KURUNGBUKA.com – (10/03/2024) Di kesusastraan Indonesia, ada nama yang mendapat pengakuan berpuisi kental filsafat. Sosok itu bernama Subagio Sastrowardoyo. Ia yang mula-mula menekuni banyak seni, selanjutnya memilih tekun dalam sastra. Yang terkuat adalah puisi-puisinya. Namun, ia pun mendapat pengakuan kehebatan dalam cerita pendek dan esai-esai.

Para penikmat sastra biasa mengingat esai-esainya yang ikut memajukan kritik sastra di Indonesia. Ia terbiasa menulis puisi, bertambah kokoh saat mengulas puisi-puisi para penyair dunia dan Indonesia. Ulasan yang mengikutkan sejarah, kebahasaan, filsafat, dan lain-lain.

“Di dalam kerjasastra, aku tak mau ikut-ikut mengulang-ulang pandangan filsafat yang tidak menarik lagi bagiku,” pengakuannya. Indonesia masa 1950-an memang meriah sastra dan filsafat. Para pengarang bersaing dalam studi filsafat, mengutip buku dan nama penting di dunia. Akhirnya, keterpengaruhan tampak dalam gubahan-gubahan sastra. Subagio Sastrowardoyo (1957) mengatakan: “Aku bukan penganut buta sesuatu ajaran filsafat atau dogma agama.”

Pijakannya adalah sastra. Puisi yang ditulisnya menjadi perwujudan pergumulan banyak hal. Yang dipertimbangkan tidak cuma estetika. Ia penuh perhitungan, tidak asal-asalan. Maka, para pembaca menyadarinya tapi puisi-puisinya tetap tidak kebal kritik-kritik yang tajam.

Pada akhirnya, penjelasan dan pembenaran dalam menggubah puisi melibatkan cara dan pandangan hidup. Kita yang membaca puisinya dihubungkan ke kehidupannya.

Ia mengaku: “Kenyataan telah mendesakkan diri kepadaku sebagai kesadaran bahwa bumi dan hidupku ini adalah etintas-entitas yang keramat dalam arti mengandung hubungan hakikat yang lebih besar bermakna…” Puisi yang berat dan “amat” dalam pergolakannya.

(Pamusuk Eneste (editor), 1982, Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang, Gramedia)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<