Panggil ia Zeline. Zeline hidup sebatang kara di Desa Hippopo. Untuk mencukupi kebutuhannya, ia mencari kayu bakar di hutan untuk dijual kepada orang lain.
Tepat pukul 05.00 Zeline sudah melangkahkan kaki dari rumah menuju hutan untuk mencari kayu bakar. Berbekal penerangan dari obor ia menelusuri hutan yang temaram dan lembab. Saat itulah ia mendengar suara tangisan.
Zeline tak menghiraukan suara tangisan itu. Awalnya ia menganggap suara itu mungkin hanya perbuatan iseng seseorang yang hendak menakutinya. Namun, semakin lama suara itu semakin terdengar keras. Zeline sebenarnya penasaran, tapi ia mengurungkan niatnya untuk mencari tahu asal muasal suara tersebut.
BACA JUGA:
Motor Butut Bapak
Saat suara itu terdengar semakin jelas dari balik semak, rasa penasarannya semakin tinggi. Akhirnya ia pun memutuskan untuk mencari tahu sumber suara tadi.
Zeline melihat seorang gadis dengan pakaian yang membuatnya terpukau. Betapa tidak, pakaian yang digunakan gadis itu adalah gaun yang dipenuhi berlian indah. Aku terus memandanginya, tetapi sayangnya wajahnya belum terlihat jelas.
Ketika gadis itu menengadahkan wajahnya kepadaku, barulah aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajah yang berlinang air mata dan hidung merah seperti badut membuat Zeline ingin menghampiri gadis itu. Namun, ia mengurungkan niatnya. Karena rasa ibanya tak juga lenyap, akhirnya ia menghampiri gadis yang sedang menangis itu.
“Siapakah engkau? Mengapa engkau menangis di tengah hutan yang gelap ini?” tanya Zeline dengan perasaan takut sekaligus kasihan.
“Saya Aletha, putri dari Negeri Fluter. Negeri saya sekarang sedang dilanda musibah karena ulah Tunips,” jawabnya, dengan kondisi wajah masih berlinang air mata.
“Maaf kalau saya lancang, sebenarnya siapakah Tunips itu?” tanya Zeline lagi.
“Tunips adalah raksasa yang sangat ditakuti di Negeri Fluter. Ia menyerang negeri kami karena ulah orang-orang yang berusaha membunuhnya.”
“Mengapa Putri di sini, sedangkan negeri engkau sedang mengalami musibah?” Zeline memasang wajah bingung.
“Panggil saja saya Aletha. Penasihat kerajaann Negeri Fluter mengatakan bahwa Negeri Fluter dapat diselamatkan oleh seorang gadis penjual kayu bakar yang berada di Desa Hippopo,” ujar Putri Aletha.
Zeline bertambah bingung karena ialah satu-satunya gadis penjual kayu bakar di Desa Hippopo ini. Apakah ia yang dimaksud Putri Aletha? Zeline bertanya-tanya dalam hati.
“Saya Zeline. Satu-satunya gadis penjual kayu bakar di Desa Hippopo. Bagaimana caranya saya menyelamatkan Negeri Fluter, sedangkan saya hanya seorang gadis biasa?”
Putri Aletha pun terkejut karena orang yang ia cari selama berhari-hari berada di depan matanya. Putri Aletha pun tersenyum dan memegang erat tangan Zeline. Ia meminta Zeline untuk menutup matanya. Zeline pun menuruti permintaan tadi.
Saat Zeline membuka matanya, ia sudah berada di tempat yang sudah hancur lebur. Zeline prihatin dengan keadaan tempat itu. Ternyata tempat itulah yang disebut Putri Aletha sebagai Negeri Fluter.
Putri Aletha mengajak ke ruang bawah tanah yang aman dari serangan raksasa Tunips. Saat tiba di ruang bawah tanah, mereka sudah disambut masyarakat Negeri Fluter.
Mereka bertemu penasihat Hook. Penasihat Hook memberi tahu Putri Aletha bahwa besok Tunips akan menyerang mereka.
“Tunips hanya bisa dikalahkan oleh engkau, Zeline!” ujar penasihat Hook sambil menatap wajah Zeline.
“Ha?!! Bagaimana caranya saya mengalahkan raksasa sebesar itu?”
“Kayu bakar yang kau bawa itu akan menyelamatkan negeri ini,” ujar Penasihat Hook.
Dengan wajah yang kebingungan, akhirnya Zeline menerima permintaan mereka untuk memusnahkan raksasa Tunips.
Keesokan harinya Zeline pun bersiap untuk menghadapi raksasa Tunips.
Dum!!! Dum!!! Dum!!!
Raksasa Tunips tiba di Negeri Fluter. Ia menghancurkan semua yang tersisa di negeri tersebut.
Zeline berteriak di depan raksasa itu, “Hentikan!!!”
“Berani-beraninya kau gadis kecil berteriak di depanku!” ujar raksasa Tunips dengan nada yang tinggi seperti marah.
Tanpa basa-basi Zeline pun berlari sambil melemparkan kayu bakar ke tubuh Tunips. Kemudian Zeline melompat menuju tubuh raksasa yang sangat besar itu dan menusukkan kayu bakar yang dibawanya tepat di jantung raksasa Tunips.
Raksasa itu pun menghilang dengan sendirinya dan keadaan di Negeri Fluter kembali seperti sedia kala. Rakyat Negeri Fluter merasa tenang dan gembira karena raksasa telah musnah.
Putri Aletha mencucurkan air matanya karena merasa bahagia dan langsung berlari menuju Zeline, memeluknya erat.
“Terima kasih Zeline. Kamu telah menyelamatkan Negeri Fluter dari kehancuran. Sebagai imbalannya, kamu boleh memiliki sebagian kekayaanku,” ujar Putri Aletha.
“Sebelumnya sama-sama, tapi maaf saya melakukan ini dengan ikhlas dan tulus.” Zeline menolak diberi imbalan.
“Baiklah jika kamu menolaknya, tapi ingatlah jika kamu membutuhkan sesuatu, datanglah ke negeri kami. Kami siap membantu,” ujar Putri Aletha sambil memegang tangan Zeline.
“Aku hanya ingin pulang ke desaku. Itu saja,” jawab Zeline.
“Biklah. Sekarang kamu tutup matamu dan genggam erat tanganku!” pinta Aletha. Zeline menuruti ucapan Putri Aletha. Ia menutup matanya dan menggenggam erat tangan Putri Aletha. Saat membuka mata, Zeline sudah berada di depan rumahnya. Ia masuk ke dalam rumah dengan perasaan gembira karena telah berhasil menyelamatkan Negeri Fluter dari kehancuran.