KURUNGBUKA.com – (02/06/2024) Di Indonesia, kita biasa mendapat tulisan-tulisan berbeda corak dari pengarang. Pada awalnya, ia dikenal dengan ratusan cerita pendek. Banyak orang yang terpikat dan memberi pujian. Ia dianggap sebagai pengarang yang mumpuni dan “terbaik”.
Pada suatu hari, ia hadir dengan puisi-puisinya. Para pembaca masih terikat dengan cerita pendeknya saat menikmati puisi. Penilaian segera diberikan untuk mengetahui “kesaktian” pengarang. Yang ditekuni adalah penulisan cerita pendek. Pengakuan yang diberikan kepadanya bertambah saat menghasilkan puisi-puisi. Sebaliknya, orang yang lama diakrabi dengan puisi-puisinya datang lagi di depan sidang pembaca dengan cerita pendek atau novel.
Pengarang-pengarang yang tidak cukup dipuji dengan puisi, cerita pendek, atau novel. Mereka memiliki yang lebih atau “lain”. Aoh K Hadimadja menerangkan: “… jang mengarang prosa bisa djuga berdjiwa penjair, belumlah dapat dikatakan bahwa sadjak-sadjak mereka semuanja berhasil sebagai puisi.”
Ada keraguan terhadap pengarang yang bisa menghasilkan beragam jenis tulisan. Aoh K Hadimadja menyadarinya saat sastra (modern) berbahasa Indonesia bertumbuh, sejak masa kolonial. Beberapa pengarang mendapat kehormatan melalui puisi, cerita pendek, dan novel. Jenis-jenis tulisan itu diwujudkannya.
Yang diingatkan adalah perbedaan kekuatan. Para pembaca kadang membuat perbedaan-perbedaan dalam menentukan derajat pengarang berdasarkan jenis tulisannya. Namun, perbedaan itu tetap membesarkan pengarang meski ada yang memberi kritik atau penyesalan agar ketekunan untuk satu atau dua jenis tulisan saja.
Yang terjadi adalah tuduhan bahwa pengarang membuat tulisan jenis lain untuk “coba’coba”, “pelengkap”, atau “selingan”. Semua itu tak terlarang.
(Aoh K Hadimadja, 1972, Seni Mengarang, Pustaka Jaya)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<