Penulis perempuan Indonesia yang satu ini punya perjalanan panjang dalam menempuh proses di dunia kepenulisan. Kisah suksesnya bisa membuat kita merasakan dua hal sekaligus; pertama, terpukau karena salut pada semangatnya, kedua, bangkit dan mulai menata impian menjadi penulis profesional. Percaya atau tidak, penulis kelahiran Ngawi, 2 Februari 1972 ini awalnya merupakan seorang “penulis indie”, yang hanya bisa menerbitkan buku sendiri, membuat acara launching buku sendiri, dan yang paling parah, hanya ada satu orang yang membeli bukunya, itu pun temannya sendiri.
Namun, ungkapan bahwa usaha tidak pernah mengkhianati hasil, itu benar-benar dialaminya. Setelah perjuangan panjang itu dilalui, 3 bukunya telah dialihwahanakan ke film, menyusul satu bukunya lagi, yakni Rindu Terpisah di Raja Ampat sedang disiapkan untuk diangkat ke layar lebar.
———
- Halo Kak Kirana, boleh deskripsikan, siapa itu Kirana Kejora?
Hi… Salam kenal. Kirana Kejora itu penulis, seorang creativepreneur dan writerpreneur. Dia domisili di Surabaya, kadang tinggal di Jakarta dan Bandung juga. Tapi seringnya, sih, di Jakarta. Dia punya dua anak yang sudah sarjana dan masih kuliah. Bahagia menjadi ibu sekaligus ayah bagi mereka. Dulu dia kuliah di Universitas Brawijaya, Fakultas Perikanan Kelautan. Suka menulis sejak kelas 3 SD. Baginya, menulis itu obat sakit jiwa dan dia selalu setia pada pilihan hidupnya dengan menjadi penulis. Ya, dialah aku.
- Sebagai penulis perempuan, bagaimana, sih pendapat Kak Kirana tentang penulis perempuan lainnya di Indonesia?
Kalau dari segi kuantitas, penulis perempuan di Indonesia sangat banyak. Karena aku ‘kan bersama Bekraf (kini Baparekraf, red) sudah tiga tahun keliling 12 kota di Indonesia memberi Workshop Writerpreuneur, dan di setiap kota tuh kayaknya jumlah peserta laki-laki enggak sampai 20 persen. Setiap kelas hampir kebanyakan perempuan, bahkan yang lebih aktif juga cewek. Tapi dari sisi kualitas, dibandingkan penulis perempuan, meski penulis cowok itu pergerakannya silent, tahu-tahu muncul dengan karya yang “wah”. Jadi dari sisi kualitas kebanyakan penulis cowok yang jumlahnya langka itu lebih unggul.
- Wah menarik. Oh, iya, Kak Kirana ‘kan seorang writerpreuneur juga nih, ceritain dong tentang apa sih writerpreuneur itu?
Begini, aku kira zaman sekarang tuh kita enggak cukup kalau hanya menjadi penulis aja, meskipun itu enggak dosa. Ada tipe orang yang hanya pengen jadi penulis aja, ya enggak apa-apa. Tapi itu tuh sayang banget, banyak peluang emas untuk mendapatkan hasil lebih dari seorang penulis jika mau sedikit berlelah-lelah dan menuangkan ide kreatif di bidang pemasaran dan usaha.
Andaikan semua penulis di Indonesia mau berpikir visioner dan maju ke depan, aku yakin pasti semua bisa hidup dari menulis. Contoh kecilnya misalkan, seorang penulis itu tidak hanya bisa menerbitkan buku saja, tapi juga bisa menjadi konsultan penerbit, membuat perusahaan penerbit, serta bisa menjadi pembicara di seminar kepenulisan. Bahkan kalau beruntung ‘kan bukunya bisa difilmkan. Kita mesti mau jadi tim marketing bagi karya kita sendiri. Jangan hanya mengandalkan penerbit buku.
- Untuk menjadi writerpreuneur itu langkah yang harus ditempuh seorang penulis apa saja, Kak?
Misal, kita bisa buka pre-order untuk buku kita yang akan terbit, selain itu penulis juga harus mau belajar teknis penerbitan buku, harus tahu mana cover buku yang menarik pembeli, promo harus bagus, dan tahu target pemasaran karya kita juga penting. Aku juga rutin membimbing alumni Bekraf untuk menjadi writerpreneur, satu di antaranya Komunitas Elang Tempur.
Saat promo juga bisa membuat semacam book trailer dari buku si penulis. Saran aku buat temen-temen penulis milenial maupun gen-Z harus berpikir visioner, harus tahu juga apa sih yang dibutuhkan pembaca kita. Makanya harus riset dulu, agar bukumu kuat, jualannya juga hebat. Saat ini pekerjaan penulis tuh lagi bagus-bagusnya, lho. Kita harus ambil peluang itu.
- Oke, jadi saran Kak Kirana buat para penulis pemula nih gimana sih, Kak?
Jangan takut jadi penulis, banyak peluang besar yang bisa diambil oleh penulis. Enggak mesti jadi penulis fiksi aja, bisa juga nulis non-fiksi kayak catatan perjalanan yang ditulis Agustinus Wibowo, yang karyanya juga difilmkan. Nulis aja dulu, lalu jaringan diperkuat, terus tingkatkan kemampuan. Semua itu by design dan mengetahui tahap demi tahap proses yang harus dilalui. Enggak masalah jadi penulis indie, soalnya aku juga awalnya ‘kan seorang penulis indie.
- Bisa diceritakan soal penulis indie, Kak?
Pengertian indie adalah kamu bisa mengemas bukumu mulai dari cetak hingga pemasaran. Tahun 2004, aku dulu wartawan kecil di Surabaya. Mulai menulis dan menerbitkan buku sendiri judulnya Kepak Elang Merangkai Edelweiss—alay, ya—buku itu diterbitkan dalam bentuk foto-kopian. Aku tes ombak dulu dengan memasarkan ke toko-toko buku di Surabaya, aku juga memanfaatkan jaringan pertemanan. Aku nekat berani launching dengan buku foto-kopian yang dikasih sampul itu. Pas launching enggak ada satu pun yang beli buku. Cuma terjual satu, itu pun saat acara telah selesai. Ternyata yang beli temenku sendiri, katanya sih kasihan lihat enggak ada yang beli makanya dia beli—aku baru tahu 5 tahun setelahnya. Duh, perjuangan mah panjang berliku deh, pokoknya.
- Apa sih kak keunggulan jadi writerpreneur?
Keunggulan ber-independent, minimal untung buku standar 150 persen. Kamu juga akan tahu marketmu bagaimana, goal-mu mau ke mana?
- Apa sih, yang membuat Kak Kirana bisa kuat bertahan menghadapi perjuangan menuju kesuksesan sekarang?
Aku itu termasuk orang yang percaya bahwa semua tulisan akan menemui pembacanya sendiri. Makanya aku berani bawa 50 buku aku ke Gramedia Surabaya, eh selang tak berapa lama mereka minta 100 eksemplar lagi, waktu itu tahun 2006. Terus berlanjut minta lagi 750 eksemplar. Ternyata buku kecil itu ada yang suka. Allah akan langsung menunjukkan orang untuk membantu kita. Terus di tahun 2008, bukuku yang berjudul Perempuan dan Daun cetak 1200 eksemplar, awalnya script FTV dulu. Tahun 2005 juga ditayangkan di Jawa Post TV. Lalu aku kembali nerbitin buku pada tahun 2009.
- Oh, iya, dengar-dengar ada 3 buku Kak Kirana yang difilmkan, ya?
Betul. Air Mata Terakhir Bunda tahun 2013, Ayah Menyayangi Tanpa Akhir tahun 2015, Yorick tahun 2019, tayang tahun ini, 2020. Sementara itu ada lagi persiapan memfilmkan novel Rindu Terpisah di Raja Ampat, proses syutingnya belum dimulai. Film ini butuh dukungan banyak pihak. Jadi persiapannya harus benar-benar matang. Tapi surat izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI udah keluar, survey lokasi juga sudah mulai dipersiapkan. Satu lagi, buku itu tidak harus best-seller untuk bisa dijadikan film.
- Ceritain dong proses kreatif menulis Kak Kirana….
Proses kreatif menulis itu mengalir saja. Waktu menulis aku itu malam, jam 12 sampai subuh. Kalau siang aku enggak bisa menulis. Setelah salat malam, aku merasa mendapat energi luar biasa. Soalnya sosok imajiner itu kuat saat malam menuju pagi. Bahkan aku sangat menyadari, saat ada kebaikan di tulisan bagi pembaca, itu adalah kalimat dari Tuhan, tapi ketika ada yang salah di tulisanku, itu kalimat jelas dariku.
- Kasih pesan-pesan Kak Kirana buat orang yang mau belajar menulis, Kak…
Harus berani dicaci-maki, menebar jaringan sebanyak-banyaknya, peka terhadap lingkungan. Oh, iya, penulis dilarang curcol enggak jelas di medsos. Lebih baik bikin caption untuk karyanya. Soalnya medsos itu rumah pribadi penulis. Penulis harus rendah hati, membumi, attitude bagi penulis itu nomor satu. Kalau penulis songong itu artinya, sejak itu juga ia telah mati.
Penulis sejati itu penulis yang mau melahirkan penulis yang lebih besar, melebihinya. Tugas penulis itu bagaimana membuat cerita sedekat mungkin dengan pembacanya. Hargai pembacamu seperti raja. Jangan pernah takut untuk menulis. Jangan pernah takut salah. Jadilah pembelajar sejati. (rhu)
Trackback/Pingback