Kamis saat sore, perjalanan menuju Mammeso

Selepas kuliah dari Kampus Tamalanrea Universitas Hasanuddin, saya langsung menuju indekos untuk mengambil tas dan beberapa perlengkapan untuk empat hari. Rencananya, sore ini saya akan mengikuti pemberangkatan bulanan Komunitas Pajappa Bangkeng ke Mammeso, Desa Bissoloro, Kecamatan Bungaya, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Ini bukanlah kunjungan pertama saya, sebab sudah hampir setahun kami mengajar secara sukarela di MI Guppi Mammeso. 

Sore ini, setiba di Sekretariat Pajappa Bangkeng yang berlokasi di Sungguminasa, Gowa, setelah menempuh 30 menit perjalanan dari indekos, relawan yang hendak berangkat pun menyempatkan briefing dan melakukan pengecekan ransum, tenda, serta beberapa perlengkapan untuk kelas kreatif di hari Sabtu. Setelah menunggu semua relawan berkumpul, kami berangkat sekitar pukul empat sore. Dinginnya angin Kabupaten Gowa menyelinap di antara jaket tebal hingga menyapu kulit. Mengunjungi Mammeso dan mengajari anak-anak di sana selalu memberikan pengalaman yang menyenangkan. Perjalanan dimulai dari Jalan Andi Tonro, melewati Danau Mawang yang dekat dengan Kampus Teknik Universitas Hasanuddin. Di sini, pemandangan danau luas bersama matahari senja benar-benar menjadi hadiah tersendiri di setiap keberangkatan.

            Terdiri dari sembilan motor yang saling beriringan, rombongan kami mulai melintas di sepanjang Jalan Poros Malino sekitar 45 menit. Kami harus ekstra hati-hati saat melintasi jalan ini, sebab jalan ini merupakan penghubung utama antara Kec. Tinggimoncong dan Malakaji dengan pusat Kab. Gowa, sehingga terdapat banyak truk-truk besar dan mobil-mobil mini-van melaju dengan kecepatan tinggi di sini. Selain itu, kondisi jalanan dengan banyak lubang yang tidak terduga juga membuat perjalanan sore itu dilalui dengan ekstra hati-hati.

            Rombongan kami berhenti sebentar di titik kumpul pertama setelah 30 menit perjalanan sepanjang Jalan Poros Malino, yaitu Pom Bensin Bili-bili yang terletak di sebelah kiri jalan, persis sebelum persimpangan Jalan Poros Malino dan Jalan Poros Sapaya. Setelah istirahat dan mengisi tangki bahan bakar, kami pun melanjutkan perjalanan sore itu melewati Jalan Poros Sapaya. Di jalan ini kami melewati salah satu bukti dahsyatnya banjir bandang yang menimpa Kab. Gowa tahun lalu, yakni jembatan runtuh yang kini dalam proses pembangunan kembali dan belum selesai sepenuhnya. Meski motor maupun mobil sudah bisa melewati jembatan ini dengan melewati jalur kayu sempit yang dibuat pada dua sisi jembatannya. Pemandangan gunung dan hijaunya Kab. Gowa makin terlihat begitu kami berbelok ke Jalan Poros Sapaya. Di sini, perjalanan mulai menanjak dengan pemandangan deretan pegunungan yang menakjubkan.

            Udara semakin dingin saat kami memasuki Desa Bissoloro. Daerah ini ditumbuhi banyak pepohonan pinus, sehingga kerap kali dijadikan tempat berkemah favorit selain Kec. Tinggimoncong. Kami pun berhenti di salah satu masjid Desa Bissoloro untuk menunaikan salat dan beristirahat sebelum mulai trekking dari pertigaan tugu desa menuju Mammeso. Setelah memarkir motor para relawan, kami berkumpul membentuk lingkaran, berdoa, lalu memulai perjalanan kami dengan berjalan kaki.

            Jalur yang dilalui menuju Mammeso masih berupa pengerasan. Batu kerikil pada jalur ini memiliki ujung tajam sehingga kami lebih memilih berjalan kaki selama satu jam daripada mengorbankan ban-ban motor kami. Jalur menuju Mammeso tidak terlalu sulit sebab tanjakan dan turunan sama banyaknya, bahkan beberapa kali kami mendapati jalur yang landai. Tidak banyak perbincangan selama perjalanan, sebab kami fokus berjalan di tengah gelapnya malam dengan hanya berbekal head lamp. Sekitar satu jam berjalan kaki, kami sampai di Mammeso. Kami langsung mendatangi rumah kepala sekolah, tempat kami biasa menaruh perlengkapan, ransum, dan alat mengajar. Para lelaki langsung membangun tenda di samping sekolah, sedangkan beberapa perempuan langsung membuat teh hangat dan memasak makan malam.

Pajappa Bangkeng dan MI Guppi Mammeso

            Nama Pajappa Bangkeng berasal dari bahasa Makassar yang berarti ‘Pejalan Kaki’. Seperti namanya, komunitas ini memadukan rekreasi dan aktivitas mengajar. Sejak awal tahun 2019, komunitas kami mulai menjadikan MI Guppi Mammeso sebagai lokasi binaan, setelah mendatangi beberapa lokasi sekolah di sekitar Kab. Gowa.

             Kami akan mengajar di hari Jumat dan Sabtu. Berbeda dengan pengajaran di dalam kelas, kurikulum komunitas kami lebih berfokus ke pengetahuan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung sederhana dengan metode belajar di alam. Selain itu, di hari Sabtu kami melakukan kelas kreatif. Kali ini, kami mengajari anak-anak membuat mainan mobil-mobilan dari ruas bambu. Sebelum mulai pengajaran pagi itu, kami melakukan senam bersama di depan sekolah. Saya sebagai relawan lama biasanya membantu mengarahkan beberapa relawan baru untuk persiapan mengajar, seperti membagikan modul, dan mencatat kehadiran siswa. Setelah kelas pertama dimulai, saya langsung kembali ke dapur dan mulai mempersiapkan makan siang. Saya biasanya memasak dalam porsi besar sebab kami akan makan bersama anak-anak sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing.

            Saat tengah memasak nasi di atas tungku bakar, dua orang teman mengajak saya mengunjungi tempat pembuatan gula merah di belakang sekolah. Gula merah merupakan salah satu bumbu dapur paling sering digunakan pada berbagai masakan khas Sulawesi Selatan.. Bersama teriknya matahari, kami melintasi jalan setapak menurun di antara kebun-kebun warga yang sangat curam. Sesekali kami harus berpegangan pada tumbuhan merambat atau batang pohon di sekitar kami agar tidak terpeleset. Selama 15 menit kami melewati lereng-lereng gunung yang memiliki kemiringan hampir 45° dengan tanaman-tanaman jagung di bagian kiri dan kanan.

            Setelah lima belas menit berjalan kaki, akhirnya kami sampai di salah satu rumah kecil dari kayu sederhana, tempat petani biasa mengolah air pohon aren menjadi gula merah. Saat kami tiba, air manis pohon aren baru saja masuk ke kuali raksasa. Air manis pohon aren biasanya mulai dimasak saat pagi, begitu petang beberapa potong gula merah sudah jadi dan siap dijual di pasar-pasar.

            Gula merah hasil produksi Mammeso biasanya memakai cetakan tempurung kelapa. Untuk satu gula merah dihargai Rp10.000-Rp20.000. Sayangnya, produksi gula merah di kampung ini sangat bergantung pada musim penghujan. Jika kemarau, maka produksi air manis aren akan meningkat, dan harga pun ikut turun, tetapi jika musim penghujan, air aren akan berkurang, bahkan beberapa keluarga tidak memproduksi gula aren dan memilih bertani, sehingga harganya akan melambung tinggi. Saat kami datang, sayangnya belum ada gula merah yang siap dijual, tetapi kami diberi gula merah berbentuk pecahan-pecahan tidak beraturan secara gratis. Katanya, gula merah itu berasal dari kerak-kerak sisa yang mengeras di kuali. Rasanya sangat manis dengan tekstur renyah. Pagi itu kami tidak tinggal menyaksikan proses pembuatan gula merah hingga selesai, sebab kami harus menyiapkan makan siang untuk para relawan.  

Dua hari belajar dan bercengkrama di Mammeso merupakan saat-saat yang sangat menyenangkan. Saya selalu senang kembali ke sini sebulan sekali, seperti pulang dan bertemu dengan keluarga lama. Keramahan warga dan keindahan alam Bissoloro menjadi alasan yang selalu memanggil kembali.