Pagi itu sunyi kembali menyapa, membiarkan ruang hampa melingkupi hati wanita itu. Kosong, seperti itulah yang dirasakannya. Padahal ia sudah terbiasa ditinggal, hanya saja hatinya selalu berharap akan ada kehangatan di rumah itu. Rumah yang katanya adalah sumber kebahagiaan, nyatanya hanyalah sebuah bangunan kokoh tak berwarna. Untungnya wanita itu dianugerahi dua penyemangat yang selalu menyertainya, memberikan warna-warni dalam kanvas hidupnya. Hingga coretan-coretan penuh warna itu mampu menutupi kegelapan dalam hatinya.

Namanya Sari, semua orang mengira hidupnya begitu sempurna, diliputi kebahagiaan, harta melimpah dan suami yang sukses. ‘Sari beruntung menjadi istri pengusaha’ begitu kata tetangga. Namun ada satu hal yang tak pernah mereka ketahui, Sari tak bahagia dengan itu semua. Sebenarnya Sari tak berharap banyak, ia hanya ingin Haris pulang dan menemaninya menjalani hari tua bersama. Karena bagi Sari, kehangatan, kebersamaan, keluarga adalah yang paling utama.

Hingga suatu hari,  harapan itu benar-benar terwujud. Haris benar-benar pulang, laki-laki itu benar-benar nyata di hadapannya.

“Kamu sudah pulang?” tanya Sari dengan raut semringah, kedua tangannya bergelanyut di lengan Haris dengan manja. Lima bulan tanpa melihat wajah suaminya, membuat Sari senang tak kepalang. “Ayo aku akan kubuatkan sup kesukaanmu,” ujar wanita cantik itu, lalu menarik lengan suaminya menuju dapur.

Kali ini, Sari harus menunjukkan bakat memasaknya. Mungkin saja dengan makanan enak, bisa membuat Haris semakin betah di rumah. Membayangkannya saja membuat Sari bahagia.

Sekian detik berlalu, hanya keheningan yang tercipta. Haris yang duduk bergeming di tempat dan Sari yang berjibaku dengan bahan-bahan masakan. Hingga kemudian, suara Haris terdengar membuyarkan segalanya.

 “Sari, aku ingin kita bercerai.”

Kepala Sari terdongak, lalu seketika berhenti dari kegiatan memotong sayur dan beralih menatap Haris dengan geram. Satu kalimat yang diucapkan Haris nyatanya mampu membuat hatinya mati rasa. Di tangannya ia genggam pisau dapur erat-erat, menahan kuat-kuat keinginannya untuk membunuh lelaki di depannya.

“Mengapa?” ujar Sari, tertelan di tenggorokan. Ingin rasanya Sari berteriak memaki Haris, tapi kata yang keluar hanyalah serupa bisikan. Sungguh, Sari belum mengerti sedu-sedannya. Setelah siang malam Haris bekerja dan jarang pulang, datang-datang Haris berniat menceraikannya. Mungkin Sari bisa memahami bila perceraian datang saat umur pernikahannya baru seumur jagung. Pasalnya ini sudah kelima tahun pernikahannya dengan Haris. Sudah pula punya dua anak. Jika memang Haris tak menginginkan Sari, seharusnya Haris terus terang di awal pernikahannya, bukan saat ini. Saat Sari sudah mengerti apa itu memiliki dan bahagia.

“Aku tak punya alasan selain aku ingin,” putus Haris, meninggalkan Sari dengan kecewa yang semakin merajam.

***

Malam itu raut Sari tenggelam di pusaran kelam. Tatapannya kosong nyaris hilang ditelan kegelisahan. Tak ada yang mampu menjumputnya dari penyesalan. Setelah kejadian di masa lalu kembali bergelirya ke dalam pikirannya. Sari masih ingat, bagaimana pesan ibunya pasca hari lamaran itu.

“Awas jangan sampai memecahkan perabotan, apalagi piring dan gelas. Itu akan berdampak pada hubungan pernikahanmu,” pesan ibu waktu itu.

Sari hanya menganggukkan kepala tak mau menanggapinya dengan serius. Segala buntalan aksara yang terselip di telinganya berbondong-bodong keluar layaknya air selokan. Ah! andai saja Sari mendengarkan dan lebih berhati-hati tentu Sari tak akan mendapati hal nahas semacam itu.

 Hari lamaran tiba, saat semua orang sibuk menyuguhkan hidangan di ruang tamu, Sari ikut membantu. Sebenarnya bagiannya cukup mudah, hanya menuangkan kopi ke dalam gelas. Namun karena Sari kurang hati-hati, ia malah menjatuhkan gelas itu hingga pecah. Riuh seketika menyambutnya kala pecahan gelas itu bertaburan di depan kakinya.

“Sungguh malang nasibmu, Sari,” ujar Bu Kades tampak prihatin dengan sedu-sedannya. Lalu kata-kata selanjutnya bagaikan kaset rusak yang berputar di otak Sari, nyaris membuatnya hilang kendali ingin memaki.

“Kau tak akan berjodoh dengan lelaki yang akan menjadi suamimu.”

“Pernikahanmu tak akan bertahan lama.”

“Hubunganmu akan hancur layaknya pecahan kaca.”

Tidak! Sari tak ingin itu terjadi. Sungguh. Sari benar-benar tidak sengaja melakukan itu. Namun, mampukah Sari mengembalikan waktu dan mengubah segalanya? bila kutukan-kutukan itu benar-benar mempengaruhi hidupnya. Membuat kebahagiannya hancur bak serpihan-serpihan kaca. Sari telah kehilangan harapannya. Bahkan kehilangan hati suaminya. Haris, lelaki itu tak bisa lagi Sari jadikan tumpuan untuk hidup. Haris telah berhasil mengkoyak hatinya yang paling dalam.

***

Perkara hati sungguh sulit diatasi. Sari yang pada dasarnya tak suka membagi masalahnya dengan orang lain, kini ia memilih menceritakan segala keluh kesahnya pada sepupunya. Dengan membawa sejuta resah yang bergelimang, Sari menceritakan segalanya pada Sofia, mulai dari kutukan itu hingga berujung pada Haris yang ingin bercerai. Mungkin saja Sofia bisa memberikannya jalan keluar atas permasalahan yang di hadapinya.

“Cerai saja! lelaki itu tak pantas kapertahankan, Sari,” ujar Sofia menggebu.

Sejenak Sari termangu, membiarkan pikirannya berkelana. Keputusan yang akan diambilnya cukup memberatkan hatinya. Selain itu, ada anak-anaknya yang nanti nya juga akan menjadi korban perceraiannya.

Bagimana jika aku bertahan?

Atau aku setuju saja!

“Sial! Aku harus segera memutuskan,” guman Sari, mengakhiri pertikaian batinnya.

***

Kau tak akan berjodoh dengan laki-laki yang akan menjadi suamimu!

Pernikahanmu tak akan bertahan lama!

Hubunganmu akan hancur layaknya pecahan kaca!

Sari mulai muak mengingatnya. Bahkan dalam tidurnya pun kata-kata itu serempak menyorakinya dalam kesunyian. Hari itu, Sari tergesa menuju rumah Sofia. Kali ini keputusannya sudah bulat. Sari setuju bercerai dengan Haris. Tak apa jika hubungannya sudah tak bisa dipertahankan lagi, karena Sari tahu, tak ada yang bisa memaksakan kehendak hati. Jika ini sudah takdir yang digariskan Tuhan untuknya, Sari tak bisa menolak.

Satu langkah, dua langkah, Sari terseok. Pemandangan dua insan di ujung jalan, sungguh memberatkan langkahnya. Niatan untuk pergi ke rumah Sofia sirna seketika. Keinginan untuk membunuh dua orang biadab itu nyatanya lebih besar dari apa pun. Sari terengah, luapan emosi tampak membara di kedua matanya. Dengan membawa amarah dan segenap benci yang membuncah Sari menghampiri Haris yang tengah merangkul seorang wanita. Bukan perselingkuhan Haris yang membuatnya marah luar biasa, melainkan wanita yang berada di pelukan Haris. Sofia, Wanita yang ia percayai untuk membagi keluh kesahnya, dan dimintai solusi untuk permasalahan rumah tangganya nyatanya adalah sumber masalahnya.

“Kamu sungguh tega padaku, Fi,” ucap Sari menggebu, tatapannya yang sarat luka menyorot tajam pada wanita yang kini memeluk erat lengan Haris. Wajah Sofia tampak pucat, ketakutan tampak bergelirya dalam rautnya, sebelum wanita itu berpaling menghindari atensi Sari. Haris siaga. Lelaki itu berdiri menjulang di hadapan Sari, menghalangi Sofia dari kemarahannya.

“Maaf karena aku tak pernah jujur padamu. Tapi Sari, aku takkan minta maaf perihal rasaku pada Sofia. Ia tak bersalah dalam hal ini. Aku yang lebih dulu mencintainya,” terang Haris, tanpa sadar kembali menciptakan luka-luka baru di hati Sari untuk sekian kalinya.

Sari terperangah, ternyata selama ini Haris tak pernah tulus mencintainya. Sejenak, Sari menatap Haris dalam luka yang membara. Tak ada balasan, lelaki itu hanya menunduk penuh penyesalan. Jujur Sari kecewa, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Sekuat tenaga Sari mati-matian untuk menahan amarahnya yang siap tumpah dari matanya. Sari berbalik menjauh, sebelum melepas dengan gesit satu-satunya pemberian lelaki itu dari jari manisnya. Cincin itu bergelinding terhempas, bersamaan dengan lolosnya cairan bening dari kedua matanya. Lagi-lagi, Sari tak peduli.

 Hari itu setelah bahtera rumah tangga Sari tak bisa lagi diselamatkan dan tenggelam bersama kenangan, Sari tak lagi risau. Sebab bukan kutukan atau kepercayaan kuno itu yang membuat pernikahannya hancur, melainkan perselingkuhan yang Haris lakukan. Setidaknya Sari lega, ia masih bisa melanjutkan hidupnya tanpa rasa cemas dan takut.

Sumenep, 02 Januari 2023

Image by istockphoto.com