Bagaimana meletakkan dimensi pembaca saat seorang pengarang menulis cerita? Apakah ia benar-benar menulis atas kehendaknya atau sebaliknya akan mengikuti keinginan pembacanya? Kira-kira akan terbesit pertanyaan semacam itu mana kala membaca cerpen “Sehelai Pakaian Hitam” karya Leila S. Chudori.

Selama ini pembaca hanya memperoleh sedikit tempat dalam kajian sastra. Hal demikian wajar, mengingat pembaca adalah elemen paling ambigu yang nyaris tak terdefinisikan. Roland Barthes menulis bahwa pembaca tak memiliki sejarah, biografi, serta sisi psikologi. Apalagi pembaca juga sering kali dianggap sebatas objek atau konsumen dari sebuah tulisan. Karenanya, tak begitu mengherankan pengabaian akan dimensi pembaca ini.

Tapi, apakah benar bahwa pembaca sama sekali tak memiliki andil dalam proses mengarang?

Teori-teori sastra mutakhir memang mulai memperhitungkan peran pembaca sebagai tumpuan dalam menafsirkan karya. Misal, tulisan Barthes tentang kematian pengarang. Kritik klasik tak pernah memperhatikan pembaca dan melihat bahwa penulis adalah satu-satunya makhluk dalam dunia sastra. Maka itu, untuk memangkas pandangan tersebut, dimensi pembaca harus lebih dulu dihidupkan. Dalam kerangka itu dengan radikal Barthes menulis diktum masyhurnya bahwa kelahiran pembaca harus dibayar dengan kematian sang pengarang.

Proyek tersebut tampaknya juga terlihat dalam karya berikutnya “S/Z” yang membedakan apa disebut sebagai “readerly text” dan “writerly text”. Bila yang pertama diasosiasikan dengan pasif, yang kedua adalah teks memiliki energi kreatif yang kehadirannya terus menerus serta teks selalu dapat membuka jaringan bahasa. Kendati demikian, teori mutakhir ini tidak banyak membahas peran pembaca dalam proses kreatif pengarang.

Selain itu, pengabaian peran pembaca juga terlihat jelas dalam rantai komunikasi tradisional. Rantai komunikasi ini beranggapan bahwa komunikasi hanya terjalin searah dan juga determinan, yaitu sosio-historis -> penulis -> teks -> pembaca. Penyematan pembaca pada posisi paling ujung mengisyaratkan bahwa pembaca tak begitu diperhitungkan dan bahkan dipandang tak memiliki kontribusi apa pun.

Uraian Sara Mills dalam “Feminist Stylistics” menolak anggapan itu. Ia memandang bahwa teks adalah hasil negosiasi dari konteks produksi dan resepsi. Pandangan demikian telah melampaui keyakinan yang selama ini diamini, yaitu pandangan yang memosisikan penulis secara aktif sementara pembaca dengan pasif. Sebagai gantinya, kedua dimensi akan sama-sama dipertimbangkan dan menempatkan teks menjadi hasil akumulasi dari keduanya.

Bentuk konkret dari negosiasi ini adalah keseragaman tema pada rak-rak best seller di toko buku. Keseragaman itu bisa dalam bentuk tulisan, tema, atau lainnya. Keseragaman tersebut menunjukkan preferensi pembaca yang juga tak jarang ditangkap dengan baik oleh penulis. Hal ini juga ditulis oleh Mills bahwa tren tulisan dapat memengaruhi seorang pengarang dalam menulis, begitu pula memengaruhi model tulisan yang nantinya akan ditulis. Ia mencontohkan penulis Barat di era 90-an sudah sama-sama tahu bahwa puisi epik tidak disukai, sebaliknya genre novel lebih menjanjikan di pasaran.

Harus dipahami bahwa serangkaian buku di rak-rak tersebut bukanlah suatu hal alamiah terjadi, melainkan perlu dipandang bagian dari cerita panjang konteks resepsi Mills ini. Saat akan menerbitkan sebuah novel misalnya, selera pasar menjadi aspek penting bagi penerbit dalam menyeleksi naskah tersebut. Dengan pertimbangan ini, secara implisit penerbit juga telah membayangkan sasaran pembacanya.

Tidak hanya penerbit, dalam konteks resepsi Mills, terdapat tiga jenis pembaca yang ikut andil saat pengarang menulis cerita, yaitu pembaca yang dituju, pembaca implisit, serta pembaca aktual. Pertama, pembaca umum tempat teks akan dipasarkan. Hal ini juga masih masih irisan dengan pertimbangan bagi penerbit. Kedua, pembaca yang “dimaksud” oleh teks tersebut. Terakhir, pembaca di luar keduanya, yaitu mereka yang kedapatan membaca namun sebenarnya tidak termasuk kategori dari kedua pembaca sebelumnya.

Uraian dimensi penerbit dan jenis pembaca ini menunjukkan letak peran pembaca dalam proses kreatif pengarang. Artinya, saat menulis karyanya pengarang tidak benar-benar bebas berekspresi, namun sekaligus juga dipengaruhi oleh dimensi pembacanya, entah itu disadari atau tidak. Karena pada hakikatnya seperti argumen Mills tadi bahwa teks adalah hasil negosiasi pengarang dan pembaca.

Proses kreatif Hamdani, tokoh dalam cerita terjebak oleh tuntutan pasar. Ia menanggalkan nuraninya dan memilih popularitas dengan menurut selera pasar, yaitu genre tulisan Islami. Namun, tulisannya yang populer tetap membuatnya terasing. Hal itu karena karya yang ditulisnya tidak sepenuhnya mengaktualisasikan dirinya, “… setiap kali aku tampil ke muka umum, aku harus mengenakan baju berwarna putih. Mereka menginginkan aku berwarna putih. Seputih tulisan-tulisanku.”

Kendati terasing, cerita-cerita yang ditulisnya adalah manifestasi dari pandangannya sendiri. Laiknya seorang motivator, ia juga ingin tulisannya dapat menginspirasi dan mendorong pembacanya untuk melakukan kebaikan, “… seorang penulis wajib menjadi inspirasi, membuat pembacanya terdorong untuk berbuat kebajikan”. Pandangan ini masih beririsan dengan bayangan akan pembaca yang dituju dan pembaca implisit.

Di sisi lain, apa yang dilakukan Hamdani adalah kemunafikan. Pasalnya, suatu kali ia terpergok berduaan dengan pelacur. Hamdani sebagaimana manusia, juga memiliki wajah ganda hitam dan putih. Namun, ia menggunakan pakaiannya bergantian, seolah-olah menjadi dua orang yang berbeda. Kiranya hal itulah pangkal dari keterasingannya bahwa dalam tulisannya, ia berkamunflase dengan cara membuang sisi diri yang lain. Hamdani mengatakan, “aku didikte oleh masyarakat untuk berbicara dan menulis apa yang ingin mereka baca dan dengar,” ia melanjutkan, “aku tak menyalahkan siapa-siapa. Dengan sadar, kupilih jalan ini”. Puncaknya, Hamdani mengakhiri hidupnya.

Menulis dengan bebas?

Adakah pengarang yang tidak terbayang pembacanya saat menulis? Benar-benar bebas! Salikha, tokoh lain dalam cerita, memiliki karakter 360 derajat dari Hamdani. Bila Hamdani menulis dengan pertimbangan strategis, yaitu membidik pembaca Islami dan ingin menginspirasinya. Salikha justru menulis untuk mengatasi pemenuhan dirinya, yaitu menulis dengan jujur. Setidaknya, itu diakui Hamdani, “tidak banyak penulis yang bisa bersatu dengan apa yang dikatakannya”.

Pengakuan tersebut lahir bersamaan dengan kemuakan Hamdani atas tuntutan para pembacanya. Dalam waktu berlainan, Hamdani melanjutkan pujiannya dan mengatakan, “aku cemburu. Kau sangat tuntas. Jujur.” Pujian itu kemudian disambut dengan konfrontasi Salikha. Baginya, menulis adalah tentang kejujuran sehingga ia menolak membangun sebuah optimisme dalam tulisan. Bahkan, saat Hamdani memberi alasan tentang optimismenya, ia hanya menjawab “aku tak ingin mengorbankan perasaanku; kemerdekaanku”. Ucapan itu mengisyaratkan kekokohan karakternya, ia tetap ingin menulis untuk kebebasannya.

Lantas, benarkah kebebasan yang digaungkan itu bahwa ia tak seperti Hamdani yang terseret oleh arus pembacanya sendiri. Sekali lagi, mengulang argumen Mills, teks adalah hasil negosiasi. Artinya, dimensi pembaca mau tak mau adalah bagian [kendati tidak selamanya langsung] dari proses pengarang menulis. Saat Salikha mendeklarasikan kebebasannya, ia sebetulnya sekaligus sedang membayangkan adanya pembaca implisit, segmen pembaca yang akan tertarik dengan tulisannya, dan tentu saja bukan segmen pembaca bagi Hamdani.

Lantas siapa pembacanya? Tentu saja, Hamdani! Dalam hal ini, kendati Salikha tidak mendapat perhatian oleh khalayak, namun sebetulnya orang seperti Hamdanilah yang mengapresiasinya, bahkan menegaskan arti penting tentang caranya dalam menulis “penulis yang bersatu dengan apa yang dikatakannya”.

Begitu pula saat Hamdani memutuskan bunuh diri juga bagian dari buah kesadaran dari relasinya dengan Salikha. Karena itu pula, kendati tak menyukai pilihan Hamdani, Salikha tetap menghormatinya sebagaimana ia mengunjungi bahkan menjaga makamnya dari semut-semut tanah yang boleh jadi akan menggerogoti tubuhnya.

Dengan demikian, visi kebebasan menulis seperti yang digaungkan Salikha tak lebih menjadi tema lain bagi pembaca implisit lain. Seperti Hamdani, ia juga memiliki pembacanya sendiri, tentu saja dengan preferensi pembaca yang memiliki latar belakang berbeda. Satu hal yang menyamakan, keduanya sama-sama memiliki bayangan akan pembacanya.