KURUNGBUKA.com – (06/03/2024) Priyayi di Jogjakarta dan bekerja di Jakarta itu bukannya pemalas. Ia rajin makan. Menceritakannya dengan tulisan-tulisan kocak dan reflektif. Yang ditulis tidak hanya masalah makanan. Ia mengikutkan sejarah, budaya, biografi, politik, kota, dan lain-lain.
Pada awalnya ia lebih dikagumi sebagai penulisan ceritan. Namun, ia bukan pengarang yang menghasilkan banyak cerita. Dulu, ia menjadi pejabat dan berada di beberapa lembaga besar, yang mungkin berpengaruh dalam banyak atau sedikit membuat cerita. Ia pantang berlindung dalam seribu alasan atas kenyataan sedikit cerit.
Umar Kayam (1982) menyatakan: “Sudah delapan tahun saya tidak menulis cerita.” Waktu yang lama, waktu yang tidak bisa dikatakan dibuang atau sia-sia. Yang terjadi, ia memang tidak menulis cerita tapi kertelibatannya dalam sastra tetap kuat.
Kita mengingatnya malah sebagai juri sastra di Indonesia selain kebiasaan mengisi seminar. Perannya di sastra tidak mutlak menjadi penulis cerita. Jadi, delapan tahun tetap bermakna dalam biografinya yang warna-warni. Tetaplah ia sebagai pencerita.
Yang dialaminya cukup sulit terjelaskan: “Kenapa tidak atau belum menulis? Apakah ada suatu tembok yang mahabesar yang juga disebut ‘kegamangan’ itu? Ia mencoba melacak masalah terpokok.
Akhirnya, ia mengungkapkan: “Kegamangan memang anasir yang licik dalam bawah sadar dan kesadaran kita. ia suka menyamar dalam kedok yang berbagai. Kepekaan fisik, kesibukan tugas, kekeringan tema yang menarik, dan entah kedok apa lagi.”
Di lakon kepengarangan, kegamangan itu menyulitkan. Kegamangan yang kadang menamatkan tapi bisa dihajar.
(Pamusuk Eneste (editor), 1984, Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang II, Gramedia)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<