KURUNGBUKA.com – (10/02/2024) Yang menerbitkan buku, belum tentu bangga dan puas. Penulis kadang malah malu, tertekan, dan kecewa. Buku bukan pembuktian yang selesai. Buku justru menguak segala yang membikin penulis bertarung lagi dalam capaian mutu dan ketekunan.
Pada situasi yang ganjil, penulis melupakan buku pertama atau mengajak para pembaca menganggapnya “tiada”. Yang lega dan kecewa dengan buku pertama kadang mempertimbangkan takdir yang akan diwujudkan, menghindari kutukuan-kutukan yang mendatanginya: perlahan atau cepat.
Pada 1982, buku puisi berjudul Tamparlah Mukaku! terbit tapi Acep Zamzam Noor malah resah. Buku mendapat sambutan dari pembaca dan sesama penulis. Acep Zamzam Noor (2003) mengaku: “Saya masih merasa punya persoalan dengan bahasa. Bahasa sudah saya akrabi, tapi belum saya taklukan.” Ia membentuk biografinya dengan bahasa Sunda dan Indonesia. Pada masa muda, ia menginginkan menjadi pemberani dan pemenang.
“Dan, seorang penyair yang baik harus bisa menaklukan bahasa,” penjelasan Acep Zamzam Noor. Kita menganggap itu berlebihan bila ada kehendak “menaklukkan”. Hubungan penulis dan bahasa mungkin diartikan dalam ketegangan yang mengharuskan menang-kalah.
Sosok masih muda. Puisi tak hanya kata-kata ditulis di kertas. Puisi-puisi belum “selesai” meski terbit sebagai buku. Yang muda, yang punya kehendak besar dan heroik. Yang teringat dari masa lalu sebagai penulis: “Penggambaran saya tentang alam masih tampak sebagai panorama dan rasanya belum mengarah pada imaji-imaji simbolik yang maknanya lebih mendalam.” Ia tidak menyesalinya tapi menginginkan kepuasan.
(Pamusuk Eneste (editor), 2009, Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Jilid 4, Kepustakaan Populer Gramedia)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<