KURUNGBUKA.com – Kita belum menemukan data resmi yang menyebutkan jumlah buku sastra (berbahasa) Indonesia yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, Rusia, Arab, Jepang, dan lain-lain. Bayangkan jika jumlahnya sudah mencapai seribuan judul. Maka, sastra Indonesia akan mudah diakrabi oleh para pembaca di pelbagai negara.

Adanya beberapa terjemahan sastra Indonesia dalam bahasa-bahasa asing kadang berkaitan dengan perkuliahan atau adanya jurusan yang mempelajari Indonesia (Asia Tenggara). Corak penerjemahan yang terbatas penggunaan dan peredarannya. Beberapa memang sengaja diterjemahkan dan diterbitkan dalam kepentingan menyajikan keragaman bacaan sastra.

Siapa yang berkepentingan membuat terjemahan? Bisa itu berdasarkan kepentingan pribadi atau institusi Kita biasa mendapatkan pengakuan tentang hadiran orang asing di Indonesia sebagai mahasiswa, peneliti, atau pengajar. Jadi, mumpung berada di Indonesia, mereka memilih cerita pendek, puisi, atau novel diterjemahkan ke bahasa negara asalnya. Konon, ia bermaksud mencipta pergaulan sastra atau mengenalkan sastra Indonesia di negara sana meski terbatas.

Ada pula pola kerjasama dua negara melalui kedutaan atau lembaga-lembaga kebudayaan, yang memungkinkan beberapa buku sastra Indonesia dapat diterjemahkan ke bahasa-bahasa asing. Pola itu belum tentu memenuhi kaidah keperluan dan memungkinkan sastra Indonesia mendapat perhatian besar di negara-negara sana.

Artinya, yang menerjemahkan sastra Indonesia ke beragam bahasa asing adalah orang asing, bukan orang Indonesia. Mereka punya upaya melalui pendanaan, kepentingan akademik, dakwah, atau keselarasan kebudayaan. Anehnya, para pengarang Indonesia kadang cepat sombong bila teks sastranya sudah diterjemahkan dalam bahasa-bahasa asing. Mereka mengira itu sudah meresmikan bakal mendunia atau menuju taraf internasional. Para pengamat sastra Indonesia pun berlebihan jika menyatakan terjadi kemajuan yang dahsyat di kancah sastra dunia.

Usaha serius pernah dilakukan di Indonesia agar buku-buku sastra Indonesia terbit dalam bahasa Inggris. Yang melakukan adalah Yayasan Lontar. Kita membaca beritanya dalam majalah Jakarta Jakarta, 5 Maret 1989. Berita yang menggembirakan bagi perkembangan sastra Indonesia saat ingin terbaca oleh orang-orang yang berbahasa Inggris.

Yang tertulis di majalah: “Jumat, 10 Februari 1989, Yayasan Lontar bekerja sama dengan PT Dian Rakyat dan Jakarta Mercantile Club mengadakan Malam Lagu dan Puisi. Lalu, apa hubungan anggota Mercantile yang terbiasa dengan acara-acara fashion show ini dengan proyek penerjemahan buku sastra Indonesia?” Pihak Yayasan Lontar mengatakan bahwa dana diperlukan dalam penerjemahan buku. Maka, mengundang dan bekerja sama dengan para pengusaha itu keniscayaan.

Mereka ingin terus membuat penerjemahan buku. Yang disampaikan: “Selama ini, Yayasan Lontar sudah menghasilkan dua buah terjemahan. Yang pertama, kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono berjudul Suddenly the Night disponsori Yayasan Jaya Raya. Sedangkan roman Belenggu gubahan Armijn Pane didukung secara finansial oleh Bob Hasan,” Penerjemahan membutuhkan dana besar, yang belum tentu bukunya nanti mendapat banyak pembaca.

Acara itu dihadiri para pengusaha. Pengarang-pengarang besar yang berkepentingan melalui Yayasan Lontar pun datang penuh harapan: Goenawan Mohamad dan Umar Kayam. Kita membaca sambil tertawa kecil: “Goenawan Mohamad juga kelihatan tak terlalu pusing apakah kaum pengusaha ini akan mampu menelan roman sastra Belenggu atau puisi Sapardi yang minta permisi Tuhan untuk pergi sebentar.” Goenawan Mohamad berpikir realis: “Kami butuh dana.”

Yayasan Lontar mau bekerja tanpa yakin mencapai keberhasilan. Yang diinginkan adalah penambahan jumlah buku yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris. “Apakah usaha ini akan berhasil atau tidak,” tulis di Jakarta Jakarta. Adanya dana dan penerjemah yang bermutu diinginkan agar sastra Indonesia diketahui dan digemari para pembaca asing. Anehnya, buku terjemahan itu dibaca oleh para pembaca di Indonesia yang bermaksud memahirkan penguasaannya dalam bahasa Inggris atau raihan gengsi.

Kita mengerti bila sastra Indonesia itu jarang dalam keberuntungan. Yang terbaca dari masa lalu sampai sekarang adalah usaha-usaha yang tidak menjanjikan sastra Indonesia “beruntung” dan maju. Beberapa usaha yang gagal atau macet kadang menamab pesimis dan putus asa. Pada tahun-tahun yang sulit sekarang, sastra Indonesia tidak perlu diberitakan berlebihan seolah bakal meraih kemenangan dan besar di kancah sastra dunia. Yang dirasakan adalah sastra Indonesia ikut kejet-kejet oleh situasi yang amburadul.

*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<