image by istockphoto.com
Nai terjaga dari tidur. Beberapa jenak linglung. Ia mengedarkan pandang ke penjuru ruang. Pelan-pelan otaknya mengunduh memori.
Jendela kamar tertutup gorden motif Hello Kitty, dinding kamar berlapis wallpaper daun kuning, sebuah pendingin udara, lemari pakaian merah jambu tiga pintu serta ranjang tidur berseprai seputih salju.
Sadar bahwa ia berada di kamarnya sendiri, Nai bingung. Seingatnya, ia terakhir kali berada di kamar Mbak Sum. Dengan alasan takut tidur sendiri, lagi-lagi ia merangsek ke ranjang ART-nya.
Sementara itu Mbak Sum yang baru seminggu bekerja, tiada punya daya. Apalagi bila majikan kecilnya sudah memohon-mohon dengan mata berkilauan. Menimbang-nimbang bahwa ia bisa memindahkan majikan kecilnya setelah pulas nanti, Mbak Sum membiarkan Nai tidur bersamanya. Walau ia tahu pasti, fatal akibatnya jika Nyonya sampai tahu.
Nai riang. Ia yang sudah dibiasakan tidur sendiri sejak usia TK, bisa merasakan kembali betapa hangatnya tidur dalam dekapan. Meskipun ranjang ART lebih keras, tak mengurangi sedikit pun kenikmatan yang Nai rasakan.
Sejatinya Papa dan Mama telah menghadiahi Nai kamar sendiri yang indah. Keduanya juga sudah berjanji akan segera memberinya adik. Lantaran hal itu Nai berusaha patuh terhadap aturan tidur sendiri.
Susah payah Nai melepaskan diri dari kecanduannya mencium keringat Papa serta memainkan gelambir lengan Mama yang teksturnya seperti slime. Padahal tiap memegang slime alami itu, Nai serasa sedang relaksasi. Sementara itu kecut keringat Papa bagi Nai adalah aroma terapi. Baik slime alami dan kecut keringat sama-sama menyenangkan pula menenangkan. Akan tetapi demi adik yang sangat diinginkan, Nai mengalah. Melepaskan dua kesenangan itu.
Semuanya hampir berjalan sesuai rel keinginan Nai hingga tiba-tiba kereta cobaan datang dari arah berlawanan. Bencana itu menyata sejak hadirnya Asisten Rumah Tangga yang cantik dan muda. ART itu diambil Papa dari penyedia jasa terkemuka untuk mengurusi rumah dan Nai.
Entah bagaimana, sejak kehadirannya, sedikit demi sedikit kedamaian di rumah terkikis. Papa dan Mama terus-menerus bertengkar. Tiada ketenangan lagi.
Walau ART itu sudah dipecat, Papa dan Mama telanjur menjauh dengan egonya masing-masing. Sampai akhirnya Mbak Sum datang. Siang itu dengan wajah memelas Mbak Sum memohon diberi pekerjaan pada Mama. Nai yang naif turut membujuk mamanya agar menerima Mbak Sum. Gadis kecil lugu itu beralasan bosan dititipkan melulu ke Nenek.
Mula-mula Mama menolak karena identitas Mbak Sum kurang jelas. Tak menyerah, Nai mulai merengek tak keruan. Apalagi setelah diperhatikannya lengan Mbak Sum mirip punya Mama. Serta ketika Nai mengendus, ia mencium bau kecut keringat yang persis dengan Papa.
Dua alasan yang meyakinkan Nai akhirnya juga meyakinkan mamanya. Walau dalam konteks yang berbeda. Mbak Sum akhirnya diterima bekerja sebagai ART. Hemat Mama, Papa tidak mungkin tergoda kepada Mbak Sum.
Tak butuh banyak waktu, Nai cepat akrab dengan Mbak Sum. Nai demikian mudah menganggap Mbak Sum sebagai pengganti Papa Pamanya di kala keduanya sibuk di luaran sana.
Bahkan, sudah beberapa malam ini, Nai enggan tidur sendiri. Ia selalu mengiba ditemani Mbak Sum. Nai suka bermanja-manja kepada Mbak Sum.
Selalu sepanjang malam, Mbak Sum mendongeng untuk Nai. Lambat-lambat suara Mbak Sum kian lirih seiring mata Nai yang memberat. Jemarinya yang asyik memainkan lengan bergelambir Mbak Sum melunglai. Pertanda Nai telah dijemput lelap.
Selalu, usai memastikan Nai benar-benar pulas, hati-hati Mbak Sum kemudian menggotong nona kecilnya. Memindahkan majikan kecil itu ke kamarnya.
Nai mendengus kesal. Pasti seperti itu kronologinya. Buru-buru Nai beringsut ke tubir ranjang. Sekonyong-konyong berlari ke kamar pembantu. Menggedor-gedor pintu kamar Mbak Sum. Tak menunggu lama, ART kesayangannya membuka pintu.
“Mbak Sum yang memindahkanku ke kamar?” ujar Nai dongkol.
“Iya. Maaf, Non! Nanti Nyonya bisa marah kalau ketahuan Non tidur di kamar pembantu,” lugas Mbak Sum menjawab.
“Apa Mama bilang kalau malam ini akan pulang?” tanya Nai sangsi. Semenjak Papa mengganti aroma kecut keringat dengan minyak wangi, slime di lengan mama berangsur-angsur menghilang.
“Tidak tahu, Non. Nyonya tidak mengabari.”
“Kita tidur di kamar Mama Papa saja, yuk!”
“Hah?” Mbak Sum melongo.
“Mama pasti tidak pulang malam ini. Toh, Mama tidak akan tahu kalau kita bangun pagi-pagi.”
“Jangan, Non. Mbak Sum tidak berani.”
“Ayolah….” Nai menarik tangan Mbak Sum. Mau tak mau Mbak Sum menuruti.
Terkantuk-kantuk Mbak Sum mendongeng. Dongeng kedua untuk malam itu. Untungnya tak menunggu lama, Nai pulas.
Aneh. Selepas Nai tertidur, kantuk Mbak Sum justru musnah. Sesuatu bergejolak di kepalanya. Membuatnya tak tenang. Tujuan utamanya merantau ke Jakarta muncul ke permukaan ingatan. Disusul bayangan preman-preman sangar suruhan rentenir yang merusak rumah orang tuanya.
Mbak Sum membangun tekad. Masalah itu timbul karenanya. Sudah seharusnya ia menyelesaikannya agar orang tuanya tidak terus-menerus menyalahkannya.
***
“Mbak Sum, malam ini kita tidur di kamar Mama Papa lagi, ya?” ujar Nai selepas mamanya pamit keluar.
Tampak ragu, Mbak Sum mengangguk. Senyum menggelayut di bibir Nai. Tak seperti biasanya, Nai tak bersedih lagi tiap Mamanya pergi. Ia juga sudah tidak peduli kapan Papanya selesai dinas dari luar kota.
Pemikiran gadis kecil yang tahun ini naik kelas dua sekolah dasar itu senantiasa bermuara ke danau sederhana. Nai pikir-pikir, tiap Mama Papa di rumah justru selalu mencipta gaduh. Sebentar-sebentar bertengkar. Malah terakhir kali pecahan gelas dan piring memenuhi dapur. Kasihan Mbak Sum susah payah membereskan.
Toh, tidak ada Papa atau Mama, Nai justru bisa menikmati hari-harinya. Ada seorang Mbak Sum yang selalu dapat diandalkan. Mbak Sum mampu merampungkan segala-segala urusan rumah. Memasak, bersih-bersih, mengangkat galon, mengusir tikus, dan kebisaan lainnya. Pula Mbak Sum masih sempat mendampingi Nai belajar. Hari ke hari Nai makin mengagumi kepiawaian Mbak Sum mendongeng. Mata Nai begitu cepat terpejam bahkan ketika dongeng baru dimulai.
Simpul Nai, Papa dan Mama cuma pandai mencari uang saja. Namun keduanya payah dalam hal mengerjakan tugas rumah tangga. Fisik mereka juga sangat lemah. Dikit-dikit bilang capek dan pusing.
***
Benar terjadi. Pertemuan Mama dan Papa hanya membuncahkan kerusuhan. Papa akhirnya pulang dari luar kota.
“Nai, harus bersamaku. Dia masih kecil. Butuh pengasuhan dari ibunya,” ujar Mama. Ditariknya tangan kanan Nai.
“Mengasuhnya? Apa selama ini kau melakukannya?” sahut Papa. Tak mau kalah, giliran Papa merenggut tangan kiri Nai.
“Kau sendiri? Kau membawa ART ke rumah dengan alasan meringankan pekerjaanku. Ternyata kau malah bermain api dengan pengasuh itu.” Mata Mama melotot pada Papa.
“Itu sudah berlalu. Lagian, ART itu sudah tidak ada di sini.” Papa jengah, tetapi Mama terus menerus mengungkit kejadian lampau.
“Memang dasarnya kamu itu ganjen. Tidak dengan ART itu, bisa saja kamu punya yang lain di luar kota!”
“Mulai lagi! Aku ke luar kota itu untuk urusan pekerjaan. Memangnya kamu yang rutin fitness untuk mengincar berondong!”
“Kamu yang memulai lebih dahulu!” Mama memekik histeris.
“Sudahlah cukup!” balas Papa tak kalah keras. Kemudian hening dalam sekejap.
“Nai, kamu ikut Papa, ya?” lembut Papa membujuk Nai. Ia bersujud di hadapan gadis kecil itu untuk mendapatkan hatinya.
“Jangan mau, Nai! Kamu akan disiksa oleh ibu tiri jahat nanti!” tukas Mama sewot. Ia meraba rambut Nai. Menyalurkan sinyal kasih sayangnya secara instan.
Geming. Nai seolah-olah tak terpengaruh dengan perdebatan Papa Mama yang panjang dan kian meruncing. Akan tetapi gadis itu langsung bereaksi ketika matanya menangkap Mbak Sum yang tertatih menarik koper.
“Mbak Sum! Mbak Sum mau ke mana?!” pekik Nai resah.
“Mbak Sum harus pulang kampung, Non,” ucap Mbak Sum sedih.
“Kenapa?”
Mbak Sum menggaruk-garuk lehernya. Serba salah. Tiap hendak mengucap, ia urungkan kembali.
“Mama Papa akan bercerai, Nai. Jadi rumah ini harus dijual,” terang Papa tampak tenang.
“Terus bagaimana dengan Nai? Siapa yang akan mendongeng dan mengeloni Nai? Siapa yang akan memasakan makanan untuk Nai? Siapa yang akan mendampingi Nai belajar?”
“Karena itu Nai harus ikut Mama. Janji, Mama akan memasakkan makanan kesukaan Nai.”
“Sama Papa saja! Papa akan belikan banyak mainan untuk Nai.”
“Tidak! Nai akan ikut Mbak Sum!” tegas Nai seraya berlari menghambur memeluk Mbak Sum.
“Mbak Sum pamit ya, Non! Jaga diri baik-baik ya, Non!” Mbak Sum kemudian menyeret kopernya. Mengusap matanya yang berlinang air mata. Cemas menghantui langkahnya. Namun ketika tubuh tambunnya telah dimuat bus antar kota antar provinsi, leganya membuncah.
Setelah sepuluh jam perjalanan darat, Mbak Sum sampai di kampung halaman. Ibu bapaknya yang renta melongo kala melongok ke dalam koper. Anak perempuannya itu baru sebulan merantau ke Jakarta, pulang-pulang bawa banyak uang dan perhiasan. Pikir awam keduanya, ternyata benar kata orang-orang bahwa Jakarta gudangnya uang.
masoook mbak sum 😀