“Maka mulai timbullah impian pada diri si kakek untuk berkelana di dunia kecil buku-buku yang dimilikinya, dan menceritakan hasil perkelanaan ini kepada anak-cucunya.”
(P Swantoro, Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu, 2002: xx-xxi)
KURUNGBUKA.com – Swantoro menyebut dirinya sebagai kakek. Ia yang menua, menikmati hari-hari sebagai pensiunan dari penerbit besar di Indonesia. Selama puluhan tahun, ia bekerja di penerbit yang mengeluarkan buku, koran, dan majalah. Swantoro telah menjalani takdir kata-kata. Ia yang bergerak dengan tulisan-tulisan. Perannya adalah pembaca dan penulis. Peran lain yang tidak terikat oleh pekerjaan: kolektor buku tua.
Banyak buku yang dikoleksi usia lebih tua darinya. Sejak masih bocah, Swantoro melihat dan menikmati beberapa buku. Pada masa tua, ia mencari dan menginginkan menyentuh lagi buku-buku dari masa lalunya. Sentuhan yang kebablasan menjadi ulasan dan pengisahan. Ia tak betah sekadar menjadi pembaca. Tangannya menghasilkan tulisan-tulisan, yang diniatkan sebagai warisan dari lelaki tua bersama buku-buku tua.
Buku-buku tua yang “bertuah”. Buku-buku yang “bertuan” cap pemikir dan pelacak sejarah. Akhirnya, buku-buku tua digerakkan lelaki tua atau kakek menjadi referensi membuka sejarah Indonesia. Sejarah bukan bualan atau omong kosong dari lelaki tua yang tidak mau jadi pelupa. Buku-buku tua mungkin yang membuatnya terus menjadi gembala pengetahuan dan cerita. Persekutuan tua yang sadar fana: manusia dan buku.
Kita membayangkan Swantoro bergerak lamban mencari, membaca, dan menaruh buku-buku tua. Usia yang tua kadang membuat buku harus diperlakukan istimewa. Aroma dan rupanya memang mengesankan tapi tangan dan ruangan jangan sampai menjadikannya merana. Buku-buku tua, sumber bagi yang memanggil silam untuk menjadi tulisan-tulisan.
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<