Bocah itu kembali ke dalam rumah dengan batu memenuhi genggamannya. Ia berdiri beberapa langkah di hadapan televisi yang menyala, menampilkan film kartun pahlawan super kesukaannya. Ia mengambil ancang-ancang: selain batu, sebilah pedang sudah siaga di tangan satunya lagi, sebilah pedang yang sama dengan milik sang pahlawan super, sebagaimana kostum yang dikenakannya kini. Di layar televisi, akhirnya sang pahlawan super berjumpa dengan monster yang menjadi musuh beratnya. Bocah itu memantapkan ancang-ancang. Ketika layar televisi terlihat dipenuhi oleh big close-up[1] ekspresi marah sang monster, bocah itu segera melayangkan batu di tangannya. Layar televisi pun pecah, tapi tak ada monster yang keluar dari sana, padahal ia sudah siap untuk menghadapinya, dalam rangka membantu sang pahlawan super, sekaligus melatih diri untuk menjadi pelindung bagi ibunya yang sudah tak bersuami.

Terkejut, ibu bocah itu keluar dari kamar, dan ia hanya bisa memarahi putranya, sekaligus sekali lagi berusaha meyakinkannya bahwa monster itu tidak ada di dunia nyata, dan tidak akan pernah ada, sebelum menyuruhnya untuk membantu membersihkan pecahan layar televisi yang terserak di lantai.

Sekonyong-konyong bocah itu berkata, “Bagaimana kalau sebenarnya Ayah mati karena dibunuh oleh monster, Bu?”

Ibu bocah itu langsung tercelus dalam kesedihan. Sejenak ia memandangi lubang di tubuh televisi yang sebelumnya tertutupi oleh layar: di bagian pinggirnya masih terdapat pecahan layar yang menempel, berbentuk seperti taring. Lalu ia mengalihkan tatapan ke putranya dan membentak, “Sudah Ibu bilang, jangan katakan itu lagi!”

Bocah itu segera menangis dan berlari ke kamarnya. Ia duduk menekuk lutut di sudut, tampak seperti pahlawan yang kehilangan kepahlawanannya karena tak ada monster barang seekor pun untuk dikalahkan, untuk membuat masyarakat tetap membutuhkan jasa seorang pahlawan super.

Ia menangis terus sampai ketiduran, sampai tiba pagi keesokan harinya. Setelah bangun, ia langsung membuka kostum pahlawan super itu, lantas bersama pedangnya ia buang ke tempat sampah yang ada di sudut lain kamar.

Dari luar ruangan, terdengar ibu bocah itu berkata, “Cepatlah mandi, Nak. Sebentar lagi kita akan kedatangan seorang tamu istimewa. Aku ingin memperkenalkannya padamu.”

Tak lama kemudian, bocah itu dan ibunya sudah duduk di ruang tamu, menunggu kehadiran sang tamu istimewa.

 “Apa kau ingat saat Ibu mengatakan soal ‘ayah baru’?”

Bocah itu mengingat-ingat barang sejenak, lalu mengangguk.

 Kemudian hening, sampai terdengar suara mobil dari luar sana, disusul jeritan klaksonnya yang jelas-jelas membuat sang ibu begitu bahagia. Wanita itu cepat-cepat bangkit dari sofa, melangkah ke pintu, dan ….

Bocah itu menyesal telah membuang kostum dan pedang pahlawan supernya.

Bocah itu melihat seekor monster seukuran pria dewasa berpelukan dengan ibunya, lantas menoleh ke arahnya sembari berkata, “Jadi, itukah putramu, sang pahlawan super?”

***

Monster itu meninggalkan ruang tamu, menuju toilet.

Dengan tubuh dan suara bergetar, sang bocah berkata, “Bu, bolehkah aku membunuh monster itu?”

“Apa?”

“Boleh aku membunuh monster itu? Monster yang bertamu kemari maksudku!”

“Monster? Jaga omonganmu! Ia adalah pria yang sangat baik. Ia itu calon ayah barumu!”

Bocah itu tertegun. Ia tak mengerti kenapa ayah barunya mesti seekor monster, alih-alih seorang pahlawan super.

Sang monster telah keluar dari toilet dan kembali duduk di ruang tamu bersama mereka.

Bocah itu langsung berlari ke kamarnya, mengabaikan sang ibu yang terus memanggilnya, mengunci diri di sana, dan memungut kembali kostum serta pedangnya.

***

Ibu bocah itu dan sang monster pun menikah. Padahal, sebelumnya, bocah itu sudah menyatakan keberatan, tapi sang ibu berpikir bahwa nanti putranya akan sadar dengan sendirinya bahwa sang ayah baru adalah orang baik. Akan tetapi, bocah itu justru melihat sang monster berubah menjadi semakin menakutkan semenjak ia resmi menjadi ayah barunya: tubuhnya membesar, tanduknya memanjang, cakar dan geliginya meruncing!

Kenapa Ibu tidak bisa melihat kengerian monster itu? pikir bocah itu. Kalau begitu, Ibu bisa-bisa dibunuh dengan mudah!

Tiba-tiba bocah itu mengingat sebuah adegan di salah satu episode film pahlawan super, ketika sang monster membunuh kawan baik sang pahlawan super dengan mudah karena orang yang dibunuh itu sedang tidur nyenyak.

***

Beberapa menit sesudah sang ibu mencium kening bocah yang pura-pura tidur itu dan pergi, sang bocah diam-diam mengenakan kostum pahlawan supernya, keluar dari kamar dengan menenteng pedangnya, melintas tanpa suara di ruang tengah di mana ibunya dan sang monster sedang asyik bercumbu—monster itu pasti sedang menyerap sari kehidupan ibuku!—dan menyelinap ke kamar mereka, bersembunyi di kolong ranjang.

Beberapa jenak kemudian, sang ibu dan sang monster masuk, disusul dengan terdengarnya suara kunci pintu yang diputar. Bocah yang dengan sabar menunggu di kolong ranjang itu tak tahu bahwa ibu dan ayah barunya sedang bersetubuh di atas kasur. Ia hanya merasakan kasur berguncang-guncang, menyangka bahwa sang monster sedang menyiksa ibunya, lebih-lebih sang ibu mengeluarkan desahan-desahan yang dipikirnya merupakan reaksi dari rasa sakit.

Satu jam kemudian, kasur berhenti berguncang-guncang, sang ibu berhenti mendesah-desah, dan tiga puluh menit berikutnya sudah terdengar dengkuran sang monster. Dengkuran yang menurut bocah itu akan membuat hantu penguasa malam jadi kejer saking takutnya.

Ia pun keluar dari kolong ranjang. Sejenak memandangi sang monster yang telentang dan sang ibu yang memeluknya dari samping, dengan tangan mulusnya di atas perut monster itu. Lantas ia, teramat perlahan, naik ke kasur, mengangkat pedang tinggi-tinggi seraya mengarahkan ujungnya ke dada kiri sang monster, dan… ia berhitung dalam hati, satu sampai tiga, dan… ia menarik napas, mengumpulkan energi agar hunjamannya semakin mantap, dan… sekonyong-konyong, tanpa alasan jelas, dari perut sang monster, tangan sang ibu bergeser ke atas dada kirinya, bersamaan dengan dihunjamkannya pedang itu sekuat tenaga.

***

Pintu kamar sang pahlawan super dikunci dari luar. Di tangan kanannya adalah bilah pedang yang patah, terpisah dari gagangnya yang ia genggam di tangan kiri. Topengnya sudah basah, juga asin, karena ia terus menangis. Ia merasa dirinya adalah pahlawan paling tolol yang pasti akan dikucilkan oleh pahlawan-pahlawan lainnya.

Sang ibu yang tadi terbangun langsung memekik kesakitan—membangunkan sang monster—dan berteriak marah, sebelum mematahkan pedangnya. Berkat bantuan pencahayaan dari lampu tidur, bocah itu dapat melihat kulit punggung tangan ibunya yang robek, walau pedangnya hanyalah mainan. Apa yang dilihatnya itu membuatnya bergidik, dan semakin ngeri saat darah menetes dari sana, menimpa dada kiri sang monster. Bocah itu masih bisa merasa jauh lebih ngeri lagi, yaitu saat melihat ibunya, perlahan tapi pasti, berubah menjadi monster—sepasang tanduk mencuat dari kepala, geligi dan kuku-kukunya meruncing—kala sang ayah baru memeluk wanita itu sambil menenangkannya dengan sikap manis.

Tiba-tiba bocah itu merasa amat lelah. Ia melempar gagang pedang dan bilahnya ke tempat sampah, lantas berbaring di kasur. Ia terus memandang ke arah pintu, berharap akan segera ada yang membukanya dari luar. Bocah itu kemudian merasa topengnya yang basah menciptakan sensasi tak nyaman di wajah. Ia bangkit, melangkah ke hadapan cermin, melihat pantulan seorang pahlawan super yang gagal, berkata dalam hati: aku akan berhenti menjadi pahlawan super dan berhenti melawan monster, sebelum melepas topengnya. Lalu bocah itu menjerit ketakutan karena melihat wajah seekor monster di cermin![]


[1] Salah satu tipe (ukuran) shot dalam dunia fotografi dan perfilman; dalam konteks ini, berarti menampilkan wajah sang monster dari dagu hingga dahi.