KURUNGBUKA.com, SERANG – Kegiatan Nyeyore rumah dunia pada hari kedua menyuguhkan acara bedah buku Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein, karya perdana Muhammad Nanda Fauzan. Sebuah buku kumpulan cerpen bertema sejarah yang di dalamnya ada 18 judul cerpen. Acara yang dilaksanakan di Rendez-vouz Cafe ini mengundang dua narasumber yaitu Muhammad Nanda Fauzan sebagai penulis buku dan dibedah oleh Rahmat Heldy HS. Acara dilaksanakan pada Senin (18/04/22) pukul 16.30 WIB dan dimoderatori oleh Baehaqi Mohamad.
Acara dimulai dengan pemaparan hasil analisis buku yang dilakukan oleh Rahmat Heldy HS. Dalam penjelasannya ia memberikan apresiasi kepada Nanda selaku penulis buku karena sudah menulis sebuah buku cerpen belatar sejarah di usia yang masih tergolong muda. karena menurutnya di banten sendiri masih belum banyak penulis yang menuliskan cerpen bertema sejarah.
“jarang sekali saya menemukan cerpen sejarah sedetail ini di Banten,” papar Duta Baca Provinsi Banten tersebut.
Dalam pemaparannya Rahmat Heldy HS juga memberikan sedikit kritikan. Bahwa retorika dalam buku ini terlalu detail dan berat. Bahkan di cerpen ini juga banyak kata-kata khas sejarah yang mungkin asing bagi awam. Sehingga hanya pembaca memiliki latar belakang sejarah bisa menikmati buku ini. Sedangkan untuk pembaca awan mungkin akan kebingungan.
“Ini merupakan cerpen keren, apalagi jika dibaca oleh pembaca yang menggemari sejarah. Namun jika dibaca oleh pembaca pemula maka akan mengalami kebingungan. Karena kumpulan cerpen ini memiliki retorika yang sangat detail dan rumit,” jelasnya.
Nanda sebagai penulis kemudian memberikan tanggapan bahwa sastra sendiri, khususnya cerpen sebenarnya fleksibel dan tidak selalu rumit. Sebuah cerpen rumit memiliki beberapa faktor yang mempengaruhi. Salah satunya adalah pemilihan narator yang terdapat dalam cerpen. Ia kemudian menyebutkan beberapa cerpen dalam bukunya sebagai contoh perbandingan.
“Cerpen rumit terjadi karena ada narator yang memang wataknya seperti itu. Tapi ketika naratornya seorang anak kecil contohnya, itu tidak rumit sama sekali. Jadi rumit dan tidak rumit ada banyak faktor yang mempengaruhi,” ungkap Nanda.
Diskusi kemudian semakin semarak ketika memasuki sesi tanya jawab. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya beberapa pertanyaan yang dilontarkan salah satu peserta, Fadli mahasiswa UIN Banten. Dia kemudian memberikan beberapa pertanyaan.
“Adakah pemikiran Tan Malaka pada buku ini, jejak sejarahnya, dan mempertanyakan bisakan buku ini tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga sebagai referensi?” tanyanya.
Nanda selaku penulis mengakui dia memang menyukai Tan Malaka namun tidak seperti fans pada umumnya. Apalagi dalam filsafat dia juga mempelajari pemikirannya.
“Untuk sejarah-sejarah yang terjadi memang tertera dalam buku ini. Namun hal tersebut kurang tepat jika dijadikan referensi. Karena kumpulan cerpen ini bukan cerpen sejarah yang mengunggulkan akurasi. Jadi sejarah dalam buku ini hanya konsekuensi logis yang menjadi patokan dari sebuah peristiwa,” jelas Nanda.
Acara bedah buku ini kemudian ditutup dengan closing stetment dari Rahmat Heldy HS. Ia menjabarkan karya dan penulis saling berkaitan.
“Sebuah karya apa pun baik cerpen, novel, maupun film akhirnya dipengaruhi oleh latar belakang penulis. Hal tersebut yang kemudian yang membuat karya sastra menjadi berkualitas dan dan memiliki sisi emosional yang kuat,” Tutupnya. (Angga)