Sejarah peradaban kecil tapi ampuh dan menentukan nasib zaman itu terjadi di Solo. Solo, seperti yang sering disebut sebagian warganya, ialah kota kecil dengan pengaruh besar. Ketika dua kekuasaan monarki –Kasunanan dan Mangkunegaran— bercokol di Solo, kantong-kantong kekuasaan mereka meliputi wilayah yang sekarang kita ketahui sebagai Karesidenan Solo. Perkebunan tebu dan komoditas lainnya serta aset-aset lain keraton menyebar di pelbagai wilayah di Karanganyar, Boyolali, Sukoharjo, Sragen, dan Wonogiri. Sampai hari ini, kita melihat Solo dalam satu dan sekian hal masih menjadi muara dari wilayah-wilayah di sekitarnya.

Pencipta peradaban ampuh dan menentukan di Solo itu bernama kecil Suwardi, sebelum Padmosusastro. Ia lahir pada 1840 atau sekira tiga puluh tahun sebelum institusi sekolah pertama kali ada di Solo. Beruntung, kedua orang tuanya mengamini pendidikan sebagai suatu hal yang perlu. Fungsi institusi keluarga sebagai fasilitator pendidikan paling mula sudah dipraktikkan.

Rumah tinggal Padmosusastro letaknya tak jauh dari Mangkunegaran. Bagi kita yang tinggal di Solo, barangkali kawasan sekitar rumah tinggal Padmosusastro ini cukup sering dilewati. Hanya saja sebagian besar dari kita kiranya belum tahu keberadaan rumah tinggal tersebut karena memang tidak tampak mencolok apabila dilihat dari ruas jalan raya. Dari Solo bagian timur, perjalanan menuju rumah tinggal Padmosusastro dengan menggunakan motor membutuhkan waktu sekitar 10 menit.

Sementara dari luar kota, akses menuju tempat bersejarah itu juga sangat mudah ditempuh baik menggunakan moda transportasi umum maupun transportasi pribadi. Apabila menggunakan bus, kita dapat berhenti di Terminal Tirtonadi. Dari halte depan terminal, kita bisa menaiki bus kota Batik Solo Trans (BST) dan berhenti di halte depan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah yang berada di Jalan Ronggowarsito. Jalan yang sama dengan keberadaan rumah tinggal mendiang Padmosusastro. Dari halte RS PKU Muhammadiyah, kita hanya perlu berjalan 200 meter menuju arah timur.

Sepeninggalan Padmosusastro, rumah berarsitektur Jawa kuno itu sudah lama tak dihuni karena trah alias keturunan Padmosusastro telah menyebar ke kota-kota lain. Menjelang penghujung 2019, nama Ndalem Padmosusastro yang tidak lain ialah rumah tinggal Padmosusastro kembali menjadi perhatian publik Solo. Konon, sebelum ini, di awal tahun 2000-an Ndalem Padmosusastro juga aktif digunakan untuk latihan menari dan diskusi oleh mahasiswa pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, khususnya di bawah inisiasi Sardono W. Kusumo.

Dalam upayanya menghidupkan kembali ruh kesejarahan literasi-budaya beserta seluruh semangat Padmosusastro semasa hidupnya, Ndalem Padmosusastro itu hadir ke haribaan publik. Di bawah koordinasi Fafa Gendra Nata Utami, Ndalem Padmosusastro diupayakan hadir sesuai zaman yang sedang berlangsung. Ndalem Padmosusastro menjadi sebentuk ruang publik dengan nilai kesejarahan yang kental dan khas. Ia berupaya menjadi ruang untuk pelbagai acara bertaut seni-budaya dan barangkali juga akan lebih luas lagi dari itu. Sementara untuk biaya operasional pengelolaan, Fafa dan tim pengelola membuka Warung Ndeso di dalam kawasan ndalem. Warung itu menyediakan menu-menu Jawa khas perdesaan seperti nasi angsul-angsul, sayur lombok ijo, sayur tempe landing, dan lain-lainnya.

Menu-menu Jawa khas perdesaan itu tentu saja memiliki kesejarahan yang menarik untuk ditelisik lebih jauh. Nasi angsul-angsul ialah nasi yang diberikan empunya hajat kepada sanak saudara dan tetangga. Nasi itu dilengkapi dengan beberapa jenis lauk pauk, misalnya srundeng, bihun, daging, dan lain sebagainya. Sayur lombok ijo serta sayur tempe landing menjadi menu pilihan yang ditawarkan di Warung Ndeso karena di perdesaan, cabai dan landing itu menjadi tanaman yang tumbuh di kebun-kebun samping rumah para warga.

Perkenalan menu-menu Warung Ndeso dan latar belakang kembali berkiprahnya Ndalem Padmosusastro disampaikan Fafa pada saat pembukaan acara bertajuk Omah Jawa dan Biografi Padmosusastro pada 1 Desember 2019 lalu. Acara itu wujud kerja sama pihak Ndalem Padmosusastro dan Komunitas Sejarah Solo Societeit. Sekira tiga puluh orang dari pelbagai usia dan latar belakang hadir untuk mengikuti diskusi dan jalan-jalan sejarah mengenali arsitektur rumah Jawa di kawasan Ndalem Padmosusastro.

Mengenal Padmosusastro dari Cerita

Padmosusastro kecil sudah karib dengan pelbagai rupa bacaan. Mengutip pengisahan sejarawan Heri Priyatmoko di Ndalem Padmosusastro (01/12/19), di rumah orang tua Padmosusastro ada dua almari di mana buku-buku bacaan berjajar. Walhasil, Padmosusastro kecil tidak hanya tahu bagaimana berbahasa Jawa dan Belanda, tetapi bahasa Melayu juga telah dikenalkan kepadanya. Kesadaran orang tua Padmosusastro menjelma sebagai kemewahan tersendiri sebab mereka bukan bagian dari golongan elit keraton.

Di umurnya yang ke sembilan, Padmosusastro memulai karirnya sebagai abdi dalem di kepatihan. Saat itu, tentulah menjadi abdi keraton adalah prestise bagi anak-anak muda. Karir puncak Padmosusastro ialah ketika ia menjabat sebagai Kepala Kantor Kejaksaan untuk urusan kriminal. Ia memutuskan berhenti bekerja sebagai abdi dalem ketika terjerat hutang dengan seorang China-Tionghoa.

Keluar dari lingkungan elit keraton menjadi mula dari karir kepenulisannya. Pelbagai bacaan yang diakrabinya semenjak kanak-kanak membuat Padmosusastro memiliki kepiawaian menulis. Konon, ia juga sempat belajar menulis kepada Ronggowarsito. Selain sebagai sastrawan, Padmosusastro juga dikenang sebagai wartawan. Kerja sastra dan jurnalistiknya tersohor dengan corak sosiologis-antropologis.

Prosa-prosa yang ditulisnya tidak hanya bermain-main di wilayah fiksi, tetapi juga menyertakan fakta-fakta sosial pada zamannya. Jurnalis Jawa pertama yang pergi ke Belanda itu piawai memainkan bahasa sehingga deskripsi tulisannya kerap kali menarik untuk dibaca. Terhadap dunia luar misalnya, ia berhasil menulis perkembangan kota dan masyarakat Solo bertaut dengan permasalahan sosial ekonomi dan politik yang melingkupinya.

Kemampuan menulis Padmosusastro direspons oleh zaman. Kemunculan koran dan teknologi percetakan mempermudah Padmosusastro menyebarluaskan gagasan-gagasannya. Ia bergabung sebagai wartawan di Koran Bromartani, koran berbahasa Jawa di Solo. Tulisannya yang menyinggung ketidakcakapan keraton dalam mengatur tata kota membuktikan ia sebagai seorang yang kritis dan merdeka dari bayang-bayang kekuasaan.

Peran penting Padmosusastro yang lain ialah upayanya menyemarakkan Radyapustaka. Ia menggelar diskusi-diskusi dengan misi penyebarluasan pengetahuan, mengalihbahasakan koleksi perpustakaan, dan lain sebagainya. Salah satu karya Padmosusastro yang menarik ialah Serat Madubasa (Balai Pustaka, 1912). Serat itu berisi pitutur dan perilaku ala Jawa alias aforisme atau kata-kata bijak khas masyarakat Jawa pada zamannya.

Memaknai Rumah

Selepas menyimak biografi Padmosusastro melalui penceritaan sejarawan Heri Priyatmoko, peserta diajak keliling oleh Dani Saproni (ketua Solo Societeit) untuk mengenali bagian demi bagian rumah Jawa sembari mendengar makna dari tiap-tiap bagiannya. Rumah Jawa selalu memiliki pendopo atau bangunan luas terbuka yang terletak di depan rumah utama. Pendopo berfungsi untuk pertemuan, musyawarah, dan acara-acara yang melibatkan banyak orang. Dalam falsafah Jawa, pendopo dimaknai sebagai ruang transendental, simbol keterbukaan terhadap relasi sosial dan kesediaan untuk berbagi dengan sesama. Rumah tanpa pendopo diibaratkan pohon tanpa batang.

Rumah Jawa juga wajib memiliki pawon alias dapur. Pawon inilah sumber harapan, makanya kita mengenal istilah Jawa “sing penting pawon iso murub”, yang penting dapur bisa mengepul, untuk menggambarkan rezeki yang cukup. Rumah Jawa pada zaman dahulu juga hampir selalu memiliki kandang untuk menyimpan ternak. Rumah tanpa kandang boleh diibaratkan sebagai pohon tanpa daun.

Di kawasan rumah paling depan, kita mengenal gapura. Gapura dalam arsitektur Jawa biasanya tidak tegak lurus dengan pintu utama rumah, tetapi agak condong ke kiri atau ke kanan. Gapura inilah simbol manembah. Rumah tanpa gapura diibaratkan pohon tanpa akar. Pintu utama rumah kecuali pada malam hari, biasanya selalu terbuka. Hal ini menandakan sikap keterbukaan si empunya rumah. Di atas pintu rumah Jawa biasanya ada Candra Sengkala alias penanda waktu, atau kadangkala juga doa. Mengutip Dani Saptoni, rumah Jawa ialah wujud imanensi atau wujud manembah si tuan rumah baik kepada Yang Mahatinggi, alam, serta lingkungan sosial.

Kendatipun Ndalem Padmosusastro dahulunya ialah rumah tinggal, kita tidak bisa menginap di sana karena kawasan ndalem tidak diberdayakan sebagai penginapan atau homestay. Tapi kita yang datang dari luar kota tidak perlu risau, letak Ndalem Padmosusastro yang termasuk di kawasan tengah Kota Solo memberi banyak pilihan tempat penginapan yang berdekatan. Apabila kita berasal dari luar kota, keputusan untuk menginap perlu dipertimbangkan demi tercapainya kepuasan dan keleluasaan mengenali setiap inci dari kawasan Ndalem Padmosusastro. Kita bisa menikmati makanan di Warung Ndeso, mengenali arsitektur rumah Jawa, berfoto menggunakan kebaya dan beberapa pakaian atau aksesoris kedaerahan yang sudah disediakan pengelola. Setiap hari Ndalem Padmosusastro dibuka untuk pengunjung sampai pukul 23.00 WIB.

Kemunculan Ndalem Padmosusatro beserta program-program yang digagas untuk mengheningi-menafakuri semangat hidup Padmosusastro utamanya dalam hal literasi yang membuahkan sikap kemerdekaan, keadilan, serta kemanusiaan patut kira rayakan. Ketika datang ke sana, kita barangkali tidak hanya merasa tenang, ada kesan unik dan kental nuansa Jawa, tetapi kiranya kita bisa juga merasa pulang. Tsah!