image by google.com
Beberapa waktu lalu dunia teknologi virtual dihebohkan dengan munculnya teknologi Metaverse. Berbagai kalangan mulai dari pemerintah, akademisi, bahkan kalangan artis riuh membicarakan kemunculan teknologi sangat canggih yang digadang-gadang akan memberikan pengalaman baru bagi peradaban manusia. Banyak ahli pun sudah memperkirakan bahwa metaverse akan menjadi tren yang banyak digandrungi orang.
Di Indonesia, dunia virtual ini juga sudah mulai banyak dieksplorasi orang-orang. Seminar-seminar, podium pidato pejabat, mimbar mahasiswa pun tak melewatkan untuk menyinggung Metaverse dengan segala atributnya. Semua orang berlomba untuk segera menerapkan teknologi maha canggih bernama Metaverse. Pada saat itu, teknologi Metaverse seperti tak akan bisa dikalahkan oleh apa pun.
Kehadiran teknologi ini tentu tak lepas dari adanya polemik. Seperti halnya teknologi yang hadir sebelum-sebelumnya, akan memunculkan dampak negatif dan positif yang tentu menjadi pertimbangan. Namun, belum juga berkembang dengan sempurna, teknologi Metaverse harus tumbang dan tersingkir karena hadirnya teknologi open AI dan Chat GPT. Masyarakat tidak lagi membicarakan Metaverse.
Belum Siap
Metaverse adalah dunia virtual yang dibentuk layaknya dunia nyata. Di sana, akan muncul dengan representasi diri yang dinamakan avatar. Avatar akan bergerak sesuai apa yang diperintahkan. Pengguna bisa menyentuh barang dan berinteraksi dengan avatar milik orang lain di dunia tersebut. Untuk menambah pengalaman menjelajahi dunia virtual membutuhkan peralatan yang memadai.
Mark Zuckerberg memperkirakan bahwa metaverse akan menjadi hal yang umum dalam waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan saja. Bersiap-siaplah memasuki era dunia imajinasi “tanpa batas.” Dunia yang memaksa orang untuk masuk dalam dunia tak nyata dan hyperreality. Baudrillard sempat menyinggung dalam Fatal Strategies bahwa dunia virtual telah beranjak ke arah yang melampaui tapal batas (realitas) yang seharusnya. Saat seseorang berasik masuk dalam dunia ini seringkali tersesat dan tidak mampu lagi m e m b e d a k a n “ r e a l i t a s ” d a n “tampakan”. Dalam wacana simulasi, manusia mendiami ruang realitas, di mana perbedaan antara yang nyata dan fantasi, yang asli dan palsu sangat tipis.
Di Indonesia banyak kalangan yang menganggap bahwa teknologi Metaverse belum menjadi hal yang segera untuk di implementasikan. Mengingat bahwa di Indonesia ketrampilan masyarakat dalam mengelola media digital belum bisa dikatakan literate. Ketidakpahaman masyarakat dalam menggunakan media digital akan berimbas pada sanksi sosial maupun undang-undang di dunia nyata karena penggunaan media digital tetap diatur dalam UU ITE. Oleh karena itu, permasalahannya bukan lagi terletak pada boleh tidaknya teknologi Metaverse dikembangkan. Tetapi, bagaimana arah pengembangannya dan penerapan etika bagi penggunanya.
Masyarakat belum selesai dengan problematika media sosial harus menghadapi kemunculan teknologi Metaverse yang sangat sulit digapai oleh kalangan awam. Ada sebagian masyarakat belum siap dengan kehadiran dunia imajinatif dalam Metaverse. Meroketnya penggunaan teknologi Open AI dan ChatGPT menjadi tanda bahwa masyarakat kita masih membutuhkan teknologi realistis dan menjawab kebutuhan di dunia nyata. Masyarakat Indonesia masih termasuk golongan Teknorealis, belum bisa masuk sepenuhnya dalam golongan Neo-Futuris.
Chat GPT adalah robot atau chatbot berbasis Artificial Intelligence (AI). Kecerdasan buatan ini mampu melakukan percakapan dan memberikan jawaban terhadap kebutuhan serta pertanyaan penggunanya. Interaksi percakapan yang terjadi pun dapat terlihat sangat natural. Istilah GPT merujuk pada Generative Pre-Trained Transformer, di mana chatbot akan memberikan jawaban persis manusia di saat pengguna mengirimkan perintah atau pertanyaan. Teknologi ini lebih realistis dan sangat membantu pekerjaan sehingga banyak digandrungi orang.
Kritis
Perkembangan teknologi digital di era postmodern menjadi tantangan baru yang akan dihadapi masyarakat digital. Perlu diperhatikan adalah bagaimana di tengah dunia maya yang semakin meninabobokan kita ini, manusia tetap harus sadar dan tak terlena dengan semua itu, meskipun teknologi baru terus muncul. Memaknai dunia baru dengan kritis adalah harus, tetapi hanyut dalam hiruk pikuk dunia digital dengan melupakan jati diri manusia dan denial terhadap dampak buruk yang timbul adalah hal yang patut dihindari.