Ada permasalahan yang kemudian menjadi warisan turun-temurun dalam pendidikan kita. Salah satunya adalah prasangka terhadap mata pelajaran yang diberikan kepada peserta didik dalam sistem pendidikan. Bukan satu atau dua, melainkan dari itu, sederet nama mata pelajaran yang diidentikkan sebagai sebuah hal yang mohon maaf “menjijikkan” dan “memuakkan”. Mulai dari matematika, kimia, statistika, biologi, bahkan fisika. Gejala tersebut juga menghampiri di banyak kalangan yang dapat dikatakan bergelut di masing-masng bidang—kalangan pelajar, mahasiswa, dan lain sebagainya.
Fenomena tersebut tentu saja melahirkan sederet pertanyaan yang perlu dijawab bersama, baik para pengamat pendidikan, pengajar, maupun keberadaan peserta didik dalam menjalankan habitusnya. Padahal kita ketahui bersama, fisika yang termasuk cakupan dalam keilmuan sains tak dapat ditampik akan menjadi bagian penting dalam perkembangan dunia. Keberadaannya terus dapat menjadi penopang atas inovasi maupun temuan baru akan teknologi untuk kehidupan umat manusia.
Satu hal yang menjadi akar dari permasalahan tersebut adalah terkait keberadaan miskonsepsi. Miskonsepsi pada umumnya bisa dimaknai sebagai salah konsep yang menyebabkan ketidaksesuaiannya dengan pengertian ilmiah atas teori, ide, maupun gagasan terhadap keberjalanan ilmu pengetahuan. Paul Suparno menganalisis fenomena tersebut dalam sebuah bukunya berjudul Miskonsepsi & Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika yang diterbitkan Grasindo pada 2005 silam.
Kendati menyepesifikasikan pada ranah ilmu fisika, gagasannya dapat digeneralisasikan pada ilmu-ilmu lainnya dan relevan hingga saat ini. Miskonsepsi pada kenyataannya lahir dari hal-hal yang sederhana, baik itu dalam rangkaian tatap muka belajar dan mengajar, keberadaan buku teks penopang pembelajaran, hingga kontekstualisasi ilmu dalam perkembangan zaman. Pengembangan ilmu tentu menyaratkan penyesuaian terhadap zaman, tidak boleh stagnan.
Sementara dalam bunga rampai berjudul Pendidikan Sains yang Humanis (Kanisius, 1998), Liek Wilardjo menuliskan artikel berupa Secercah Pandangan tentang Pengajaran Sains. Ia menekankan akan keberadaan miskonsepsi itu diawali sebuah prakonsepsi yang keliru. Artinya miskonsepsi yang melahirkan miskonsepsi baru. Ia mencontohkan keberadaan buku terkesan jelek dan ditulis oleh guru yang mengidap miskonsepsi. Pada akhirnya, buku yang sejatinya memiliki fungsi membuka cakrawala pengetahuan, justru menjadikan peserta didik pada hal tidak ilmiah dan terjauh dari aspek-aspek sains.
Masalah-masalah yang melahirkan miskonsepsi itu sebenarnya kerap ditemui dalam sehari-hari. Seperti di antaranya pemaknaan terhadap keberadaan matematika yang kadang dianggap sebagai sebuah momok penuh angka dan rumus yang membuat mudah menyerah hingga pada keberadaan gaya kepenulisan dalam buku teks pelajaran yang tak memperhatikan daya tangkap tingkatan peserta didik dalam pemahaman. Dalam arti, banyak buku teks yang kenyataannya ditulis dengan bahasa tinggi tanpa memperhatikan akan siapa yang nanti mengkonsumsi.
Mencari Jalan Keluar
Andai kemudian ditarik pada situasi dan kondisi yang masih berlangsung, katakanlah dengan keberadaan pandemi yang berdampak terhadap pendidikan—keberadaan pembelajaran secara dalam jaringan (daring), tentu saja tantangan yang dialami oleh ilmu-ilmu alam semakin bertambah. Sebut saja keterbatasan akan melakukan eksperimen terkait dengan kurikulum ilmu yang sedang dipelajari. Padahal eksperimen terhadap banyak keilmuan sains menjadi bagian vital untuk penguatan konsep peserta didik dalam menelaah teori demi teori yang ada di sana.
Eksperimen itu untuk melakukan pembuktian. Ia bagian dari tulang punggung yang ada di dalam sains, yakni berupa metode ilmiah. Sebab, perlu diakui, kalau peserta didik hanya dijejali konsep dengan berbagai rumusnya, akan banyak yang mendapati kebingungan. Dengan eksperimen tersebut sebenarnya menjadi sebuah jalan dalam mendekatkan seorang peserta didik terhadap konsep ilmu pengetahuan yang sedang dipelajari. Pada gilirannya, kendala ini mengharuskan para pendidik untuk pintar-pintar dalam meramu dan menyajikan sebuah metode pembelajaran.
Sains secara umum adalah ilmu pengetahuan yang terus berusaha untuk mengamati fenomena maupun kejadian yang ada di alam. Ia dalam keberjalanannya bergantung akan keberadaan matematika. Matematika menjalankan fungsi abstraksi dengan wujud aksioma dan teorema dari serangkaian proses pengamatan yang dilakukan. Hari-hari terakhir, memang banyak ilmuwan mengenalkan sains melalui pengembangan dalam bahasa populer, bahasa yang mudah dipahami oleh kalangan umum. Namun, untuk mendalaminya diperlukan juga kemauan dalam memahami konsep matematika.
Fiksi Sains, Kartun, dan Komik
Menariknya, kemudian banyak saintis menyajikan pemahaman keilmuan sains dalam bentuk karya berupa fiksi, kartun, hingga komik. Ambil contoh adalah sebuah novel karya ahli astronomi Amerika Serikat, Carl Sagan yang berjudul Contact. Yang mana lewat novel tersebut Sagan memperkenalkan perkembangan astronomi terkini hingga kemungkinan penjelajahan ke alam semesta berupa konsep Search for Extraterrestrial Intelligence (SETI) atau pencarian akan kehidupan ekstraterestrial di luar angkasa.
Di luar Sagan, ada ilmuwan lain yang juga menawarkan sains dalam perspektif lain—fiksi sains, seperti di antaranya, yaitu Alan Lightman, fisikawan di Massachusetts Institute of Technology (MIT) melalui dua novelnya berjudul Mimpi-mimpi Einstein dan Reuni. Kemudian dalam bentuk kartun maupun komik, kita menjumpai karya-karya dari Larry Gonick berupa Kartun Riwayat Peradaban sejumlah tiga jilid. Sementara bersama Mark Wheelis menyusun Kartun Genetika, kolaborasi dengan Woolcott Smith melahirkan Kartun Statistika, bersama Art Huffman menulis Kartun Fisika, serta bersama Craig Griddle melahirkan Kartun Kimia.
Pergeseran paradigma media pembelajaran tentu menjadi warna baru dalam perkembangan ilmu pengetahuan, tak terkecuali sains. Hal yang perlu dipahami tentu saja adalah tetap memegang penuh akan hakikat pendidikan yang menyaratkan kebebasan berpikir. Di lain itu, sains menyaratkan akan sikap ilmiah dan bertindak masuk akal. Dengan beragam inovasi media pembelajaran, harapannya tentu bisa mengurangi berbagai hal yang kerap menjadi belenggu dan melahirkan sebuah miskonsepsi dalam ilmu pengetahuan. Begitu.[]