Sebelum saya mengungkapkan apa yang saya rasakan pasca menekuri buku terbarunya Toto ST Radik; Buah Tangan dari Sorga (BTdS) yang diterbitkan oleh Epigraf 2020, saya perlu menyampaikan pengalaman tak terlupakan saya berhubungan dengan puisi. Dulu, saat masih kuliah, saat pertama kali belajar membuat blog dan mengisinya dengan tulisan-tulisan pribadi saya, saya sempat “memamerkan” blog tersebut kepada kakak sepupu saya yang balik bertanya. “Kamu bikin blog isinya apa, yang terpenting bukan blognya, melainkan kualitas tulisanmu yang harus terus diasah.” Begitu kurang lebih tanggapan kakak sepupu saya (saat saya masuk kuliah ia sudah jadi dosen). Dengan enteng saya jawab begini “Iya kak, paling cuma diisi dengan cerpen, dan puisi doang.” Rupanya kakak sepupu saya jengkel atas kepolosan saya. “Apa kamu bilang “cuma” seolah cerpen atau puisi membuatnya gampang? Kamu tahu, bahkan Goenawan Mohamad yang hebat itu saja dengan rendah hati mengaku sulit membuatnya…”.
Semenjak itu, pandangan saya tentang puisi berubah 180 derajat. Bahkan kini, saya menilai puisi adalah puncak tertinggi karya sastra. Buku BTdS sudah berulangkali saya baca. Berulangkali membacanya, berulangkali pula makna-makna baru saya dapatkan. Itulah mengapa, mengulas puisi menjadi hal yang paling sulit meskipun boleh jadi bukunya tipis, bisa kita baca sekali duduk. BTdS cukup komprehensif menyajikan puisi secara utuh, baik tema, maupun ragam bahan baku pembuatannya (objek yang dibidik penulis).
Toto ST Radik dengan piawai memungut hal-hal yang oleh khalayak mungkin dianggap remeh dan menyungginya menjadi hikmah yang transendental. Sebagai contoh, misalnya kita diajak merenung tentang urgensi keikhlasan dan peniadaan diri melalui daun terwulu, (Lih. Semangkuk Cincau. 114). Menjelaskan tentang proses kreatif menulis puisi dengan simbol mengayuh sepeda (Lih. Bersepeda. 34). Itu hanya secuil contoh dari beragam tema yang Toto ST Radik suguhkan yang bisa menggetarkan jiwa saya. Selalu ada yang berdesir dan menghangat dalam diri saya, setiap kali membacai puisi-puisinya. Di balik bahasanya yang sederhana terselip mind-blowing yang luar biasa.
Buah Tangan dari Sorga, hadir semacam cahaya terang yang menyibak kegelapan yang selama ini mengungkung diri kita. Kita akan merasakan seakan tengah dielus dengan lembut, bak embusan semilir angin, dihibur dengan ungkapan-ungkapan satire, bahkan “ditonjok hingga menjungkal” dalam rangka proses menyadarkan diri kita. Kita diajak menyusuri lorong sunyi pergi ke dalam diri, menanggapi pelbagai fenomena yang menubruk kita; kenyataan sosial, situasi politik, percaturan budaya, dimensi agama, dst, dsb.
Bagi Anda yang kebetulan membaca tulisan singkat saya ini, Anda boleh menilainya lebay atau berlebihan, tapi jika Anda sendiri sudah menekuri bukunya berulangkali seperti saya pasti Anda juga berpikir sama. Jika ingin bukti coba saja! Wallahu A’lam.