KURUNGBUKA.com – (10/05/2024) Para pembaca novel atau cerita pendek Indonesia kadang menggerutu. Tampang berubah saat mendapat dialog tokoh-tokoh yang “meragukan” dan “keterlaluan”.
Yang bikin masalah adalah bahasa Indonesia. Kita mengetahui bahasa itu digunakan orang-orang yang memiliki “tanah asal bahasa” beragam, yang memungkinkan cara omong dan khazanah kata berbeda. Namun, para pengarang mudah melupa yang beragam. Kelemahan dan kegagalan biasanya paling tampak dalam dialog. Maka, pembaca bisa ngambek.
Yang diingatkan oleh Arswendo Atmowiloto: “Dialog yang tidak mencerminkan keseharian untuk cerita yang realis.” Para pengarang yang mengaku “tertib” dan “benar” dalam berbahasa Indonesia kadang tidak menyadari kepantasan tokoh dalam berucap. Akibatnya, para pembaca cerita curiga dengan kemampuan pengarang dalan menyodorkan tokoh dan ucapan-ucapannya.
Kita membayangkan Arswendo Atmowiloto mengajak orang-orang yang belajar menulis agar rajin menyimak omongan, percakapan, atau omelan beragam orang di sekitar. Kesaksian dan pengalaman itu berpengaruh saat menuliskan cerita.
Arswendo Atmowiloto memberi saran serius, tidak lagi cengengesan: “… kesadaran bahasa yang dimiliki pengarang. Sebab tanpa itu, kamu sendiri akan mengingkari kepengaranmu.” Yang dilakukan pengarang adalah mengalami, menyaksikan, dan menghimpun gejolak-gejolak bahasa, yang nantinya diolah dalam cerita. Ia tidak boleh sekadar mengerti linguistik. Namun, yang terpenting merasakan bahasa-bahasa yang termiliki tokoh dalam menggerakkan peristiwa dan menguak identitas.
Kesadaran bahasa, masalah terpenting tapi kurang dan lemah di kalangan penulis di Indonesia. Mereka direpotkan oleh bahasa Indonesia, yang digunakan orang-orang beragam etnis atau latar sosial-kultural.
(Arswendo Atmowiloto, 1984, Mengarang Novel Itu Gampang, Gramedia)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<