Sajidah menutup buku kesayangannya. Sejak kemarin bab yang dibacanya tetap tak beranjak. Tertahan di episode tentang kesabaran Nabi Muhammad saat dicaci maki kaum Quraisy. Terbayang oleh Sajidah tangan-tangan kasar yang tak berperikemanusiaan terhadap Nabi. Sumpah serapah yang mewakili caci maki. Semua hal menyakitkan yang dirasakan Nabi Muhammad yang digambarkan dalam buku yang dibacanya, membayang di pikiran Sajidah.
Besok-besok, jika ia dihina atau direndahkan, bahkan di-bully oleh temannya, ia berniat akan tetap sabar seperti yang dilakukan Nabi Muhammad saat menghadapi kaum Quraisy.
Sajidah tersenyum, memeluk gulingnya. Memejamkan mata. Dalam hatinya ia berdoa, semoga Allah berkenan mempertemukannya dengan Nabi Muhammad, cinta sejatinya.
***
Tak ada apa pun di sini. Hanya ruangan gelap. Tak ada angin, hujan, udara. Senyap! Tak ada yang didengarnya selain suara parau yang sesekali menggema di seluruh ruangan. Di manakah semua cahaya itu? Sajidah kelimpungan, tapi tetap berjalan meski tak tahu ke mana arah yang benar. Hatinya merintih! Mimpikah? pikirnya.
Ia tetap berjalan. Berjalan terus, berjalan tanpa berhenti. Tak peduli di mana ia berada, kini yang ada di pikirannya hanya satu: melangkah!
Betisnya mulai gemetar. Otot-otot kakinya mengerut. Sendinya goyah. Apa lagi yang mesti ia lakukan? Harus teruskah? Namun, ia tak kuat lagi! Sementara ia tak tahu berapa lama lagi harus berjalan.
Pikirannya berkunang-kunang. Kesadarannya melemah. “Air! Air!” Ia berteriak. Ia butuh air. Namun, di mana? Segalanya kini membingungkan, hingga akhirnya sajidah tak kuat lagi berjalan. Ia ambruk, jatuh terperosok. Ia telah kalah. Hari terakhirnyakah ini?
Tangan kokoh itu menahannya. Persis. Persis sedetik sebelum ia jatuh ke tanah. Sajidah berusaha menatap wajah itu, tapi tak bisa. Matanya silau oleh cahaya. Sosok itu tersenyum. Senyum yang bercahaya. Seketika, ruangan itu menjadi terang.
Sajidah berdecak. Indah sekali. Ruangan itu ternyata sebuah taman. Bunga-bunga terhampar di sana. Burung-burung terbang. Persis di sebelahnya, air terjun tinggi, menyeborkan air berkilo-kilo ton. Di hadapannya, sebuah sungai besar mengalir. Jika saja ia melangkah tadi, mungkin ia sudah tenggelam.
“Assalamualaikum.” Suara itu mengalir tenang. Sajidah terhenyak.
“Wa… waalaik… waalaikumsalam…,” timpal Sajidah terbata. “Siapa Anda?”
“Aku datang kepada orang yang mencintaiku!”
Sajidah terhenyak. Hatinya terlonjak.
“Apakah… apakah kau… Nabi Muhammad?” tanya Sajidah lagi.
Sosok itu tersenyum. Sekali lagi, ruangan itu menjadi lebih terang. Sajidah menangis terisak. Pipi kecilnya merona dibasahi air mata.
“Terima kasih. Sekali lagi, terima kasih wahai Nabi.” Sajidah menyeka air matanya. Ia bangun kembali.
“Maaf, Saudari salah jalan. Jalan yang sebenarnya ada di samping saudari,” ujar sosok itu. Ia kembali tersenyum, membuat ruangan itu tiga kali lipat lebih terang.
“Terima kasih.”
Sajidah kembali berjalan. Semangatnya kembali berkobar. Staminanya sudah terisi. Kini yang ada di hatinya hanya pujian-pujian yang tak henti ia alunkan kepada Allah subhanahuwataala. Pujian atas rahmatnya yang membabi buta.
Sajidah tersenyum.[]