Kalian tahu rasanya bagaimana mengendarai motor butut? Pagi ini aku sudah merasakannya. Aku turun di trotoar sambil memalingkan muka agar tak terlihat oleh orang-orang. Lalu aku membantu Bapak mendorong sepeda bututnya dengan berat hati. Aku sudah menduga jika tiba di sekolah nanti teman-temanku pasti akan mengejekku. Ayo dorong! Kata-­­kata itu terngiang-ngiang di telingaku akibat ocehan temanku dua hari lalu. Makanya aku tidak suka dengan motor butut bapakku ini.

Motor yang biasa digunakan Bapak untuk mengantarku ke sekolah adalah jenis motor bebek keluaran tahun sembilan puluhan. Warna hitamnya sudah pudar. Stikernya banyak yang lepas. Knalpotnya berkarat. Dari knalpot ini mengeluarkan suara bruummm yang memekakkan telinga disertai asap seperti fogging pemberantasan nyamuk demam berdarah. Lalu yang paling menjengkelkan adalah, setiap satu kilometer motor itu selalu mogok.

“Kalau jalan begini kan enak, bisa sambil olahraga,” kata Bapak kepadaku.

Aku diam saja sambil menggerutu dalam hati. Kalau setiap hari seperti ini ya bukan olahraga, tapi bikin capek.

Bapak menoleh sekilas sambil tersenyum kepadaku. Aku tidak membalas senyumannya.

Tangan bapakku masih kuat menuntun sepeda motornya. Bapakku memiliki otot yang kekar karena kesehariannya sebagai seorang kuli bangunan. Bapak juga sangat menyayangiku. Sejak TK hingga SD kelas 6 aku selalu diantar dan dijemput oleh bapakku dengan motor butut ini.

Sementara jalanan mulai ramai oleh lalu-lalang kendaraan, aku hanya bisa berharap temanku tidak ada yang lewat sini agar aku tidak malu.

Bapak memarkir sepeda motornya di bawah pohon rindang di tepi jalan. Lalu segera mengotak-atiknya kembali dengan obeng dan peralatan sederhananya.

“Bagaimana kabar teman barumu yang katanya baik itu?” tanya Bapak.

“Santi? Dia sangat baik. Tidak seperti teman-teman lainnya,” jawabku singkat karena masih jengkel dengan sepeda motor Bapak.

Sekarang Bapak kembali menytarter sepeda motornya lagi. Beberapa kali mencoba menytarter dengan ayunan kaki, akhirnya dapat hidup lagi. Suaranya seperti mesin penggiling padi. Keras sekali. Aku kembali naik ke sepeda motor dan berharap sampai ke sekolah tepat waktu.

***

Kalian tahu rasanya di-bully itu bagaimana? Meskipun pagi ini aku tidak terlambat karena motor mogok itu, tetapi di luar kelas banyak anak yang mengejekku.

“Habis dorong-dorong ya, ha… ha… ha…! Kasihan!” kata beberapa anak perempuan, menyindirku.

Tiba-tiba, “Ayo Ratna, kita masuk saja! Jangan dengarkan mereka!” Santi menyeretku ke dalam kelas.

“Hai anak baru!  Jangan ikut campur kamu! Masih baru di sini, tapi kelakuannya kayak gitu.” Terdengar suara Dita, anak orang kaya itu. Akan tetapi, Santi tidak mendengarkan kata-kata Dita. Aku dan Santi berjalan menuju tempat dudukku. Aku menaruh tas sambil menarik napas lega.

“Terima kasih ya Santi, kamu sudah menolongku tadi,” kataku.

“Iya tidak apa-apa.”

“Sahabat?” tanya Santi kemudian.

“Sahabat!” aku menjawabnya sambil tersenyum. Kami pun tersenyum bersama. Mulai saat itu kami semakin dekat.

***

Pulang sekolah aku dan Santi berdiri di depan gerbang menunggu jemputan masing-masing. Sekolahku terletak di jalan besar Desa Sumberaji, di Malang Selatan yang sunyi.

Sebenarnya aku malu jika dijemput motor butut bapakku itu. Aku ingin menghindar, tapi sepertinya Santi masih mau mengobrol denganku. Aku malu karena kelihatannya Santi adalah anak yang lahir dari keluarga mampu. Kulitnya bersih dan selalu berpakaian rapi. Nanti dia tahu motor butut Bapak.

“Santi, kamu dijemput pakai apa?” tanyaku.

“Pakai sepeda ontel,” jawabnya.

“Lo, kamu tidak dijemput dengan sepeda motor?”

“Tidak, aku tidak punya sepeda motor.”

Aku kaget mendengarnya. Masak Santi yang penampilannya seperti itu tidak memiliki sepeda motor.

Tak berapa lama kemudian datang seseorang yang mengendarai sepeda ontel. Lelaki agak tua berkulit hitam, pendek, dekil, kontras sekali dengan anaknya. Santi berjalan ke arah orang tersebut, tersenyum kepadanya, lalu mencium tangannya, dan menaiki sepeda ontel tadi.

“Aku duluan ya, Ratna!” kata Santi dari atas sepeda ontel sambil belalu meninggalkan aku sendirian.

Kulihat Santi langsung memeluk tubuh bapaknya, kemudian saling bicara. Dari kejauhan aku melihat mereka tertawa bahagia meski hanya naik sepeda ontel tua. Aku terharu menyaksikan kejadian itu sampai tak terasa air mata jatuh di pipiku, tapi aku segera mengusapnya, takut ada orang melihat.

Aku merasa bersalah kepada Bapak. Selama ini aku selalu menjawab pertanyaan dan gurauan Bapak secara singkat dengan nada datar, hanya gara-gara jengkel pada sepeda motor bututnya. Rasanya aku ingin segera menemui Bapak dan langsung memeluknya erat sambil meminta maaf. Semoga Bapak segera datang menjemputku, kataku dalam hati.

Satu jam berlalu, dua jam berlalu, kenapa Bapak belum datang juga? Kemudian Paman datang membawa sepeda motornya yang baru dibeli dua bulan yang lalu dari Kalimantan.

Paklik, Bapak mana? Kok ndak menjemputku?” tanyaku buru-buru.

“Bapakmu sudah berangkat ke Kalimantan. Tadi, pukul sepuluh,” jawab Paman.

Aku sangat terkejut.

“Lo, kenapa berangkatnya cepat sekali? Kenapa ndak bilang aku?”

“Iya, pakdhe-mu telepon dari Kalimantan, menyuruh bapakmu cepat ke sana. Mumpung ada kapal yang sandar di Surabaya, jadi harus cepat berangkatnya.”

Aku langsung menangis untuk kedua kalinya.

“Sudah, tidak usah menangis. Nanti bapakmu bisa beli motor kayak punya Paklik,” kata Paman, menenangkanku. Seakan Paman mengerti apa yang kuinginkan hari-hari kemarin.

“Sementara ini Paklik yang akan mengantar-jemput kamu.”

Aku tidak bisa berkata-kata. Hanya bisa menangis di sepanjang jalan.

***

Kalian tahu apa yang paling aku inginkan saat ini? Aku hanya ingin Bapak pulang. Aku sudah tidak peduli dengan motor baru, dan lebih tidak peduli lagi dengan bullyan teman-teman. Aku cuma ingin Bapak pulang.

***

Dua bulan sejak Bapak pergi merantau ke Kalimantan, aku sakit-sakitan. Yang paling parah seminggu ini. Dokter bilang aku terkena tipus dan disuruh istirahat total di rumah. Kurasa aku hanya kurang olahraga. Dulu aku sering olahraga pagi dengan mendorong sepeda butut Bapak. Ah, mengingat itu membuatku bertambah sedih.

Sahabatku Santi datang menjenguk. Aku sangat senang. Dia datang ke kamarku.

Kamarku, kamar yang sederhana, ada lemari tua di sudut ruangan, sebuah meja lengkap dengan kursinya, dan kasur kapuk yang sudah keras. Santi duduk di kasur keras ini.

Santi menceritakan keadaan di sekolah dan teman-teman yang mau menjenguk ke rumah.

“Termasuk Dita?” tanyaku.

“Iya, dia sekarang sudah baik lo.” Santi meyakinkanku.

Setelah hampir satu jam berada di sini, Santi pulang. Kamarku menjadi sepi kembali.

Aku ingin tidur, tapi mataku tak bisa terpejam. Hanya Emak yang menemaniku saat sakit. Emak sampai tidak ke sawah hanya untuk memastikan obat dari dokter sudah kuminum. Kami tinggal berdua saja sejak Bapak merantau.

Tiba-tiba aku mendengar suara pintu rumah diketuk. Kenapa Santi balik lagi? pikirku. Suara ketukan pintu kembali terdengar.

“Emak! Emak…! Ada tamu di luar!” teriakku dengan suara pelan. Kurasa Emak sedang ada di dapur, merebus air.

Sebelum Emak melangkah membuka pintu, aku mendengar suara orang memberi salam.

“Assalamualaikum!” seru orang di balik pintu. Kok seperti suara Bapak? Hmm… mungkin aku terlalu merindukannya sampai mengkhayal kalau Bapak sudah pulang.

Kemudian aku mendengar Emak membuka pintu sekaligus menjawab salam orang tersebut. Kudengar Emak berbincang-bincang sejenak dengan orang tersebut. Lalu kudengar Emak melangkah ke kamarku bersama orang tersebut.

Aku melihat Emak tersenyum kepadaku, sementara lelaki di belakang punggungnya kemudian muncul.

 “Ya Allah, Bapaaakk!” teriakku. Rasanya aku tak percaya. Aku langsung memeluk Bapak dengan erat.

“Bapak tidak usah balik lagi ke Kalimantan,” kataku sambil menangis di pelukan Bapak.

“Tapi Bapak belum bisa membelikanmu motor baru,” ucap Bapak sambil mengelus kepalaku dengan lembut.

“Aku tidak butuh motor. Aku hanya butuh Bapak di sampingku,” kataku sambil bercucuran air mata.

Kulihat Emak di sampingku hanya tersenyum kecil dan mengangguk. Kurasa Emak juga setuju denganku, kalau Bapak tidak usah pergi jauh lagi.[]