Benda-benda baru bermunculan menjadi idaman. Orang-orang ingin memiliki benda baru, membuang atau menepikan benda-benda lama. Benda baru sering diumumkan memiliki keampuhan-keampuhan melebihi benda-benda lama, memberi kejutan berupa gampang dan praktis. Di hitungan hari atau bulan, benda-benda pernah membentuk biografi dalam bekerja atau menikmati hidup gampang kedaluwarsa. Sekian orang mau menjadikan kenangan. Orang sibuk dan selalu mengangankan kebaruan kadang memilih membuang, menghancurkan, dan melupakan benda-benda lama. Ia tak lagi berurusan dengan nostalgia, antik, atau sejarah.

Sindhunata dalam esai berjudul “Sungguhkan Media Cetak Akan Mati?” dimuat di Basis Nomor 11–12 (2019) mengingatkan sejarah pers dan biografi jurnalis. Ingatan mengarah ke benda bernama mesin tik. Di Hargobinangun, Pakem, Sleman, Jogjakarta, ada tempat baru: Ndalem Yakopan. Tempat untuk menghormati kerja pers dan ketokohan Jakob Oetama. Ndalem Yakoban itu berisi benda-benda mengandung nostalgia dan pemaknaan (ulang) atas segala hal bertema pers.

Penataan di Ndalem Yakopan melibatkan seniman-seniman ampuh di Jogjakarta. Sindhunata menulis: “Di dalam Ndalem Yakopan diletakkan beberapa barang antik. Tentu saja mesin tik tua, alat kerja kewartawanan Pak Jakob Oetama dan para senior Kompas dulu.” Benda membawa masa lalu, mengandung etos pers, dan menjelaskan tokoh-tokoh mencipta suara-suara saat jari-jari memukul huruf-huruf. Pada masa 1950-an, pengetik dijuluki “pemukul huruf”. Julukan tak berlaku lagi saat jari-jari kita terlarang “memukul” terlalu keras seperti bekerja dengan mesin tik. Tekanan jari ke huruf-huruf semakin berkurang. Di gawai, orang diajak menjadi lembut menggerakkan jari dan terhindar dari capek.

Ingat wartawan, ingat mesin tik. Ingatan bertahan puluhan tahun, sebelum komputer-komputer masuk ke kantor-kantor pers. Mesin tik tergantikan oleh benda mutakhir memberi kemudahan dan kelebihan dalam melakukan pelbagai pekerjaan. Orang-orang masih berharapan mesin tik tak punah. Keinginan sulit dipertahankan setelah melihat mesin tik masuk ke kantor kelurahan, sekolah, kantor, rumah, dan pelbagai tempat. Kemanunggalan wartawan dan mesin tik perlahan mengalami “gangguan” oleh pesona komputer. Wartawan ingin menunaikan kerja pers mulai cenderung menerima komputer berdalih kecepatan dan keunggulan. Di depan komputer, wartawan kehilangan suara-suara khas. Keuntungan terbukti tentu jari-jari tak secapek seperti saat jadi pemukul huruf dengan mesin tik.

Pemilik nostalgia mesin tik bernama Arswendo Atmowiloto. Ia memiliki biografi sebagai sastrawan dan wartawan. Mesin tik mutlak dimiliki menjalani hari-hari menulis apa saja. Pada saat remaja, Arswendo Atmowiloto senang menulis cerita pendek. Ia menulis di kertas. Tulisan tangan sulit terbaca. Arswendo Atmowiloto mulai belajar mengetik. Tempat pilihan adalah kantor kelurahan. Remaja di Solo itu mengetik, setelah kantor kelurahan sepi. Di situ, ada mesin tik besar. Kemauan menjadi pengarang dipengaruhi kegirangan menggunakan mesin tik. Sejak remaja, Arswendo Atmowiloto bermimpi besar. Mimpi memiliki mesin tik! Mimpi tak gampang diraih.

Selama di Solo, Arswendo Atmowiloto bergabung dengan penerbitan berbahasa Jawa. Di kantor, ada mesin tik digunakan oleh empat orang. Ia sering mengantre sampai malam. Pekerjaan-pekerjaan kantor dilaksanakan dengan mesin tik. Di sela bekerja untuk kantor, Arswendo Atmowiloto mengetik artikel, cerita pendek, dan cerita bersambung. Tulisan-tulisan dikirimkan ke koran dan majalah di Jakarta. Hari demi hari, ia melestarikan mimpi.

Pada saat menikah, ia belum berhasil memiliki mesin tik. Perjanjian suci dibuat bersama istri. Arswendo Atmowiloto memotong sekian rupiah dari honor tulisan masuk tabungan berupa kendi. Istri bekerja sebagai penjahit pun menabung dari upah. Hari-hari berlalu, uang terkumpul. Arswendo Atmowiloto mengenang: “Kami berdua naik becak menuju kompleks pertokoan di daerah Singosaren, sekitar 3 km dari rumah. Dengan gagah kami membeli. Akhirnya! Ya, akhirnya saya, eh, kami, memiliki mesin tik sendiri! Pulangnya saya tak mau naik becak. Mesin tik sengaja saya tenteng sambil jalan kaki. Biar seluruh dunia tahu saya mampu membeli mesin tik.” Lelaki itu boleh “sombong” berhasil meraih mimpi. Mesin tik untuk keberlangsungan sebagai penulis perlahan terkenal.

Kelucuan masih berlanjut. Arswendo Atmowiloto itu manusia unik dan lucu. Pada mesin tik, ia pun lucu: “Sampai di rumah, mesin tik dibuka plastiknya. Saya letakkan di ranjang. Lalu dikeloni. Sengaja saya tidak menggunakan malam itu. Ingin memandangi sepuasnya. Saya sudah menyatakan tekad bulat: segenting apa pun hidup ini, mesin tik ini tak boleh digadaikan.” Nostalgia dimuat di Intisari edisi Februari 2008 itu mengharukan. Kita masih membaca sejarah mesin tik, sebelum hari-hari kita selalu bergantung komputer atau gawai. Arswendo Atmowiloto menggandrungi mesin tik, menggandrungi hidup dan memberi persembahan cerita berlimpahan kepada jutaan pembaca dari masa ke masa.

Mesin tik terlalu berarti di masa lalu. Kini, mesin tik itu benda antik atau kuno. Para wartawan dan sastrawan “ikhlas” bercerai dari mesin tik. Kita menjalani hidup menghindari segala peristiwa berkeringat. “Pemukul huruf” sering berkeringat dan capek. Di album foto para wartawan Tempo kita melihat Goenawan Mohamad dan orang-orang sering mengetik sambil merokok. Pemandangan mereka cuma mengenakan kaus dalam menjadi lumrah. Mereka berkeringat memukul huruf-huruf. Foto paling terkenang mungkin Gus Dur turut mengetik di ruang kerja Tempo. Di situ, ia menghasilkan kolom-kolom terbaca di halaman Tempo. Mesin tik menjadi biografi berselera sastra, jurnalistik, dan intelektual. Mesin tik menjauh dari anggapan benda di ruang-ruang birokrasi atau tata usaha di sekolah.

Kita bergerak dulu ke negeri jauh. Di sana, ada penulis bernama William Zinsser (1922–2015) bercerita tulisan dan komputer. Kita membaca melalui edisi terjemahan bahasa Indonesia di buku berjudul Memikirkan Kata (2019) terbitan Galeri Buku Jakarta. Ia terpikat komputer. Pujian diberikan secara gamblang: “Perangkat lunak seperti komputer mampu memudahkan penulis dalam mengolah kata, mengeditnya, merupakan hadiah dari Tuhan, atau setidaknya hadiah dari ilmu pengetahuan, bagi para tukang selip dan tukang menghaluskan bahasa dan orang-orang sinting pecinta keakuratan.” Cara kerja komputer berbeda dengan mesin tik.

Di depan komputer, ia melakukan kerja pemangkasan dan pembuangan kata risiko dari hasrat mengedit tulisan. Ia tergoda menaruh jari di papan dengan tulisan: delete. Ia bergirang dengan komputer melebihi saat menulis tangan atau menggunakan mesin tik. Kini, kaum perindu mesin tik anggaplah orang-orang keranjingan masa lalu tapi memilih mengerjakan segala hal dengan komputer atau gawai. Mereka bakal kerepotan jika nekat menggunakan mesin tik. Kelangkaan telah terjadi. Benda itu nostalgia bagi orang-orang mengenang para sastrawan dan wartawan.

Sekian orang malah mengaku sudah kehilangan mesin tik, tak mungkin lagi dipamerkan kepada orang-orang untuk bercerita masa lalu sebagai “pemukul huruf”. Konon, Sindhunata sudah tak memiliki mesin tik awal di episode awal sebagai wartawan dan penulis. Arswendo Atmowiloto juga kehilangan mesin tik pernah dikeloni di ranjang. Mesin tik memang benda, tapi terlalu bermakna bagi pemilik nostalgia. Begitu.