Suara ketikan cepat terdengar dari meja Anna yang sedang fokus menyelesaikan proyeknya. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, namun ia belum bisa pergi. Tenggat waktu besok pagi terus terbayang di benaknya. Di ruang kantor lantai dua gedung pencakar langit yang sekarang sudah kosong, hanya lampu meja dan suara AC yang menemani. Kecuali Risma, rekan kerjanya yang masih menatap layar laptop dengan serius di seberang meja. Mereka berdua, seakan tak mengenal tidur untuk malam ini.

Sudah enam bulan berlalu sejak Anna diterima bekerja di perusahaan start-up impiannya. Dari luar, hidupnya terlihat sempurna. Gaji besar, jabatan mentereng, dan lingkungan kerja yang dipenuhi presentasi mewah serta proyek bernilai jutaan. Namun, di balik itu semua, Anna merasa ada sesuatu yang mulai hilang dalam dirinya. Sesuatu yang dulu ia sebut “kebahagiaan.”

Setiap hari, Anna bangun pagi-pagi, mengenakan pakaian terbaiknya, lalu segera berangkat menuju kantor. Malam harinya, ia pulang terlambat, melewatkan makan malam, dan absen dari acara dengan teman-temannya. Bahkan, ketika ibunya menelepon, jawabannya selalu sama, “Bu, aku sibuk. Nanti lagi ya.”

Malam ini pun masih sama. Risma akhirnya berdiri dari kursinya, merapikan tas, lalu menatap Anna dengan senyum yang walaupun lelah, tetap terlihat profesional.

“Anna, kamu masih lanjut? sudah hampir selesai, kan?” tanya Risma

Anna tersenyum tipis. “Ya, tinggal sedikit lagi. Kamu duluan aja, Ris.”

Risma mengangguk lalu melangkah pergi. Saat Risma pergi, Anna merasa sedikit iri. Bagaimana bisa Risma tetap tersenyum dan tampak baik-baik saja di tengah tekanan ini? Target yang terus meningkat, jam kerja yang tak kunjung selesai, dan atasan yang selalu menuntut lebih. Tidak ada ruang untuk kesalahan di dunia yang Anna jalani ini.

Pikirannya melayang saat ia mematikan komputernya dan bersiap pulang. Dalam perjalanan turun lift, pertanyaan yang belakangan ini sering menghantuinya kembali muncul: “Apa yang sebenarnya aku kejar?” setiap kali ia mencapai satu target, selalu ada target lain yang lebih tinggi. Rasanya seperti berlari di atas treadmill tanpa henti. Secepat apapun ia berlari, ia tak pernah sampai pada tujuan.

Saat berjalan keluar gedung, Anna melihat pantulan dirinya di kaca lobi. Wajahnya tampak lebih tua dan lelah, dengan lingkaran hitam di bawah mata. “Apa ini semua benar-benar sepadan?” pikirnya.

Dalam perjalanan pulang, perut anna yang kosong mulai protes. Dia memutuskan untuk mampir ke warung lalapan langganannya. Sesampainya di sana, ia melihat seorang nenek sedang menikmati lalapan di meja depan. Tanpa sadar, nenek itu mengingatkannya pada ibunya yang tadi menelepon.

“Permisi, Bu, apa saya boleh duduk di sini?” tanya Anna, menunjuk kursi kosong di sebelah nenek itu.

“Oh, iya, silakan, Nak,” jawab nenek itu ramah. Anna duduk dan memesan makanan. Sementara menunggu, ia memperhatikan nenek itu yang tampak menikmati makan malamnya dengan tenang, mengunyah setiap gigitan dengan perlahan dan penuh rasa syukur. Sebuah kontras yang mencolok dibandingkan kehidupannya yang serba terburu-buru.

“Kerja di mana, Nak?” tanya nenek itu tiba-tiba, memecah keheningan.

“Di perusahaan start-up, Bu,” jawab Anna singkat sambil mengambil nasi dan ayam dari piring yang baru saja disajikan.

“Oh, kerja kantoran, ya? Pasti sibuk sekali, ya?”

Anna tersenyum tipis. “Iya, Bu, sibuk banget. Tadi aja saya baru selesai kerja jam segini.” Ia melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

Nenek itu menatap Anna dengan lembut. “Capek sekali, ya, Nak?”

Pertanyaan itu sederhana, tapi menyentuh hati Anna. Ada sesuatu dalam nada suara nenek itu yang membuat Anna ingin jujur. “Iya, Bu, capek banget,” jawabnya pelan. “Kadang saya nggak tahu lagi apa yang saya kejar, Saya kerja keras tapi rasanya selalu kurang. Selalu ada yang lebih yang harus saya capai.”

Nenek itu tersenyum bijak. “Nak, hidup itu bukan tentang seberapa cepat kamu bisa mencapai sesuatu atau seberapa banyak yang kamu dapatkan,” ucapnya sambil meletakkan sendok dan garpunya. “Saya sudah hidup lebih dari 70 tahun, dan satu hal yang saya pelajari adalah bahwa hidup ada di sini dan sekarang. Bukan besok, bukan nanti.”

Anna terdiam, mendengarkan kata-kata itu dengan serius. Nenek melanjutkan, “Kadang kita terlalu sibuk berlari sampai lupa menikmati apa yang ada di sekitar kita. Nak, bekerja keras itu bagus, tapi jangan sampai lupa menikmati hidup. Setiap momen, sekecil apa pun itu, adalah bagian dari kebahagiaan.”

Kata-kata itu begitu sederhana, tapi menyentuh sesuatu yang dalam di hati Anna. Ia memandang sekeliling, melihat warung yang sederhana, orang-orang yang santai menikmati makanan mereka, dan langit malam yang begitu tenang. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada beban yang lepas dari pundaknya.

“Makasih, Bu,” ucap Anna dengan tulus. Nenek itu tersenyum lagi. “Sama-sama, Nak. Jangan lupa, hidup ini bukan balapan. Nikmati setiap langkahnya.”

Malam itu, Anna pulang dengan perasaan yang berbeda. Setibanya di rumah, ia mengambil ponselnya dan menelepon ibunya. “Bu, maaf tadi aku bilang sibuk. Aku cuma mau bilang makasih. Minggu ini aku mau pulang, kita makan bareng, ya?”

Ibunya terdengar senang di ujung telepon. “Iya, Nak. Ibu senang sekali.”

Setelah menutup telepon, Anna berbaring di tempat tidurnya. Ia merasa lebih tenang daripada sebelumnya. Kata-kata nenek tadi terus terngiang di kepalanya. Hidup bukan tentang mengejar kesempurnaan, melainkan tentang menikmati setiap momen dan menghargai langkah kecil yang ada di sepanjang jalan.

*) Image by istockphoto.com