Judul : Srimenanti
Penulis : Joko Pinurbo
Tahun : April 2019
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Tebal : 138 halaman
Sejak mula, novel Srimenanti sudah tertuduh berbahan dasar kisah-kisah selingkup diri si penulis. Bagaimana tidak, cerita mula-mula dibuka oleh pertemuan kebetulan seorang tokoh lelaki dengan perempuan (Srimenanti) yang terduga pernah ia temui di antara baris sajak Pada Suatu Hari Nanti milik Sapardi Djoko Damono. Ia itu tokoh yang sepanjang novel disebut sebagai Mas Penyair, si pecandu sajak tak lekang waktu dan sering mabuk sebab kebanyakan minum puisi. Tokoh Mas Penyair kemudian mudah saja diprasangkai pembaca sebagai Joko Pinurbo alias Jokpin sendiri.
Tuduhan itu wajar dilayangkan pembaca yang kebetulan agak sering mengikuti perjalanan puisi dan kepenyairan si penggubah novel. Sekian kota yang dipilih jadi latar cerita dan sejumlah nama seniman itu dekat dengan kehidupan Jokpin yang senyatanya. Jogjakarta dan Jakarta, dua kota dominan yang menjadi muara ragam pekerjaan seni yang dilakoni tokoh-tokoh dalam novel.
Di Jakarta, Mas Penyair misalnya ngopi-ngopi sambil merayakan puisi dengan Yusi si penggubah novel Raden Mandasia, Beni Satryo si guru Pendidikan Jasmani dan Kesunyian, Seno, Hanafi, sampai Sapardi. Pulang ke Jogja, Mas Penyair menambal kangen pada ibu, juga bertemu Joni Ariadinata dan Butet. Sementara Srimenanti, selain bertemu ibu, nongki-nongki dengan Nasirun, Djaduk, Mas Cindhil yang penyair dan aktor, serta Romlah si pemilik toko buku dan angkringan di sebelah utara kota itu. Pernah di hari penasaran, sebab urusan pelik perpuisian, Mas Penyair pergi ke Makasar dan bertemu dengan Aan, Faisal, dan Shinta Febriany.
Kota dan nama-nama itu terdengar begitu nyata di hadapan sidang pembaca sastra Indonesia. Meski di mula buku Jokpin sudah ancang-ancang memberi kawruh yang menegaskan bahwa Srimenanti itu buku fiksi –kendati di dalamnya terdapat nama-nama yang dapat dijumpai di dunia nyata. Tapi toh, pembaca berhak tak percaya pada pengantar itu. Apalagi waktu acara bedah bukunya di Jakarta akhir April lalu, Jokpin sendiri mengaku bahwa ada sosok nyata di balik tokoh Srimenanti dan ia tak akan pernah berani membacakan cerita gubahannya di depan perempuan itu. Aduh!
Aktivitas membaca terasa begitu ringan dan menggembirakan sebab pembaca kadung kecanduan lucu dan iseng dan nakalnya bahasa –puisi-puisi— racikan Jokpin. Meski Srimenanti itu novel, pembaca nekat menikmati pagina demi paginanya juga sebagai puisi. Di hadapan Jokpin, bahasa Indonesia memang kerap jadi lucu, hangat, dan cair. Selepas puisi-puisinya yang lahir duluan, kita mendapat suguhan baru yang lain bentuknya.
Kendatipun demikian, corak kalimat penyusun cerita sepanjang novel tak bisa menanggalkan kepujanggaan Jokpin. Naluri kepujanggannya kental. Di tiap mula fragmen cerita dan/atau paragraf, pembaca bersemuka dengan lema-lema sungguhan berwajah puisi, misalnya pada suatu kangen, pagi yang basah, saya dipeluk demam, berkali-kali dicumbu hujan, tertawan dalam sajak, kepalaku sedang penuh, melukis kekosongan, dan lain sebagainya.
Hampir di tiap tikungan paragraf dalam novel, kalimat-kalimat Jokpin laik didaulat jadi puisi atau kutipan puitis untuk konten jualan kata-kata di media sosial. Kita cerap sebagian besar dari satu bangunan paragrafnya. “…, saya ingin terbebas sejenak dari hari-hari yang gerah dan berisik, penuh caci maki dan intrik. Hari-hari ketika bahasa Indonesia limbung diterpa karut-marut kata-katanya sendiri. Hari-hari ketika bahasaku, bahasamu kehilangan selera humornya” (hlm. 61). Selain puitis, paragraf ini juga politis.
Bahasa dan Politik
Tokoh Mas Penyair menunjukkan kelelahannya sebagai manusia bahasa. Aktivitas-aktivitas politik yang tegang belakangan ini mengakibatkan hilangnya kelucuan orang-orang saling silang kata, mengalami hari-hari berbahasa tanpa sentimen-sentimen tak perlu. Belakangan banyak orang terlalu sensitif sehingga mudah tersinggung, marah, dan kalap.
Tempo hari saya bertemu dengan kawan lama di stasiun. Saya menyapa, “Hai, hari gini badanmu masih saja ramping. Tingkatkan makannya atuh.” Eh, dia kurang berkenan. Mungkin dia merasa saya menganggapnya kurang gizi. “Yang penting taat beragama dan ibadahku tidak kurang,” katanya ketus (hlm. 62). Membawa-serta agama dan Tuhan sekarang ini memang jadi tren, termasuk yang paling santer bila dikait-kaitkan dengan kepentingan politik kelompok tertentu.
Selain cuaca panas politik mutakhir, Srimenanti menemani pembaca berziarah ke pusara rezim politik masa lalu. Meski tak gamblang menunjukkan latar waktu, kemunculan eltece atau lelaki tanpa celana dengan darah mengental di ujung kemaluan dan kerap merintih sakit, Jenderal! Sakit, Jenderal! itu sarat dengan ruang waktu pembabakan kekuasaan tertentu. Jenderal itu jelas identik dengan Orde Baru. Orde yang hobi menculik, menghilangkan jejak, menghabisi nyawa orang-orang yang “dianggap” menyimpang dari ketaatan pada pemerintah.
Saat berlangsung operasi penangkapan para aktivis dan seniman yang dianggap memberontak, Sugi diam-diam menyetorkan nama ayah saya kepada pihak berwenang untuk dimasukkan ke dalam daftar orang-orang berbahaya—dengan tambahan embel-embel “kiri”. Sesungguhnya ayah saya hanya orang lurus—alih-alih lugu—yang punya hobi menulis dan bermain teater (hlm. 10).
Seperti yang terjadi kepada ayah Srimenanti, sering tak ada proses peradilan yang semestinya dilakukan di negara berlumur hukum. Pemerintah dengan kekuasaan yang absolut dan otoriter jadi satu-satunya tuan yang berhak memenggal harapan hidup siapa saja. Harapan yang kemudian susah disulut nyalanya dalam remang keberlanjutan hidup keluarga dan orang-orang terkasih yang ditinggalkan.
Karena terlalu memikirkan tentang Ayah, konsentrasi saya buyar dan suasana hati saya ambyar. Kendatipun saya sudah membaca buku tentang cara-cara berdamai dengan kenangan, tetap saja pikiran saya berantakan dan sulit ditata ulang. Lukisan yang belum rampung saya kerjakan, saya tinggalkan begitu saja (hlm. 10). Penghilangan paksa orang-orang terkasih itu kenangan sungguh pedih nan traumatis sepanjang hidup. Tak peduli sekuat apa orang-orang yang ditinggalkan bermaksud “baik-baik saja”. Ada lubang duka yang senantiasa menganga dan kapan saja bersedia menghabisi amunisi hidup yang sedang berlaku.
Lebih dan kurang, Srimenanti patut jadi kawan baik saat ngopi berdua dengan bahasa Indonesia yang lucu, lugu, tak mudah berang, dan jauh-jauh dari intrik politik nirfaedah. Tsah!