Saya hampir tak pernah pergi ke luar kawasan Bandung kecuali beberapa kali ke Jakarta dan sekitarnya beberapa tahun belakangan. Menjejakkan kaki di tanah yang asing, jauh dari rumah, sama sekali bukan kebiasaan saya. Dan saya, meski sering melakukan hal-hal acak, impulsif dan spontan, tetap memiliki kebutuhan terhadap familiaritas, kebiasaan, keakraban. Akhir Oktober 2018, sebuah dorongan impulsif membuat saya melanggar sendiri rasa nyaman itu.
Beberapa bulan sebelumnya, saya sering merasa tidak nyaman, murung, dan penuh kecemasan. Hal-hal yang familiar dan dekat dengan saya termasuk rumah, keluarga, dan pertemanan justru menjadi sumber pikiran-pikiran buruk yang menyesakkan. Ketika tempat yang biasa menjadi ruang nyaman berubah jadi tempat menyeramkan, tidakkah wajar jika saya merasa perlu menjauh barang sebentar? Maka sore itu, Jumat, 26 Oktober 2018, saya berangkat dari rumah menuju Stasiun Kiaracondong. Menumpang kereta subuh tujuan Stasiun Lempuyangan, saya lari tinggalkan dunia yang selama ini saya kenal.
Ya, saya datang ke sebuah kota asing dengan membawa banyak masalah dalam kepala saya. Berharap semua masalah itu bisa tercecer di sepanjang rel kereta, teredam oleh ramainya Jalan Malioboro, hanyut di sebuah pantai di Gunung Kidul, atau menguap dalam panasnya udara kota Yogyakarta hingga tak bersisa lagi. Mungkin dengan begitu, kepala saya akan terasa lebih ringan, dada saya akan terasa lebih lapang, ketika tiba waktunya pulang nanti.
Ini adalah tulisan tentang salah satu tempat yang saya datangi ketika berada di Jogja: Pantai Gesing.
***
Tersembunyi di antara sepasang tebing batu, Pantai Gesing menyediakan sehampar pasir bagi ombak-ombak untuk sejenak menyicip darat. Angin sore menerbangkan aroma laut yang menenangkan, mengingatkan saya pada masa-masa kecil: saya dan ibu menyusuri pesisir berburu cangkang kumbang. Teriakan girang akan keluar dari mulut mungil saya setiap kali berhasil menemukan satu cangkang di balik timbunan pasir yang basah disimbah buih lautan.
Kali ini saya tidak datang bersama ibu. Saya meninggalkannya di rumah. Saya meninggalkan dia dan rumah. Ke pantai ini saya datang untuk menjauh dari siapa-siapa dan apa-apa yang akrab dengan saya.
Beruntunglah penduduk Jogja yang bisa lari ke pantai kapan saja. Mengandalkan sepeda motor sewaan, saya ikuti telunjuk kompas, menuju selatan. Girang memacu roda agar semakin kencang pula angin menerpa badan saya yang selalu merasa gerah. Ranggas Perkebunan Jati menghiasi bingkai mata. Kering, namun tetap indah membuai pandangan.
Memori pelajaran di bangku SD muncul ke muka ingatan. Pohon Jati menggugurkan daunnya untuk bertahan hidup. Contoh yang baik untuk menunjukkan bahwa dalam situasi tertentu, melepas itu perlu. Begitu takut kehilangan hingga sibuk mempertahankan semua yang ada dalam genggaman malah bisa jatuhkan kita dalam petaka.
Tidak sampai tiga jam total waktu yang saya habiskan untuk melahap jarak antara Maliboro dan Pantai Gesing. Mengunyahnya dalam putaran ban, mengubah bentang panjang aspal menjadi angka-angka dalam odometer. Pantai Gesing menunggu dengan bersahaja di balik sebuah turunan. Sepi, persis seperti apa yang saya mau. Saya tidak jauh lari ke Jogja hanya untuk kembali menyesatkan diri dalam keramaian. Jika itu yang saya cari, cukuplah saya bertamasya ke dalam batok kepala sendiri.
Kapal-kapal nelayan terparkir beberapa meter dari bibir pantai yang kemerahan. Berbaris-baris seperti anak-anak SMP hendak masuk kelas. Satu temannya masih bermain-main di sana, di batas antara biru laut yang gelap dan biru langit yang lebih terang. Saya menanggalkan alas kaki, membiarkan pasir menyelinap ke sela-sela jari. Ombak menabik dari kejauhan, terbirit penuh senyum menuju sepasang betis saya yang sudah pasrah menunggu. Byar. Ombak pun pecah. Basah. Kangen bertahun-tahun pada asin pantai akhirnya terbayar.
Puas mengakrabi buih ombak, saya langkahkan kaki menuju tiang suar yang ada di sisi kiri pantai. Pasangannya ada di sisi lain, lebih dekat beberapa puluh meter menuju laut. Pantai memang sedang surut. Seorang perempuan sibuk di atas bongkahan-bongkahan batu karang, memanen rumput laut yang tumbuh lebat. Kawah-kawah pada batu karang terisi air hingga membentuk kolam-kolam, berisi siput laut yang menggeliat-geliat, mungkin sedang mencari makan.
Saya duduk di salah satu tonjolan batu yang lumayan datar. Membiarkan kaki saya basah direndam air yang bergelombang. Membiarkan mata saya santai memandangi biasan biru yang nampak seperti lukisan. Membiarkan kulit saya lengket diterpa angin laut yang asin. Membiarkan telinga saya didera deru ombak yang tak kenal berhenti. Di tengah harmoni alam Pantai Gesing saya merasa menemukan suaka. Tempat berlindung dari segala bising dan pusing.
Ketika suara-suara itu kembali mengiang dalam kepala saya, yang ada hanya gema lemah di kejauhan. Aneh, tak lagi pengang.
Semua masalah saya terasa kecil di hadapan langit yang tanpa batas. Kesedihan saya nampak culun di depan gagahnya lautan. Ketakutan saya cuma bisik cilik ditelan geram suara ombak menerjang tebing karang. Ternyata semua tak lain adalah persoalan perspektif. Sudut pandang. Mungkin juga cara pandang.
Ketika saya mengurung diri di balik selimut, masalah nampak seperti raksasa yang bisa menelan segalanya. Ke mana pun saya melihat, yang ada hanya jalan buntu karena badan raksasa itu menutupi semua pintu. Tapi kini, sang raksasa telah menemukan rivalnya. Bukan laut, bukan tebing, bukan langit, melainkan jarak. Jarak membuat segalanya mengecil termasuk sang raksasa. Dari kejauhan sini, ia tak lebih dari sekadar titik hitam yang tak bisa menelan apa-apa kecuali dirinya sendiri.
Benarlah apa yang dilagukan Elsa dalam Let It Go.
It’s funny how some distance makes everything seems small
All the fears that once controlled me, can’t get to me at all
Saya pun tersenyum.
Memang, mengambil jarak tidak menyelesaikan masalah apa pun. Namun setidaknya, jarak membantu saya menempatkan masalah-masalah itu ke dalam perspektif yang wajar. Masalah-masalah itu tidak lagi saya biarkan memenuhi seluruh bidang layar. Ia saya tempatkan bersama hal-hal lain yang masih tersisa dalam hidup saya. Ya, memang ada masalah. Tapi masalah bukanlah satu-satunya yang ada.
Setelah membebaskan pandangan mata saya dari kungkungan masalah dan ketakutan, saya akhirnya menemukan sedikit kekuatan untuk bangkit. Saya mulai bisa meneliti masalah-masalah saya dengan lebih objektif. Menyusun daftar prioritas, masalah mana yang harus lebih dulu saya selesaikan. Menyusun beberapa rencana, bagaimana saya akan menyelesaikan masalah-masalah itu.
Aahhhh, akhirnya saya menemukan cukup ruang di dada saya untuk menghayati napas.
Menggurat jarak dan menjelajahi dunia di luar semesta yang sudah saya kenal membuat saya tersadar, di luar masalah-masalah yang mengecilkan hati, ternyata masih ada banyak hal yang belum saya lakukan, tempat yang belum saya kunjungi, masakan yang belum saya cicipi, cerita yang belum saya dengarkan, tradisi yang belum saya kenali, dan orang-orang yang belum saya cintai.
Sekarang bukan saatnya untuk menyerah. Bukan.
***
Kapal yang tadi berlayar perlahan-lahan bergerak menuju pantai. Mendekat. Mendekat. Mendekat. Membesar. Membesar. Membesar. Hingga akhirnya tiba ia di pasir yang kering. Nelayan-nelayan lain datang dari arah yang berlawanan, kemudian bersama-sama mengeluarkan hasil tangkapan dari lambung kapal.