Suatu sore dalam obrolan santai seorang teman mengajukan pertanyaan yang mengganggu pikiranku, “Kapan akan menikah?”. Walau saya mengerti pertanyaan semacam itu dibentuk oleh hegemoni kebudayaan bahwa hidup adalah menikah, beranak-pinak, dan menunggu mati. Paling tidak itulah standar moral yang sebagian orang teguh memegangnya. Jika meminjam renungan Louis Althusser, segala bentuk perilaku kehidupan adalah ideologi mulai dari makan hingga memilah pakaian.

Satu pertanyaan sederhana yang membuat saya berpikir ulang dan membuka ruang  untuk saya masuki dan mempertanyakan kembali dalam variabel lain. Misalnya, jika saya ajukan pertanyaan: Hidup seperti apa yang kita inginkan? Jika pertanyaan itu saya layangkan kepada seorang tetangga di kampung–yang setiap hari menghabiskan waktunya di sawah dan hutan, maka jawabannya tidak akan jauh berbeda dengan mereka yang bernasib sama: “sejahtera”. Artinya ada sesuatu yang  bisa mereka makan. Walaupun tidak pernah pergi ke mal, tidak pernah melihat laut, dan tidak pernah melihat kantor gubernur.

“Sejahtera” dibenak orang kampung tentu berbeda dengan “sejahtera”  bagi mereka yang hidup di kota (yang dengan gaji dua kali lebih tinggi dari UMR). Pada akhirnya, problem mendasar dari kita atau bahkan seluruh umat manusia ialah “materialisme”.

Lalu apakah problem terbesar dalam hidup kita adalah ekonomi? Paling tidak ekonomi adalah fondasi fundamental dalam kehidupan. Kata “sejahtera” diucapkan secara eksplisit oleh temanku bahwa ia tidak ada urusan dengan hiruk pikuk politik, korupsi, demokrasi, dan kebebasan. Peduli apa dengan semua itu. Tentu saya tidak bisa memukul rata bahwa semua cara pandang seperti itu. Pendeknya, ia hanya ingin hidup tenang dan perut selalu kecukupan saat lapar datang.

Hidup sesungguhnya sederhana yang hebat tafsirnya, seperti kata Pramoedya Ananta Toer; benar? Kebenaran itu tentatif. Hari lalu anggapan itu bisa saja benar dan hari ini bisa saja salah. Hidup, menikah, beranak pinak, dan mati. Apakah sesederhana itu? Menjalani hidup yang “

“sesederhana” itu pun tidak akan sesederhana yang kita bayangankan.

Persoalan keapatismean bahkan cenderung oportunis dan pragmatis itu seharusnya bisa dibatalkan jika dari awal ekonomi menunjang hajat hidupnya. Setidaknya, ia bisa mengakses pendidikan lebih tinggi yang memungkinkan terbukanya cakrawala pengetahuan guna memenuhi kuriositasnya. Dengan cara itu pula ia dapat menginterupsi hal yang tidak sesuai dengan akal pikirannya atau yang selama ini keliru dalam pikirannya (comon sense). Pada akhirnya materialisme dialektis memengaruhi cara pandang  manusia.

Pertanyaan dasarnya, ada seorang di kampung yang hidup puluhan tahun lamanya bekerja sebagai buruh tani, tukang becak, ojek pangkalan, guru honorer, dan pekerjaan serabutan lainnya, tanpa ada perubahan nasib. Ada apa dengan kehidupan kita ini? Hidup seperti apa yang kita inginkan? Apakah itu kemauan sendiri atau bentuk kepasrahan terhadap kehidupan? Tentu jawabannya bisa sangat politis, teologis, bahkan filosofis. Ringkasnya subjektif. Tentu Anda bisa bilang kita merindukan hidup dengan syariat agama. Lalu yang lain bisa juga menginginkan kita merindukan hidup dengan menghargai segala bentuk privasi orang lain tanpa mengintervensinya. Atau lainnya bisa mengatakan kita merindukan hidup yang setara dalam pelbagai aspek terutama keadilan.

Standar Moral

Jika subjektivitas itu dijadikan pedoman, maka tidak ada standar moral untuk men-disclaimer, karenahanya ada satu standar moral untuk hidup seperti yang kita inginkan. Kecuali kita hidup di bawah rezim otoritarianisme. Misalnya tentang keadilan, tentu itu tidak bisa ditawar sebagai persoalan mendesak di tengah ketidakpastian politik hari ini. Pertanyaan keadilan versi siapa yang bisa kita jadikan standar moral? John Rawls, Sandel, Nozick yang libertarian, Karl Marx, atau John Stuart Mill yang utilitarianisme?

Keadilan hanya salah satu persoalan di antara banyak masalah yang kita pertanyakan ulang hidup seperti apa yang kita inginkan. Tentang radikalisme yang belakang ramai kita bicarakan misalnya. Saya justru skeptis melihat tumbuh suburnya radikalisme belakangan ini karena faktor agama. Kita tidak pernah ingin melihat fakta lain. Agama dijadikan obat penenang bagi mereka yang tertindas secara ekonomi. Agama dijadikan pelarian semacam harapan untuk menggapai kebahagiaan di ujung (surga). Seharusnya dari awal pemerintah melihat gejala itu dengan metodologis bahwa radikalisme dan teror(isme) hanya bisa ditangkal oleh keadilan ekonomi: kesejahteraan dan akses pendidikan.

Begitu pula kekerasan yang terjadi di Papua dan Wamena. Apakah standar moral menjadi warga negara Indonesia harus tegak lurus ketika membicarakan nasionalisme dengan pendapat negara? Tapi, yang terjadi negara tidak sama memandang mereka yang berada. Seharusnya negara harus sama memandang kita yang berbeda. Nasionalisme harus diserahterimakan dengan keadilan setara. Bahwa negara harus membuka akses kita yang berbeda. Pengetahuan tentang nasionalisme bisa tumbuh dalam waktu 24 jam dan cara pandang negara masih dengan paradigma tahun 1950.

Universal principle

Soal lain yang juga tak kalah mendesaknya. Ada sebagian individu bahkan kelompok di masyarakat mempercayai universal principle. Seperti penjelasan di awal, sosio-ekonomi memengaruhi cara pandang seseorang. Karena bagi saya, universal principle tidaklah relatif. Bagaimanapun universal principle tidaklah mungkin sama di antara setiap individu atau orang yang pada dasarnya hidup penuh dengan keberagaman. Setiap individu  dari setiap warga negara mempunyai universalisme principle-nya masing-masing. Dengan demikian, kita tidak bisa menjustifikasi universal principle menurut subjektivitas tiap individu. Hak yang disebut baik dan buruk di suatu tempat serta suatu cara pandang pada tiap-tiap individu juga tidak selalu satu garis lurus sama dengan yang lainnya. Artinya, tidak ada universal principle yang sama. Tetapi, setiap individu mempunyai universal principle-nya sendiri.

Lalu apakah pertanyaan temanku yang menuntut bahwa hidup harus menikah adalah sebuah keniscayaan? Apakah seseorang yang menghabiskan waktunya untuk bekerja tanpa ada peningkatan kualitas hidup adalah bentuk keterpaksaan, keterasingan, atau keputusasaan? Hidup seperti apa yang kita inginkan? Atau apakah yang disebut warga negara harus sembah sumpah pada nasionalisme, pada saat yang sama kita adalah bagian dari ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa.

Pada akhirnya setiap orang mempunyai referensi hidup yang diinginkannya. Dalil itu menjadi bermutu jika pengalaman intelektual dalam hidup menjadi motif dasarnya. Ekonomi menjadi tonggak pergulatan hidup seseorang. Paling tidak, seorang ayah setelah menghabiskan waktunya untuk mencakul sawah milik orang lain demi serantang beras, dapat membelikan buku filsafat, sastra, atau sejarah untuk anaknya. Si anak akan menghabiskan waktunya untuk memenuhi hasrat kuriositasnya dan bisa memilih hidup seperti apa yang diinginkan.***