang.

“Saya bukan ayah dari anak itu, Nat. Kita memang pernah tidur bersama. Tapi perlu kamu tahu, saya tidak bisa memiliki keturunan.”

III

            Saya melihat wanita itu datang lagi. Ia duduk di meja nomor 7 dengan wajah seperti orang bingung. Saya segera mendatanginya untuk menawarkan menu. Dan rupanya ia benar-benar tidak mengenali saya.

            “Dua cappucino hangat. Dan saya minta kamu tidak mengantarnya dengan cepat.”

            Tak lama setelah saya beranjak, seorang lelaki yang tidak asing dalam ingatan saya datang lalu duduk di hadapannya. Saya juga melihat raut wajah yang aneh pada lelaki itu. Saya yakin pertemuan mereka kali ini bukan sesuatu yang menyenangkan. Cukup lama saya mengamati mereka dari belakang. Sepertinya mereka sedang membahas hal yang cukup serius. Tapi saya tidak bisa mendengar percakapan mereka lebih jelas karena suasana kafe yang begitu ramai.

            Awal mula saya mengenali wajah mereka sekitar dua bulan yang lalu. Dan sepertinya itu juga awal pertemuan mereka di kafe ini. Entah apa yang membuat wanita itu menangis di sudut kafe kala itu, dan tidak banyak pula keberanian saya untuk bertanya. Sampai akhirnya lelaki itu membawa minumannya dan duduk satu meja dengan wanita itu. Mereka saling bicara. Dan wanita itu tampak lebih baik. Sampai hari sudah larut, dan lelaki itu memilih untuk pergi lebih dahulu. Sedangkan wanita itu masih enggan untuk beranjak. Hasrat saya yang lain membuat saya memiliki keberanian lebih.

            Sejak saat itu saya selalu menantikan kedatangannya. Dan pada malam ini, harapan saya terwujud. Saya sudah menaruh serbuk ajaib pada minumannya. Saya harap lelaki itu juga akan pergi lebih cepat. Saya sudah tidak sabar untuk kembali mencium aroma tubuh wanita itu. Benar-benar tidak sabar! [*]