Hampir setengah tahun aku telah menggeluti kebiasaan ganjil ini, bila tak dapat dikatakan goblok. Bagi kalangan tertentu, aktivitas ini adalah jalur utama menuju kesintingan. Mungkin juga kematian lantaran bisa berujung divonis depresi akut. Namun, betapa pun anehnya, tetap saja aku tekuni dengan takzim.

Perbuatan tak lazim ini cukup sederhana karena dapat dikerjakan dalam tempo singkat, hanya menguras sekitar 10 hingga 15 menit saja. Aku pun dapat mengamalkannya di mana-mana, tak terbatas oleh ruang: di bawah pohon rindang, di geladak perahu, bahkan di antara semak belukar yang menguning.

Kali ini, sambil melumat nasi, kentang balado, telur, dan kerupuk, aku kembali mendemonstrasikan kegiatan tolol ini dengan harapan, dunia tidak akan mencencangku menjadi serpihan. Langkah-langkahnya pun sangat mudah. Hal pertama yang kulakukan ialah mengunyah. Dan kedua, memejamkan mata.

***

Siang itu bergulir dengan gelisah. Udara mendekati kelembapan. Awan masih asyik mengapung pada tempatnya dan angin berjatuhan di atas kening. Pada siang itu pula, ketika langit terlunta memohon perhatian, akhirnya kami menjalin kontak setelah sekian lama berdiam dan saling tak acuh.

Beberapa waktu lalu, rasa-rasanya ia lebih sering menemaniku dibandingkan siapa pun. Jika di situ ada aku, di sana pula ia bercokol. Kami seumpama sepasang kekasih yang enggan melonggarkan genggaman meski sedetik. Kami pun tak pernah berpisah sejak dilahirkan ibu. Tatkala aku mencoba kabur darinya, hanya kesia-siaan yang kujumpai.

Untuk itu, renungku, tiada salahnya untuk mengobrol barang sebentar usai menghadiahinya pukulan beruntun. Jangan kaget, aku mampu menerangkannya. Sebelumnya, kami tak pernah mengusik satu sama lain. Jangankan mengganggu, sekadar bercengkerama atau melirik pun jarang sekali kami lakukan.

Aku mengamini teori yang menyebut bahwa semakin sedikit interaksi yang muncul, semakin bahagia pula hayat ini berjalan. Dengan demikian, senyap adalah kata yang tepat untuk menggambarkan hubungan kami berdua. Kami nyatanya tak saling mengenal, terlalu sibuk dengan urusan masing-masing.

Namun belakangan, di belahan utara kota bajingan ini, aku justru menyiksanya bertubi-tubi, secara kejam dan curai sehingga napas kami turun naik. Mulut kami mengagut-agut. Dan, sebagaimana yang dapat ditebak, ia tak menghindar. Ia malah tenggelam dalam lamunannya, tak sudi mengubah posisinya.

Semestinya ia tak perlu merasakan kepedihan kalau saja aku tak sebebal ini. Kadang kala, keberengsekan mesti menelan korban, dan aku menetapkannya sebagai mangsa empuk untuk dicabik-cabik hingga koyak walaupun segenap pengembaraan umurku dipenuhi oleh kehadirannya.

Adegannya kira-kira begini: usai menggampar kepalanya, aku melilit lehernya kuat-kuat dengan cengkeraman hingga ia tersengal-sengal. Kakinya kuseret dengan rantai yang telah berkarat, lalu tangannya—yang kurus kerempeng itu—kuikat dengan benang tajam, siap untuk mengiris-iris tiap lapisan.

Sebagai pelengkap lakon, aku sayat rusuknya dengan pisau tumpul dengan bentuk lingkaran yang tak sempurna. Kulitnya berlumuran luka, warna merah kehitaman membungkus hampir sekujur tubuhnya. Dan, entah bagaimana siasatnya, ia masih berkutat dalam kesunyiannya. Menolak mati.

Satu hal yang membingungkan ialah aksi brutal ini tak sanggup kukontrol biarpun telah kukerahkan seluruh tenaga yang tersisa. Aku seperti hilang kendali, ibarat melepaskan kemudi kapal di pusat gelombang raksasa. Sementara itu, ia hanya mengerang kesakitan, sambil sesekali mendengus.

“Apa kabar?” tanyaku memulai perbincangan.

Ia masih saja membisu, tiada respons signifikan yang tersimpul. Berikutnya, sepi menggerogoti kami. Dari pergerakannya yang lunglai, badannya tampak ringkih jika diperhatikan dengan jeli.

Ia seperti merengut sekaligus meronta-ronta. Akan tetapi, tak ada suara nyaring yang terdengar. Ia laiknya sebongkah kayu tua yang hanya berguncang halus menuju kelapukannya yang abadi.

“Mengapa diam saja? Ayo, lawan aku! Apakah kemarahanmu telah melewati batas?” seruku dengan lantang, berusaha memprovokasi. Aku menentang matanya yang menyala bagaikan api Olympus yang membakar Prometheus.

“Coba kamu pikir baik-baik…,” ujarnya perlahan, sembari menghela napas panjang.

“He, kamu belum menjawab pertanyaanku.”

“Pertarungan ini sudah berlangsung berminggu-minggu, entah dari hari apa, entah dari tanggal berapa. Kita ini hidup sengsara, belum paham juga rupanya?”

Beragam nada sinis pun menyembur keluar. Aku dapat mengamatinya dengan saksama. Selanjutnya, hanya kalimat-kalimat menyebalkan yang kuterima dari kerongkongannya.

“Kita berdua butuh asupan, sialan. Caranya, ya, kumpulkan uang sebanyak mungkin!” teriaknya kencang-kencang, persis di telingaku, “kita sudah sepakat bahwa mencuri tidaklah bijak, bukan?”

Sejujurnya, aku telah mengindahkan ocehannya itu. Tapi apa daya? Aku pernah terjun di sejumlah profesi: aktivis lingkungan, praktisi lembaga bantuan hukum, pegiat komunitas literasi pedesaan, hingga guru honorer di jenjang perkotaan. Dan semuanya itu tak sedikit pun membuatnya puas. 

“Kamu ini ngomong apa? Aku sudah berupaya sampai-sampai benakku yang dungu ini tak mampu membedakan lagi mana yang waras, mana yang sedeng,” sergahku buru-buru, bersusah payah membela diri.

“Tinggalkan idealisme busukmu itu! Bukankah itu semboyan zaman kini? Satu-satunya kelebihan yang dimiliki orang melarat ialah rasa lapar. Tiada yang dapat memberimu ambisi kecuali dirimu sendiri. Nah, begitulah kota!”

“Pembicaraan ini sungguh gila. Kamu itu sekarat, jangan nekat dan bersikaplah ramah padaku. Aku tak tahu kapan kepalan ini akan meninju rahangmu lagi.”

“Dengar, di tempat keparat ini, uang adalah segalanya. Dengan segepok uang, kita berdua bisa mempunyai lebih banyak opsi. Tengok kawan-kawanmu itu. Sudah ada yang beranjak jadi mafia kacangan, komisaris perusahaan, staf ahli, sampai pejabat tingkat nasional. Dan kamu, astaga, masih betah di sini!”

Aku ingat, ia terus-menerus mengomel dan mengamuk semenjak menyadari tabiatku yang kontras dengan hukum rimba perkotaan: siapa yang cepat, dia yang dapat. Siapa yang lemah, dia akan jadi remah. Selama ini, aku memang rela dibayar ala kadarnya dan hal itu membuatnya naik pitam tak keruan.

Kami terkadang berdebat sengit kala aku sudi mengadvokasi para petani sawit yang dikriminalisasi atau guru-guru yang diupah rapelan atau masyarakat korban penggusuran atau buruh pabrik sepatu yang dipecat secara sepihak atau korban pelecehan seksual tanpa mematok biaya sepeser pun.

Pada lain kesempatan, ia juga gusar terhadap keputusanku menjadi relawan tenaga medis di pelosok meski bukan lulusan kedokteran atau pilihanku membuka perpustakaan keliling gratis, yang mana membikin buku-buku yang telah kukumpulkan lenyap dicolong tanpa jejak. Ia jelas menaruh dendam padaku.

“Sejauh ini, aku sebenarnya masih baik-baik saja. Cuma, yah, sejak pertama kali mengenalmu, tidak pernah kubayangkan kita bakal menemui fase ini.”

Sejurus kemudian, bogem mentah lekas-lekas mendarat ke arah pelipisnya, hampir tanpa jeda, dan tentu tanpa perlawanan yang berarti. Sendi-sendiku menggigil. Kulihat mendung di angkasa, mengguyur cakrawala kami. Aku mematung, hanya takjub memandanginya berdarah-darah sembari terkekeh.

“Kamu mesti membuang semua egomu dan memikirkan masa depan kita. Sebab bagaimanapun, yang bisa menghasilkan uang itu, ya, kamu. Aku pun menua, energiku terkikis dan kian melemah,” ungkapnya, “lihatlah tatapan-tatapan itu, mereka hendak membenamkan kita ke dasar bumi.”

“Beri aku waktu, sehingga aku bisa menebus semua kebejatanku. Kamu tahu, mengalah tidak ada dalam kamusku,” sekarang punggungku basah kuyup digenangi peluh, “aku yakin, manusia tak hanya digerakkan oleh rasa laparnya belaka.”

Ia terkapar, menoleh ke tepian, mengelak dari mataku. Area ini betul-betul telah menjelma medan pertempuran privat, seolah-olah hanya diciptakan untuk kami semata.

“Bukankah kamu suka menulis? Bila demikian, bolehlah kamu ceritakan obrolan ini. Supaya orang mengerti, ada tebing terjal yang harus didaki untuk menjadi manusia seutuhnya, seperti yang kamu percayai itu.”

Dari sini, kata-katanya hilang dilahap udara pesisir. Hujan menengok dari sela-sela angkasa yang tumpah ruah.

***

Aku membuka mata, meraih kopi hitam yang sudah dingin sambil duduk bersila di samping tong sampah masjid yang terletak di sudut pelataran. Nasi kotak, yang kuperoleh secara cuma-cuma selepas salat Jumat, sudah habis. Lauk-pauk ini adalah makanan termewahku sejak sepekan terakhir.

Berbulan-bulan aku telah berusaha menerapkan teknik ini—teknik yang kupelajari dari petarung carok di pasar—secara rutin dan berkesinambungan. Kata dia, guna menahan rasa perih di lambung, adakalanya seseorang mesti mengajak perutnya untuk mengobrol. Semacam percakapan intim.

Aku sontak mengusap perutku, seraya berterima kasih atas kesediaannya untuk menggeluti obrolan payah nan menjemukan ini. Sesudah itu, aku membakar puntung rokok sisa tadi pagi, menandaskannya, lalu bergegas memasuki ruang rapat guna melanjutkan advokasi bersama warga yang hendak ditendang dari tanahnya demi pembangunan mal termegah dalam sejarah negeri.

Masjid Raudhatul Jannah – Jakarta Utara, 2 Maret 2023.

*) Image by istockphoto.com