Aku duduk di tepi jalan raya dan sesekali berdiri memetik gitar. Bernyanyi dan berharap akan belas kasihan orang-orang yang lewat. Namaku Wira, seorang pengamen jalanan berusia 15 tahun yang tinggal di mana saja. Di segala tempat yang memungkinkan untuk aku boleh melepas penat.

Hidup di kota metropolitan ini, memaksaku untuk terus berjuang agar tetap hidup. Meski harus hidup luntang-lantung dan tak punya tujuan.

Keseharianku hanya mengamen di beberapa lampu merah. Berharap akan ada orang yang berbelas kasihan dan memberikan aku uang recehan. Aku sangat bersyukur ketika aku bisa bernyanyi menghibur para pengguna jalan. Ya, meski tak semua dari mereka menyukai kehadiranku. Dentingan uang receh begitu merdu di telingaku. Setiap logam yang masuk ke dalam kantung plastik itu, menjadi satu harapan baru bagiku. Aku masih bisa hidup.

Memang terlihat mudah. Hanya bermodalkan gitar dan mental, pengamen bisa mendapatkan uang. Itu yang terlihat oleh orang lain. Namun, jauh berbeda dengan apa yang kami rasakan. Terlebih diriku yang hidup sebatang kara. Kadang air mataku menetes tanpa aku sadari. Terlebih, saat aku melihat anak sekolah yang terlihat gembira mengenakan seragam mereka atau saat orang-orang melihatku dan bertanya, “Mengapa kamu tidak sekolah?”

Pertanyaan itu bagaikan sebuah pedang yang tajam, yang di tusukkan tepat di jantungku. Aku hanya bisa diam dan perlahan meneteskan air mata. Aku tidak tahu harus berkata apa untuk menjawab pertanyaan itu. Setiap aku mencoba menceritakan bagaimana aku hidup, aku hanya akan menyakiti diriku sendiri. Aku bukan orang yang beruntung.

Pagi ini aku terbangun dari tidur singkatku. Kemarin malam hujan turun deras. Terpaksa aku harus berteduh hingga hujan reda. Tengah malam, hujan pun reda, saat itulah aku baru bisa mencari tempat di mana aku akan tidur. Lalu aku menemukan tempat ini. Di depan sebuah toko bangunan yang tidak begitu besar.

            Namun, sialnya, aku bukan terbangun karena silaunya sang fajar yang memancar tepat ke arahku, melainkan karena sekujur tubuhku basah. Aku disiram oleh si pemilik toko.

Hal seperti ini sudah menjadi hal biasa bagiku. Tak sedikit orang yang memperlakukanku seperti ini. Ada yang menyiramku dengan air, ada pula yang menendang  agar aku terbangun dan menyuruhku pergi. Aku tidak berkata apa-apa saat aku diperlakukan kasar seperti itu.

Menurutku, aku yang salah. Tidak seharusnya aku tidur di sana dan mengganggu aktivitas mereka. Namun, apakah aku juga yang salah saat ditakdirkan hidup menggembel begini?

Dengan wajah mengantuk dan sesekali menguap, aku berjalan sempoyongan. Kepalaku terasa pusing karena kurang tidur. Namun, aku tidak boleh lemah. Aku harus mengamen agar aku bisa tetap hidup. Walaupun aku tidak tahu sampai kapan aku akan bertahan hidup di jalanan.

Kuayunkan tanganku memainkan gitar dan mulai bernyanyi. Beberapa orang berkata suaraku merdu dan bagus. Beberapa yang lain berkata aku layak ikut ajang pencarian bakat. Namun, itu semua hanyalah omong kosong bagiku. Tanpa uang, talenta yang aku miliki hanya akan tetap ada di jalanan. Bukan di atas panggung atau di layar televisi.

Satu per satu uang koin dan kertas masuk ke dalam kantung plastik yang aku ikat di kepala gitarku. Kantung permen yang aku ambil dari tempat sampah dan menjadi penampung rezeki. Gitar yang aku pakai pun sudah tidak bagus lagi. Suara yang dihasilkan tak semerdu gitar baru. Namun, aku tetap percaya diri. Aku tetap yakin, bahwa rezekiku ada pada gitar tua ini.

“Berapa usiamu, Dek?” tanya seorang pengendara motor yang berhenti karena lampu merah. Penampilanya rapi seperti orang kantoran.

“15 tahun, Om,” jawabku lirih. Aku sedikit menunduk karena merasa malu. Terlebih pakaianku kotor dan bau. Entah berapa lama aku tidak mengganti pakaian ini.

“Kamu tidak sekolah?”

“Tidak, Om. Saya hidup sebatang kara, jadi saya tidak bisa bersekolah.” Sesekali aku mengusap air mataku yang tak lagi bisa kubendung.

Pria itu menatapku penuh iba. Sepertinya dia merasakan bagaimana perasaanku saat ini.

“Ini, ambil kartu nama saya. Silakan datang ke alamat itu dan temui saya ya,” ucap pria itu lalu pergi.

Aku melihat kartu nama itu. Namanya Surya Soepanto. Dia bekerja di sebuah studio rekaman. Meski tidak bersekolah, aku bisa membaca beberapa kata dengan cara mengeja. Aku sering melihat teman pengamen lain yang sedang belajar. Sesekali aku bertanya kepada mereka.

Karena penasaran, aku mengunjungi studio rekaman itu. Sebuah gedung yang cukup besar. Aku menghampiri satpam yang berdiri di depan pintu masuk.

“Permisi, Pak. Saya mau bertemu dengan Pak Surya,” ucapku.

“Mau ngapain? Kamu mau ngamen? Jangan di sini, Dek. Cari tempat lain saja,” ucap satpam itu. Ia terus memandangi lusuhnya pakaianku.

Aku memutuskan untuk pergi meninggalkan studio itu. Namun, baru beberapa langkah, rupanya Pak Surya kebetulan keluar, melihatku, lalu memanggilku. Aku diajak masuk ke dalam studio itu.

“Oh, jadi seperti ini ya studio rekaman,” gumamku.

Pak surya mengajakku duduk di meja persegi yang tidak terlalu besar.

“Oh, ya, sebelumnya, nama kamu siapa?” tanya Pak Surya.

“Nama saya Wira, Om.”

“Jadi begini Wira, saya dengar kamu bernyanyi. Suara kamu itu bagus. Saya tertarik untuk mengajak kamu bekerja sama dengan studio rekaman ini. Gimana? Kamu mau?”

Aku terdiam sejenak. Aku seperti sedang bermimpi.

“Iya, Om, saya mau.” Aku mengusap air mataku yang menetes karena haru dan bangga atas apa yang aku raih.

Setelah sepakat, beberapa hari kemudian Pak Surya memberi sebuah berkas berisi perjanjian kontrak. Setelahnya, rekaman pun dimulai. Ternyata, rekaman di studio sangatlah sulit. Tidak semudah saat aku bernyanyi di tepi jalan dengan gitar tuaku. Namun, aku terus berusaha karena ini adalah mimpiku. Aku pasti bisa.

Setelah beberapa kali mengulang, akhirnya rekaman selesai. Aku merasa sedikit lega. Setidaknya dalam waktu beberapa waktu ke depan, lagu-lagu yang aku nyanyikan akan terdengar di seluruh Indonesia.

Sejak saat itu aku semakin bersemangat dan beberapa kali melakukan rekaman lagu. Tak jarang pula aku mengisi acara-acara di beberapa tempat. Acara perpisahan sekolah dan beberapa acara besar lainnya.

Aku mengambil sebuah buku kecil dan sebuah pena. Aku menuliskan kisah perjalanan hidupku hingga aku bisa meraih impian seperti saat ini. Suatu hari nanti, catatan kecil ini akan menjadi bukti bahwa hitam tak selamanya hitam karena gelap akan menjadi terang jika ia sabar menanti kehadiran sang fajar.[]