Pertama kali saya lewat tol—jika tidak salah—adalah tahun 1983 atau 1984, tidak ingat pastinya. Yang jelas, yang dimaksud tol tersebut adalah “jembatan layang” yang mengangkangi perlintasan rel kereta api di selatan Kebun Binatang Surabaya, dekat Pasar Wonokromo. Untuk melintasi jembatan layang yang disebut Mayangkara sepanjang 400 meter-an tersebut, setiap kendaraan dikenakan karcis Rp300. Jembatan layang yang dibangun lebih dulu ketimbang tol Perak-Gempol itu masih ada hingga kini, namun tanpa ditiket lagi.
Momen tempo dulu itu berkelebat di dalam benak manakala kernet bis yang saya tumpangi (PO Haryanto no. 148), berseru saat menerima kertas bukti pembayaran tiket tol di GTO Weleri, pukul 17.09, barusan.
“Weleri-Brebes Barat satus telung puluh (130 rb), duite sopooo…, iki.”
Dia mengeluh hanya sebagai satire! Kok bisa? Mengeluh karena mahal tapi baru saja kami nikmati lancarnya perjalanan. Mana mungkin bis akan mencapai Weleri pada jam segitu di masa sebelum adanya tol Trans-Jawa jika kita berangkat dari Pulo Gebang pada pukul 11.30 siang? Celoteh itu tak lebih dari sekadar menghibur diri.
Pukul 17.24, sehabis “nyolar” di SPBU 43-513-09, kami bergerak, melewati Gringsing dan masuk ke RM Menara Kudus untuk memanfaatkan jatah waktu istirahat yang ke-dua, pukul 17.35: waktu rehat untuk ngopi dan salat.
***
Tadi siang, bis ini lepas landas dari Terminal Terpadu Pulo Gebang pada 11.26 (Minggu, 24 Maret 2019). Tanpa ba-bi-bu, sopir menunjukkan gelagat yang baik dalam memperlakukan pedal gas: ya, buat apa lagi jika tidak untuk diinjak!
Selama perjalanan melewati Cikampek (keluar sebentar di Exit Subang untuk ambil penumpang), situasi masih biasa, seperti dulu-dulu. Saya hanya merasakan bahwa arus lalu lintas siang ini lancar gara-gara sudah melintasi “Keluar Cikamurang” pada pukul 13.34: hanya dua jam dari PG. Itu saja dia tandanya. Soalnya, malam Jumat yang lalu, bis Karina yang saya tumpangi butuh waktu 3,5 jam lebih untuk mengurai jarak yang sama, padahal kecepatan bis rata-rata sama: 100 km/jam. Macet di Karawang adalah penyebabnya.
Di tengah tol, saya kaget manakala dapat pesan dari Fathur Rozaq yang tahu kalau saya berangkat dari Pulo Gebang dengan PO Haryanto no. 148, “Barusan kita papasan dengan 148 di KM 126. Saya naik Sinar Jaya 22RC.”
Dulu, kita sering terteror oleh rasa bosan akut karena macet. Setelah ada tol panjang, situasi seperti itu tak ada lagi. Sementara, benar saat ini kita sedang nikmati, tapi tunggu! Tak lama lagi, rasa bosan akan datang dalam wujud yang lain lagi: kecepatan yang begitu-begitu saja, jalan lurus yang begitu-begitu saja, sawah dan pabrik, sawah-sawah dan pabrik-pabrik, sawah-pabrik, sawah-pabrik, semuanya akan tampak begitu-begitu saja.
Salah satu pemecah kebuntuan di antara kebekuan semacam itu adalah sapaan seperti tadi, meskipun hanya lewat pesan pendek. Ketika egoisme dan sikap individualistik kian lekat dengan manusia modern, nilai-nilai kemanusiaan ternyata masih terselip di antara basa-basi: bunga-bunga kata yang seolah tak penting tapi sesungguhnya berarti. Ingatlah, tanpa adanya nilai kemanusiaan, kamu itu tak akan lebih penting dari kedebong pisang. Kesimpulan ini saya ambil karena saya juga mengalami hal serupa beberapa saat sebelumnya, yakni ketika menunggu kawan Rully di lantai terminal.
“Mau dibikinkan kopi?” kata salah satu awak agen tiket kepada saya. Dengan hanya tersenyum, tanpa perlu mengangguk, lelaki tadi langsung mengerti: menyeduh kopi. Wajarlah! Bahasa tubuh adalah bahasa tertua di muka bumi yang dimengerti oleh hampir seluruh umat manusia. Hanya secangkir kopi yang tak seberapa harganya, tapi di saat seperti itu, di saat orang sibuk mengurus dirinya sendiri, tidak ternilai harganya.
***
Tol Cikampek, lalu Cipali, dan kini Trans-Jawa (yang pada saat catatan ini ditulis sudah dapat diakses hingga Grati, Pasuruan, di ujung timur) adalah penanda perkembangan kebutuhan manusia terhadap efektivitas, kecepatan, dan transportasi. Jalan tol dibuat karena ada (atau banyak? Atau kebanyakan?) yang menginginkannya begitu. Tapi, adakah yang memikirkan hal-hal yang dipikirkan oleh orang yang tidak menginginkannya?
Menjawab pertanyaan seperti ini tidak cukup dengan sekadar menjadi penglaju atau pelintas jalanan, lebih-lebih hanya “asal bunyi”. Butuh wawasan sosiologi dan antropologi juga, politik dan ekonomi juga, untuk menjawabnya. Saya kira, buku “Dua Abad Jalan Raya Pantura: Sejak Era Kerajaan Mataram Islam hingga Orde Baru” (karya Dr. Endah Sri Hartatik) sudah bagus sebagai modal dasar untuk menabung pengetahuan bagi yang ingin menjawabnya.
Di KM 160, Luragung Termuda menyalip kami. Itu pertanda kecepatannya di atas 100 km/jam. Sopir kami tak melayani. Barangkali ia menghemat energi untuk 800-an km ke depan. Sumenep itu—kota tujuan akhir bis ini—jauh pakai banget, beda dengan ke Cirebon atau Kuningan.
Pukul 14.07 masuk Palimanan. Kanci tak jauh lagi. Hingga pada km 214/600, bis menyisi kiri untuk keluar di gerbang tol Kanci pada pukul 14.26. Dari pintu keluar tersebut, butuh waktu 13 menit ke RM Menara Kudus, titik pertama perhentian bis untuk makan dan salat. Di tempat itu, saya dan semua penumpang menunaikan kegiatan yang pertama, namun tidak semuanya untuk kegiatan yang ke-dua: ada yang salat lalu makan; ada yang makan lalu salat, dan; ada yang asyik nelpon melulu (mungkin nelpon kekasihnya), tidak (kelihatan) makan dan juga tidak (kelihatan) salat.
Bis bergerak lagi persis saat azan asar berkumandang, pukul 15.13. Sopir tengah ambil peran. Menapaki ruas Pantura, kenangan perjalanan yang mulai kuncup kembali mekar, seolah berbunga. Kami melewati Gebang, dan pada 15.25 sudah masuk perbatasan dua Losari: versi Cirebon yang di barat sungai dan zona Brebes yang ada di sisi timur. Jelaslah, pada awalnya, nenek moyang Gus Hamzah dan Neng Vivi itu satu daerah di masa Kerajaan Cirebon, tapi dipisah menjadi dua oleh kekuatan administrasi negara. Pemisahan tingkat rendahan berikutnya adalah jalan tol yang memisahkan rumah Galih dan Ratna. Tapi, ini mendingan daripada Pakistan dan India yang berpisah atas nama agama, merelakan warisan besar Hisdustan, walhasil ternyata, ya, sama saja. Ingatlah pula Syam! Yang besar dengan sejarah dan kebudayaan, lalu terbagi jadi Syiria, Libanon, Palestina, Yordania. Lalu, apa yang kita (atau kalian) cari sebenarnya?
Di sepanjang ruas Losari, Kecipir, Tengguli, Tanjung, suasana pertokoan tampak lebih hidup ketimbang yang tadi. Jalanan padat tapi arus lalu lintas tak sampai merayap. Truk-truk besar saja yang jadi pemain kakap. Yang teri dan tanggung cari aman di jalan tol saja. Akan tetapi, aura kemurungan itu jelas dapat tertangkap oleh mata biasa. Sampai Kluwut, Bulakamba, saya melihat pemandangan Pantura barat di siang hari, suatu hal yang tidak biasa karena sebelum ada tol panjang, daerah itu selalu dilewati dalam keadaan hari sudah gelap.
Setelah itu, tibalah kami di Klampok, Wanasari, (masih) Brebes, pada pukul 15.54. Saatnya belok kanan: masuk tol, dan ini artinya kami akan kembali berjibaku dengan kebosanan saat menempuh kota demi kota yang cukup mewakilkan dirinya hanya lewat papan nama.
***
Saya perhatikan, semua musala rumah makan Menara Kudus (milik PO ini) ada AC-nya. Begitu yang tadi saya masuki di Cirebon, demikian juga di Ngembal, yang begitu pula yang ada di Weleri ini. Yang menarik, kamar kecilnya dibuat terpisah dengan tempat wudu. Demi menjaga agar musala tidak mudah terpercik kencing yang membuatnya najis (mutanajjis), cara ini efektif. Miris kalau ingat desain musala atau masjid yang megah tapi tempat bersucinya rentan terkena najis.
Kami keluar parkiran tempat istirahat ke-dua itu pada 18.14, butuh 6 menit untuk sampai ke gerbang Tol Weleri. Berikutnya, data waktu yang saya catat: 18.41 (masuk Tol Kalikangkung), 19.00 (gerbang Tol Banyumanik).
Masuk Semarang
Kota ini benar-benar eksotis di malam hari. Rumah-rumah berlampu di ketinggian maupun di tempat yang rendah, sama indahnya. Tapi, kalau banjir, keindahan itu mendadak hilang sama sekali. Semarang adalah Amsterdam versi Indonesia, tentu saja dengan perkecualian-perkecualian.
Menanjak dan menurun, begitulah kontur jalannya, hingga Bawen, sepi dan gelap. Perjalanan di tempat seperti itu membikin saya membayangkan mogok atau pecah ban. Betapa ruwet dan sulitnya nasib kru. Pada pukul 19.25, barulah tampak tengara berlampu tertulis “Salatiga”
Walhasil, perjalanan dari titik Salatiga ke Kartasura di bawah kendali kesadaran. Saya tidak tidur dan memang sengaja tidak tidur, eh, ngeri-ngeri bis ini sudah menuju ke arah Sragen. Pasalnya, jalan gelap di kanan kiri dan saya tidak memerhatikan papan nama secara jeli.
Terbayang kehidupan yang berubah, perlahan atau cepat. Siapa yang akan mampu melawan? Bukan soal mampu atau tidak, tapi jika kita sadar bahwa perubahan itu dapat direkayasa dengan cepat, sanggupkah masyarakat cergas dan tanggap?
Terbayang tadi, bagaimana cerita orang tentang kehidupan warung makan di Pantura yang mati suri, kini saya menyaksikannya sendiri. Tahun lalu, atau tiga tahun yang lalu, di sana masih semarak. Tapi, tadi sore, saat kami turun dari tol, masuk ke wilayah Cirebon, tampak warung-warung yang tutup. Kalau pun ada yang buka, halamannya tampak ngenes dan kusam. RM sekelas Aroma mungkin masih bertahan, tapi kelas menengah seperti Minang Asri atau warung mi atau ayam bakar kaki lima, habislah sudah. Apakah perlu kita meninjau regulasi perihal jalan dan peruntukannya? Tentu saja, regulasi harus berpihak pada rakyat, lebih daripada sekadar hajat. Jika rakyat adalah yang paling banyak membutuhkan pembangungan maka akan ironis jika pembangunan hanya dinikmati oleh yang sebagian kecil saja.
Tiba-tiba, di sebuah bentang ruas jalan, PO Sumber Selamat nyelonong dari kiri, menjauh, lalu hilang. Kecepatan bis memang agak kendor setelah tadi sempat bertahan pada 100-122 km/jam dari Tegal sampai Kendal. Rasa jenuh barangkali menyemai pikiran si bapak ini. Jangan ngantuk, Pak. Sumenep masih jauh, anak dan istri menunggu di rumah.
Saat sedang melamun, kaget saat saya melihat papan penunjuk: Jombang/Ploso. Lho, sudah sampai sini padahal masih 21.46? Lima belas menit berikutnya sudah Mojokerto dan pada angka 22.21, bis sudah masuk pintu tol Waru Gunung. Saya nyaris tak percaya, tapi begitu kenyataannya. Dan pada pukul 22.38, kami sudah mencapai bundaran Jalan Jakarta, sebagai akhir tol Jakarta-Surabaya.
***
Inilah satu dampak adanya tol panjang Trans-Jawa. Berangkat 11.26 dari Jakarta, belum ganti hari sudah masuk Pulau Madura. Tentu, ini menyenangkan bagi sebagian, terutama mereka yang ingin cepat sampai ke tujuan. Tapi, jika kembali ingat nasib masyarakat Pantura, bagaimana kabar mereka? Semua berubah dan pasti berubah.
Tak terasa, pukul 23.05 kami sudah melintasi Jembatan Suramadu. Menjelang masuk Torjun, barulah hari berganti nama dan tanggal: Senin, 25 Maret.
Saya turun di Prenduan pada pukul 01.20, pas saat catatan perjalanan ini rampung sejak tadi ditulis sejak Gringsing. Biasanya, dulu-dulunya, bis dari Jakarta melintas di Prenduan itu sudah pagi, sekitar pukul 7 atau pukul 8. Sembari duduk menunggu ojek, di warung Pak Basyir yang sedang menjerang air untuk membuat kopi, saya kembali mengingat peristiwa-peristiwa yang baru saja saya alami di perjalanan, tentang pembangunan dan perubahan sosial.
Image by: detik.net.id
bagus