Hari menyenangkan kadang muncul di pertengahan pagi yang biasa. Pagi yang diawali dengan gerutu karena weekend singkat yang harus dilewati dengan bekerja, sementara orang lain barangkali sibuk menyiapkan backpack untuk travelling atau mungkin sedang leyeh-leyeh bersama keluarga di rumah. Ya, seperti Sabtu yang terik di 23 Februari lalu. Matahari pukul 10 langsung menyengat kulit dan menyilaukan mata saat aku, Al, dan 11 pelajar yang aku bawa dari SMP Mathla’ul Anwar Buaranjati, turun tepat di depan jam besar di kawasan Pasar Lama Kota Tangerang. Itu masih jadi hari yang biasa, pikiranku masih tertinggal jauh di rumah, tertuju pada Kin anak pertamaku yang sedang sakit, juga pada Kal, anak ke-dua di gendonganku yang sepertinya sudah mulai ngedrop. Kal terpaksa kubawa dalam pekerjaan membimbing 11 pelajar ini dalam kegiatan observasi sejarah, menelusuri jejak kota tua di kawasan Tangerang, khususnya jejak peranakan Tionghoa yang dikenal dengan Cina Benteng. Dan Pasar Lama adalah titik nolnya.

Aku berjalan paling depan, menyusuri Jalan Kisamaun, melewati kios-kios pasar dengan aroma macam-macam. Ada wangi bunga saat melewati kios yang menjajakan berbagai jenis bunga untuk dekorasi pesta dan karangan bunga, tercium juga aroma macam-macam makanan yang tersaji di gerobak atau warung tenda depan kios sepanjang jalan Kisamaun. Pasar dengan bangunan klasik ini memang terkenal dengan kulinernya yang enak dan murah, terutama saat sore sampai malam hari. Berbagai jenis jajanan seperti siomay, batagor, bakmi, es podeng, atau makanan berat seperti soto, sate, bubur ayam, dan masih banyak lagi. Ada pula santapan yang lumayan ekstrem, seperti ular kobra atau biawak. Setiap weekend, jajanan yang ada makin lengkap lagi. Jalan Kisamaun pun biasanya ditutup, tidak bisa dilewati kendaraan bermotor karena badan jalan akan penuh oleh pedagang aneka makanan.

Dulu aku sering ke pasar ini untuk sekadar makan atau membeli beberapa hal. Di sini, ada beberapa toko yang terkenal seperti Toko Ban An Tong (toko obat-obat Cina), Toko Vivi yang menyediakan bahan-bahan kue super lengkap, ada Varia Store yang menjual kosmetik segala merk, ada juga Pinguin, tempat orang-orang mencari perlengkapan komputer. Toko-toko di atas memang bukan satu-satunya, masih banyak toko obat, kosmetik atau kios yang menyediakan bahan kue lain, hanya saja yang kusebutkan di atas, biasanya yang paling ramai dikunjungi pembeli. Sudah lama rasanya tidak ke pasar ini dan tidak banyak yang berubah.

11 anak mengekor di belakangku dan Al, partnerku yang juga bertugas membimbing, berjalan paling belakang. Saat itulah perasaan senang mulai muncul. Senang bisa mengajak anak-anak menyusuri jalan yang bersejarah ini, melihat mereka mengamati bangunan-bangunan lama, kios-kios dengan segala macam aktivitas belanja. Ini belum seberapa, anak-anak! gumamku. Sekitar tiga ratus meter dari tempat kami parkir tadi, ada gang sempit yang hampir tertutup oleh pedagang buah-buahan, gang ini menuju Jalan Cilame, tujuan kami. Saat memasuki gang kecil ini, aroma hio menyebar dari kios-kios. Pedagang dan pembelinya pun didominasi oleh peranakan Tionghoa. Di gang ini, selain buah-buahan segar, dijajakan pula berbagai macam ikan segar, cumi, berbagai jenis daging mulai dari daging sapi sampai daging babi. Semakin masuk ke dalam, wangi hio akan semakin semerbak. Karena di sana ada Kelenteng Bon Tek Bio, kelenteng tertua di Tangerang. Tak jauh dari kelenteng tersebut, berdirilah sebuah rumah tua hasil restorasi seorang budayawan yang dijadikan sebuah museum. Ya, Museum Benteng Heritage. Ke sanalah anak-anak ini akan belajar sejarah.

Pasar masih ramai. Pintu masuk museum dengan ornamen khas Tionghoa, hampir tak terlihat tertutup para pedagang. Aku mengajak anak-anak masuk dan Martin, salah satu pengelola museum yang sudah kami hubungi sebelumnya, menyambut kami. Kami duduk di bagian depan museum, dengan latar barongsai, lukisan-lukisan Pasar Lama tempo dulu, dan tropi serta plakat penghargaan museum ini. Museum yang diresmikan pada 11 November 2011 ini merupakan museum peranakan Tionghoa pertama di Indonesia. Di sini, kita akan melihat banyak artefak yang usianya ribuan tahun, juga hal-hal unik lain dari budaya Tionghoa di Indonesia.

Setelah menjelaskan peraturan di museum ini (di antaranya pengunjung harus melepas alas kaki dan tidak diperkenankan memotret areal dalam museum), Martin mengajak kami masuk ke bagian tengah yang berdampingan dengan bagian dapur di lantai dasar. Ruangan yang didominasi warna merah itu diisi dengan meja kayu dan kursi panjang yang menghadap ke arah LED TV yang memutar video pelayaran armada Laksamana Cheng Ho. Ketika itu, aku melihat lelaki paruh baya keluar dari arah dapur. Ia tersenyum dan berjalan ke arah kami. Rambut peraknya menambah kesan karismatik. Saat itulah aku merasa bahwa ini akan menjadi hari yang menyenangkan. Lelaki berkaos merah itu menyapa kami.

“Perkenalkan, saya Udaya Halim,” ia mengulurkan tangannya. Seperti tebakanku. Inilah budayawan hebat itu, pendiri Museum Benteng Heritage ini. Ia juga menyapa anak-anak.

“Mumpung saya ada di sini, biar saya yang memandu ya? Boleh?” tanya Pak Udaya pada kami dan Martin.

“Silakan, ibu. Duduk di sini ya. Ini silakan coba tehnya, ini baru saya buat. Ayo, ibu duduk di sini!” ajak Pak Udaya sambil menuangkan tehnya ke mangkuk teh dengan hiasan ikan koi di dalamnya.

Anak-anak pun duduk dan mendengar penjelasan dari pendiri Kings (lembaga kursus Bahasa Inggris terkenal di Tangerang) ini dengan antusias.

“Kita mulai dari pelayaran Cheng Ho ke Indonesia ya. Ada yang pernah dengar?” Pak Udaya mengawali ceritanya sambil memutar video dengan LED TV di depan kami.

Seperti yang kita tahu, Cheng Ho adalah laksamana dari Tiongkok yang memimpin pelayaran khazanah atau pelayaran harta pada saat Dinasti Ming berkuasa di abad ke-15. Sekitar 300 kapal dengan kurang lebih 27000 awak kapalnya menyinggahi berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Dari total 7 ekspedisi yang dilakukan oleh armada Cheng Ho, 6 kali singgah di Indonesia. Satu diantaranya adalah wilayah Tangerang.

“Cheng Ho adalah seorang muslim. Ia membawa banyak ulama, ahli astronomi, ahli pertanian, peternakan, dan masih banyak lagi. Karena Cheng Ho seorang muslim, salah satu misinya adalah menyebarkan agama Islam di Nusantara ini,” jelas Pak Udaya dengan nada suara yang naik turun.

Anak-anak mengangguk-angguk.

“Kapal-kapalnya pun terdiri dari kapal utama, kapal perang, kapal pertanian, peternakan, kapal persediaan air bersih, macam-macam,” lanjut lelaki yang kini menetap di Australia ini.

Kami makin antusias.

Semakin lama, penjelasan Pak Udaya terasa seperti dongeng yang menyenangkan. Kami jadi tahu, kedatangan Cheng Ho meninggalkan banyak hal baru dari bidang teknologi sampai makanan yang sudah sangat kita kenal saat ini. Yang istilahnya sudah bercampur dengan istilah pribumi. Seperti palu, paku, atau sayur-sayuran seperti kucai, pokcai, caisim, tauco, pun makanan yang diawali kata “bak”, ada bakmi, bakso, bakwan, bacang.

Kami kompak berseru “Oo” karena baru tahu semua itu dari penjelasan Pak Udaya.

“Nah, kalian tahu, di budaya Tionghoa ada Hari Peh Cun? Orang sini menyebutnya Hari Bacang. Peh Cun adalah hari untuk mengenang Qu Yuan, seorang menteri yang juga seorang penyair di Tiongkok sana. Ia sangat bersedih dan putus asa melihat penderitaan rakyatnya. Pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan imlek, Qu Yuan bunuh diri dengan cara menceburkan diri ke sungai sambil memeluk batu. Karena Qu Yuan seorang sastrawan, sebelum bunuh diri ke Sungai Mi Luo, ia membaca puisi. Lebih baik kupersembahkan tubuhku untuk ikan-ikan di sungai ini dari pada tidak bisa berbuat apa-apa untuk rakyat. Begitu kurang lebih isi puisinya.”

“Saat itu rakyat ramai-ramai mencari jasad Qu Yuan dengan perahu. Agar ikan-ikan tidak memakan jasad Qu Yuan yang mereka hormati, mereka pun berperahu sambil menyebarkan nasi yang dibungkus daun ke sungai. Makanan itulah yang kita sebut bacang sekarang ini. Jadi, pada Hari Peh Cun, kami makan bacang dan lomba perahu naga.”

Sekitar 20 menit Pak Udaya bercerita, Kal sudah mulai merengek di gendonganku.

“Dicoba tehnya, sudah dingin,” ia menawari lagi.

Aku pun mencicip tehnya dan kuberikan juga pada Kal. Ini memang hari yang menyenangkan.

Anak-anak melanjutkan tur museum ke lantai dua bersama Martin. Aku dan Pak Udaya ngobrol sebentar soal Mauk, kampung halamanku, yang dulu sering dikunjungi Pak Udaya.

“Dulu itu di Mauk banyak sekali kebun semangka. Biasanya saya ke sana naik sepeda. Kalau sekarang naik sepeda, bisa disrempet angkot,” sambungnya sambil tertawa.

Ah, kampung halaman. Padahal hanya 16 kilo meter jaraknya dari sini. Tapi kenapa terasa begitu jauh? Pikiranku pun mulai melayang ke rumah. Ingin segera pulang rasanya.

“Oya, Bu. Saya kasih ini untuk ibu dan anak-anak, boleh?” Pak Udaya menunjuk kue keranjang di atas meja dekat pintu keluar.

Tak lama, kue-kue keranjang dari ukuran kecil sampai besar sudah masuk ke goody bag dan diserahkan padaku. Menyenangkan sekali. Ia tidak hanya memberi kami ilmu tapi juga oleh-oleh.

“Pak, saya mau menyusul ke atas. izin untuk foto-foto boleh, Pak?” tanyaku hati-hati.

Seperti yang dijelaskan Martin tadi, Museum Benteng Heritage ini tidak memperkenankan pengunjungnya berfoto atau berswafoto di bagian dalam museum. Larangan ini bertujuan untuk menjaga keamanan koleksi museum yang langka dan mahal. Jikapun mau berfoto harus atas rekomendasi dari Pak Udaya ataupun pengelola museum lainnya.

“Oh ya, silakan jika untuk keperluan dokumentasi. Biasanya memang tidak boleh foto,” jelas beliau.

Aku pun naik ke lantai dua, di sana berjajar benda-benda antik seperti timbangan opium, timbangan dagang atau dacin, botol-botol kecap produksi Tangerang, kamera tua yang masih bisa digunakan dan tentu benda-benda khas Tionghoa lainnya, seperti sepatu dengan ukuran yang sangat kecil yang dulu digunakan oleh wanita Tionghoa agar kakinya terlihat cantik, juga ada koleksi kebaya encim, sampai naskah sastra lama.

Setelah selesai mengelilingi museum sambil mendengar penjelasan Martin, kami pun pamit. Pak Udaya berpesan, “Anak-anak muda ini harus kita jaga. Berikan mereka nilai-nilai kebangsaan. Jangan sampai mereka tidak tahu identitas bangsanya, mudah terprovokasi, saling menghujat, saling membenci,” tegasnya. 

Aku pun berpamitan. Berharap suatu saat nanti bisa kembali bertemu dengan Udaya Halim dan mendengar cerita-ceritanya. Hari menyenangkan memang bisa datang tanpa diduga dari tempat yang awalnya terlihat biasa. Bukan melulu dari tempat-tempat eksotis yang jauh yang harus ditempuh dengan pesawat, kereta atau bus. Ah, hari yang menyenangkan. Dan insyaallah di hari-hari mendatang akan kujelajahi lagi sudut-sudut kotaku yang penuh cerita. (*)