Di Talatappa, kampungku, kupu-kupu tak dibiarkan masuk ke rumah, karena dianggap sebagai arwah orang mati. Orang-orang tua percaya, rumah akan selalu tertimpa duka jika hewan tersebut tak dicegah dan diusir. Sepenglihatanku selama ini, tak pernah ada satu pun hewan cantik itu masuk ke rumah, tapi suasana rumahku sering gaduh.
Ada-ada saja cara Ayah untuk marah. Air sayur terlalu asin, marah. Kopi terlalu pahit, marah. Aku yang ingin ke rumah teman belajar kelompok, kena marah. Aku dan Ibu seperti tak berharga di mata Ayah, pengusaha mebel dan pedagang kayu yang cukup dikenal di kampungku.
Ibuku sehari-hari hanya ibu rumah tangga. Ia tampak tertekan karena pekerjaannya mengurus dapur dianggap rendahan kala Ayah marah-marah. Sejak itu, aku bertekad kalau besar nanti, aku harus memiliki pekerjaan pasti. Lelaki tak boleh sewenang-wenang menindas karena menganggap tubuhnya yang selalu remuk sana-sini mencari nafkah.
***
Bekerja sebagai guru sekolah setelah lulus tes penerimaan pegawai negeri menjadi nasibku. Ibu menangis terharu saat kuperlihatkan namaku terselip di deretan nama yang telah diumumkan. Ibu serasa lega menyaksikan keberhasilanku. Aku memang pernah mengatakan pada Ibu, bahwa dengan adanya pekerjaan tetap, maka aku tak akan dipandang sebelah mata oleh orang lain, khususnya di mata lelaki. Situasi dalam keluarga menjadi patokanku.
“Lelaki ditakdirkan mencari nafkah untuk anak-istrinya, Nak!”
“Tapi Ayah tak merasa begitu, Bu. Dengar saja, kalau ia sedang marah pada Ibu, Ayah tak bisa mengontrol lidahnya.”
Cara pikir Ibu tentang kedudukan dalam rumah tangga masih turunan orang-orang dulu. Tak bisa juga kusalahkan karena situasiku bertumbuh dan berproses berbeda dengan Ibu. Aku tak ingin menggurui Ibu soal gender, pengetahuan yang kuperoleh semasa kuliah dan berorganisasi.
Ibu telah berjuang sekuat tenaga agar aku lanjut kuliah. Nyaris saja aku menikah sebelum kuperoleh cita-citaku. Ayah menilai orang lain dengan pekerjaan dan uang. Kedua hal itu selalu bersamaan melekat pada diri lelaki yang datang ke rumah dan ingin meminangku.
***
Kupu-kupu secepat kilat merasuk ke tubuhku. Begitu ia masuk melalui lubang hidung sebelah kanan, rohku pun terbang menjadi kupu-kupu meninggalkan tubuh kurusku. Aku sudah terbebas dari rasa sakit yang menggerogotiku.
Apa yang kuangankan baru tercapai setelah tahun kelima masa pensiunku sebagai guru. Hal ini kuanggap sangat terlambat terjadi, sebab harapanku di tiga tahun silam, aku sudah bisa terbang mengangkasa mengejar Ibu yang sepuluh tahun lebih dulu telah berubah menjadi kupu-kupu.
Aku memulai terbang dari rumahku sendiri. Perlahan-lahan menuju dunia baru yang telah dikisahkan suasananya dalam kitab-kitab.
Masih kuingat jelas, di usiaku yang keempat belas tahun, Ayah pernah bilang percuma menjadi kupu-kupu. Tubuhnya rapuh. Hanya elok dipandang dan lagi pula kupu-kupu adalah arwah orang mati yang tak tahu siapa. Akan membawa kesialan jika benar-benar dibiarkan masuk ke rumah.
Pernyataan Ayah tak menyurutkan anganku untuk menjadi kupu-kupu.
Ayah selalu berharap, aku harus mengubah harapanku, misal menjadi kuda betina, yang ia persamakan sebagai perempuan tangguh. Namun, bagaimana diriku bisa menjadi seseorang yang diharapkannya, sedang ia terus melukai Ibu semasa hidupnya dengan kata-kata kasar. Aku ikut terluka melihat Ibu mendapat perlakuan tak menyenangkan. Parahnya, aku tak berdaya melawan dan tak kupungkiri, di dadaku dendam telah tumbuh subur.
Saat aku terbang, Ayah yang makin keriput dan rambutnya makin beruban tengah bersandar lesu di dinding dengan songkok hitam yang miring terpasang di kepalanya. Ia memperlihatkan raut kehilangan. Benarkah ia merasa kehilanganku, anak yang selama ini sering dibentak-dimarahinya? Anak yang pada akhirnya memilih dan berkeras tak ingin menikah karena trauma melihat suasana rumah tangga orangtua.
Tubuhku yang sudah berubah menjadi kupu-kupu, terbang melintas di atas kepala orang-orang yang sudah memadati rumah. Aku keluar meninggalkan ruang tengah. Terbang menuju ruang tamu. Wajah-wajah yang akrab di hidupku berdatangan. Rekan-rekan guru di sekolah dan beberapa siswa yang pernah kuajar juga ada yang menyempatkan diri melayat. Bahkan anak manis bernama Risna pun datang, ia ikut mendampingi neneknya, Hastina.
Risna tentu tak tahu, bahwa kupu-kupu yang sedang ia tunjuk sekarang adalah aku. Ia kegirangan melihat ada kupu-kupu terbang dalam rumah. Namun, orang-orang dewasa di sekeliling Risna tampak tak senang dengan kegirangannya menunjuk kupu-kupu.
“Itu arwah orang mati, Nak!” kata seseorang menasihati Risna. Lebih untuk menakut-nakutinya agar berhenti kegirangan.
Gadis kecil itu datang memakai jilbab warna hitam yang selaras dengan penampilan orang-orang yang menyempatkan hadir.
***
Mengapa aku mau menjadi kupu-kupu dan bukan yang lain, ada sejarahnya. Pertama kali mengenal ada hewan bernama kupu-kupu tentu dari Ibu. Ibu adalah guru pertamaku di rumah. Ia berperan penting mengenalkan hewan ini.
Kemudian, Ibu sengaja membelikanku buku gambar, pensil warna dan pensil biasa, peraut dan lengkap dengan penghapus. Semasa kecilku itu, kata Ibu ia tak kepikiran dan merencanakan hewan yang harus kugambar adalah kupu-kupu. Gambar kupu-kupu yang kutiru adalah gambar yang ada di kalender gantung yang tahunnya sudah mati.
Atas tuntunan Ibu, tanganku pun menarik garis demi garis. Hasilnya tentu saja buruk. Ibu bilang gambarku lumayan bagus, padahal jika kuingat itu siasat Ibu agar aku bisa senang menggambar dan hati kecilku tak bersedih. Ibu berusaha sejak dini melatih imajinasi dan kepekaanku.
Usai menggambar, Ibu pun menjelaskan secara singkat, bahwa kupu-kupu bisa terbang karena dianugerahi sayap. Itulah takdirnya.
“Aku nanti mau terbang, Bu. Apa bisa?”
“Tentu tak bisa, Nak,” kata Ibu jujur. “Tetapi kita punya banyak kelebihan yang tak dimiliki oleh kupu-kupu. Salah satunya, kita punya lidah untuk bisa bicara, sedangkan kupu-kupu tidak. Itulah takdir yang sungguh dahsyat dimiliki manusia.”
Kujulurkan lidahku yang sengaja kugerak-gerakkan dan menatapnya.
“Lidahmu itu,” Ibu lanjut bicara sambil menunjuk ke arah mulutku, “tak punya tulang sehingga bebas digerak-gerakkan. Ia bisa membuat orang lain senang dan bisa juga bikin orang kecewa, marah, sakit hati, bahkan dendam pada kita.”
Di usiaku yang masih berproses untuk mengolah kata demi kata dengan baik, tentu membuatku bingung mendengar pernyataan Ibu. Kenangan itu kembali meliuk-liuk di kepalaku. Cepat sekali Ibu memperkenalkan hal-hal yang memang kutemukan kebenarannya pelan-pelan dalam keluargaku sendiri melalui lidah Ayah.
“Kita tak boleh sembarang bicara kepada orang lain. Harus sopan kepada orang yang lebih tua dan terpenting jangan mengejek-ejek atau memaki dengan kata kasar.”
Raut muka Ibu tak sanggup kurekam ulang saat nasihatnya menjelma kenyataan.
“Tubuh kupu-kupu itu ringan dan rapuh, tetapi menawan dipandang. Kamu mau jadi kupu-kupu?”
“Mau, Bu!” girangku tak tertahankan.
Lalu Ibu mengajakku mencari dan mengumpulkan kardus.
Di hari itu juga, Ibu membuat sayap dari kardus. Tentu aku tak bisa terbang dengan itu. Namun, aku mendapat kesenangan.
***
Dulu, Ayah sudah sepakat menerima Asdar jadi menantu, tetapi aku tidak siap menjadi istrinya. Ibu mengamini sikap dan pilihanku. Aku tak mau salah menerima lelaki. Aku juga belum selesai dengan tekad yang ingin kugapai. Terlebih waktu itu, baru saja kuperoleh pengumuman kelulusan di SMA.
Ibu membantu menguatkan penolakanku. Ia selalu ada untuk mengawal harapanku. Alasanku memang terdengar sederhana, tetapi sangat masuk akal. Asdar belum kukenal pribadinya. Ia pulang ke Talatappa dan buru-buru mencari pendamping hidup.
Ayah tertarik karena menerima kabar, bahwa di perantauannya di Papua, gaji Asdar lumayan tinggi. Namun, belakangan Asdar sudah berada di kampung meniti hidup baru sebagai peternak, pembeli, dan penjual ayam petarung. Asdar adalah satu dari tiga lelaki yang datang dan gagal meminangku. Lagi-lagi alasan kepribadian yang tak dalam kukenal menjadi peganganku dan selalu berhasil.
Aku tak mau nasibku di hadapan lelaki serupa dengan Ibu. Lidahku telah membuat Ayah marah karena keputusanku, tetapi aku senang.
Kini, Risna sudah berumur lima tahun saat ia datang bersama Hastina. Asdar, suami Hastina tak terlihat di ruang tamu. Kucoba memastikan ketidakhadirannya dengan segera keluar meninggalkan Risna dan para pelayat. Di teras rumah juga tak kujumpai lelaki itu. Di halaman rumah yang telah dipasang tenda dan kursi-kursi diisi para tamu pun tak kulihat muka Asdar. Ia pasti masih menaruh benci pada lidahku yang sulit untuk dididik sekalipun aku seorang guru.
Gowa, 2022-2023
Image by istockphoto.com
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia dan membagikan berita-berita yang menarik lainnya. >>> KLIK DI SINI <<<
menarik ????????????
Pembahasan sederhana dalam kata dan imanjinasi yang luar biasa.