Kurungbuka — Tanggal 20 Maret diperingati sebagai Hari Dongeng Sedunia atau istilah bekennya disebut World Storytelling Day. Sebuah peringatan yang bertujuan agar masyarakat dunia menyadari betapa pentingnya dongeng bagi anak-anak mereka. Namun, bagi pendongeng asal Wanayasa, Purwakarta, Budi Sabarudin, dongeng adalah salah satu dimensi dimana dia bisa mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Bermula dari sebuah peristiwa tahun 2015, Kang Budi, sapaan akrabnya, didiagnosa stroke oleh dokter dan harus dirawat selama beberapa bulan di RS Sari Asih, Karawaci, Tangerang. Usai dirawat ia yang kini tinggal Cipondoh, Kota Tangerang ini benar-benar down karena ia yang pada awalnya bekerja di jurnalistik pada akhirnya tidak boleh lagi bekerja terlalu berat.

“Akhirnya ada yang ngasih tahu saya harus rajin untuk bangun pukul 03.00, untuk pemulihan. Nah, pada waktu itu saya tahajud lalu salat subuh berjamaah. Pada waktu itu lalu saya berdoa minta pekerjaan baru yang saya harap bisa mendekatkan diri kepada Allah,” ungkapnya saat dihubungi kurungbuka lewat telepon.
Akhirnya doa Kang Budi terkabul ketika kelurahan Sumur Pacing, Kota Tangerang, waktu itu, tengah melaksanakan festival anak. Kang Budi yang diundang oleh kawannya yang juga merupakan lurah di Sumur Pacing tersebut hadir sebagai pengisi acara dengan mendongengkan kisah ‘Ular yang Lapar’.
“Dari seratus orang lebih itu mungkin yang nonton hanya tiga tiga orang saja karena mungkin tidak menarik. Tapi kemudian saya jadi pengen lagi aja mendongeng. Kemudian saya menyadari mungkin ini bagian jawaban dari Tuhan atas doa saya yang kemarin.” Maka kang Budi pun semakin gigih dalam mempelajari seluk beluk dongeng sehingga terciptalah suatu terobosan darinya yang mengusung sebuah dongeng antara teater tradisional-modern, serta konsep manusia sebagai makhluk bermain.
“Cara mendongeng saya berbeda dengan pendongeng pada umumnya. Kalau pendongeng yang lain banyak pakai boneka. Kalau boleh disebut, saya sebut dongeng saya seperti teater, ada monolognya. Saya juga memainkan beberapa karakter tokohnya,” ujar lelaki kelahiran 1 Mei 1966 ini. Dalam pertunjukkannya Kang Budi memang kental sekali dengan gebrakan-gerakannya ketika banyak melakukan pergantian karakter.

Selain itu, cerita-cerita yang dibawakannya pun seperti Ulama Barseso, Kisah Musa dan Fir’aun serta cerita-cerita menarik lainnya menjadikan Kang Budi sebagai pendongeng yang multitalenta.
“Dengan kisah dan pendalaman karakter itu saya bisa membawakannya sampai satu jam setengah, padahal usia saya sudah 50 tahun lebih,” katanya sambal tertawa.
Lalu dari mana keahlian itu dipelajari? Kang Budi secara otodidak mempelajari dongeng dari kelompok teater saat dirinya nongkrong atau ia menyebutnya dengan ‘menggelandang’ di STSI periode 1990-1997.
“Ketika ada pertunjukkan di STSI waktu itu saya juga melihat proses penggarapannya. Dimulai dari latihan, gladibersih, reading naskah, pembagian casting sampai nonton teaternya. Sehingga ilmu melihat dan merasakan itu mendarah daging dalam batin dan jiwa saya,” kenangnya.
“Selain itu saya juga belajar dongeng dari tukang obat. Kok, tukang obat itu kuat ketika bercerita. Saya pun jadi kagum, rada aneh sih tapi ini benar-benar terjadi dan saya sangat terinspirasi dengan tukang obat yang bisa bertahan (bercerita-red) kala itu,” ungkap Kang Budi.

Dari ilmu dan keahlian mendongengnya itu, pada akhirnya semakin memantapkan Kang Budi untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan berkeliling lalu ia menyebutnya dengan ‘bersedekah’ lewat dongeng melalui program Sedekah Dongeng Keliling Nusantara yang rutin satu tahun sekali diadakannya tanpa dibayar. Dari programnya tersebut total sudah ratusan pertunjukkan dongeng dilakoninya di berbagai daerah di Indonesia seperti Jabodetabek, Lampung, NTT, Indramayu, Kuningan, Cirebon Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan serta daerah lainnya.
“Kalau di luar sana ini antusias, lain halnya di Provinsi Banten. Saya pernah dongeng di Tangerang, eh pada saat itu malah anak-anaknya pada pulang karena kata gurunya sudah capek habis pramuka. Pernah juga di salah satu kecamatan di Kabupaten Tangerang, mau dongeng saya malah disuruh makan di atas daun, bacakanlah istilahnya. Lalu saya tanya, kapan saya dongengnya? Terus panitianya bilang tidak jadi,” ungkap Kang Budi.
Well, dari hal tersebut Kang Budi ingin di Provinsi Banten lebih menggalakkan lagi dunia dongeng di wilayahnya karena menurutnya, dari dongeng diharapkan anak-anak menemukan panutan yang baik dalam dongeng yang dilihatnya, sebab di dunia nyata seperti saat ini betapa susahnya mencari panutan di tengah dunia yang semakin tidak menentu ini.
“Dinas Pendidikan dan Kebudayaan maupun Pariwisata, seharusnya melakukan mediasi dengan pendongeng di daerahnya. Dia harus nyari ke komunitas, ngobrol. Pernah tidak si pejabat itu sore-sore datang ke komunitas sebagai masyarakat biasa, ngobrol soal kebudayaan mendongeng? Lalu menanyakan siapa saja pendongeng di Banten ini. Jika sudah tahu siapa-siapa pendongengnya ajak mereka ngobrol, tanya bagaimana caranya ngamumule atau memuliakan dongeng sehingga momentum hari dongeng ini tidak sepi seperti yang terjadi saat ini,” tutupnya.(red)
* image by: Budi Sabarudin.