Saya memesan kamar untuk dua hari di penginapan itu. Kamar dengan dua tempat tidur. Di lantai bawah penginapan adalah sebuah rumah makan. Rumah makan Padang, lebih tepatnya. Menurut Agustinus Sapumaijat, rumah makan sekaligus penginapan—atau sebaliknya—itu adalah salah satu yang sering dikunjungi oleh orang-orang yang datang ke Muara Siberut. Dangdut Jaya, nama penginapan itu. Namun, selama dua hari menginap, tidak pernah terdengar musik dangdut di tempat itu.

Di hari pertama—sisa hari itu—saya lebih banyak berada di penginapan. Mengisi waktu menunggu Magrib, saya duduk-duduk di balkon sempit kamar penginapan. Selat Siberut tampak di kejauhan, bisu dan berwarna abu-abu. Di balkon itu sinyal Telkomsel cukup lancar. Saya sempat menerima telepon dari seorang paman yang membicarakan perihal rencana pulang kampung. Itu memasuki minggu terakhir bulan Ramadan, Mei 2019 silam.

Saat terdengar azan Magrib, saya mengajak Agustinus turun ke rumah makan. Saya memesan teh hangat dan nasi Padang. Agustinus memesan menu yang sama.

 “Gus, suara azan tadi itu jauh dari sini, ya?” tanya saya, di tengah-tengah menikmati hidangan yang kami pesan.

 “Tidak begitu jauh, Mas,” jawab Agustinus. “Di sini banyak orang muslim.”

Kemajemukan masyarakat Muara Siberut hampir sama dengan Tuapeijat—ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai—di Sipora Utara. Keduanya sama-sama kota pelabuhan.

 “Ada Gereja, ada Masjid. Ada Katolik, ada Protestan, ada Muslim. Ada Pastoran. Ada juga Islamic Center di Maileppet sana,” jelas Agustinus.

Buka puasa itu kami tutup dengan kopi hangat, sebelum kemudian berjalan-jalan sebentar di sekitar penginapan. Suasana cukup lengang dan saya terserang kantuk yang tidak tertahankan. Pagi hari sebelumnya, kami melakukan perjalanan selama empat jam menggunakan pompong—sampan bermesin satu—dari Dusun Ugai dan itu membuat badan terasa lelah. Setelah kembali ke penginapan, saya langsung mencoba memejamkan mata.

Sekitar pukul 22.00 WIB saya terbangun oleh suara riuh di luar kamar. Agustinus sepertinya juga mendengar hal yang sama. Suara riuh itu terus berulang—hilang, sebentar kemudian datang—sampai pada puncaknya seolah-olah penginapan itu mau roboh.

 “Badai,” ujar Agustinus, pendek.

Seandainya saya sedang melakukan perjalanan sendirian, mungkin saya akan turun dan berusaha mencari tahu apa yang terjadi. Peristiwa itu benar-benar tidak pernah saya duga sebelumnya. Namun, rupanya Agustinus terlihat santai. Ia menatap layar gawainya sebentar, lalu menarik selimutnya kembali.

 Saya yang penasaran, menyibakkan gorden jendela. Di luar, dalam cahaya remang, angin menderu-nderu menerjang apa saja; tiang listrik, sejumlah antena yang menyembul di antara rumah-rumah warga, pohon-pohon—bergoyang-goyang. Atap-atap seng yang tampak lebih rendah, terus berderak-derak seolah-olah akan terangkat dan beterbangan. Sesekali, di antara gemuruh yang dahsyat itu, sebuah benda terdengar jatuh.

Saya merapatkan gorden jendela, berusaha melanjutkan tidur. Saya tidak tahu pukul berapa persisnya badai itu benar-benar berlalu. Keesokan harinya, cuaca benar-benar cerah. Langit di atas Selat Siberut tampak tenang dan bersih seolah tidak pernah terjadi apa-apa malam sebelumnya. Ketika saya dan Agustinus memilih untuk berjalan-jalan di pusat-pusat keramaian, saya tidak mendengar satu pun orang yang membicarakan badai. Untuk meyakinkan diri saya sendiri, saya sempat bertanya pada Agustinus perihal kejadian malam itu.

 “Benar, Mas. Semalam itu badai,” jawab Agustinus.

Entah mengapa, jawaban pendek itu membuat saya merasa lebih tenang.

Hari itu, karena tidak ada jadwal kapal ke Sipora, saya memanfaatkannya untuk berkeliling. Agustinus sudah sangat menguasai daerah itu. Dia bisa mengantarkan saya ke mana saja. Agustinus adalah pemuda kelahiran Ugai, Madobag, Siberut Selatan. Dia pernah menjadi penghuni asrama milik Pastoran Muara Siberut semasa duduk di bangku SMP dan SMA.

Denyut Muara Siberut

Mumpung masih di Siberut, saya mencoba mencari oleh-oleh, selayaknya orang-orang yang berkunjung ke tempat-tempat yang tidak dikenalinya dan ingin mengenangnya dengan sejumlah benda. Pilihan paling sederhana dan mudah didapatkan adalah kaos oblong atau t-shirt khas Mentawai. Menurut Agutinus, lebih baik membeli hal-hal semacam itu di Siberut (Muara Siberut), daripada di tempat lainnya, semisal Sipora (Tuapeijat).

Di ‘kota kecil’ Muara Siberut ada pusat keramaian; toko-toko, gerai-gerai, lapak-lapak yang menjual aneka macam jenis pakaian dan aksesori. Di tempat-tempat seperti itulah, kehidupan terasa lebih berdenyut. Sejumlah gerai tampak bergaya distro. Sejumlah merek terkenal dengan mudah bisa ditemui di gerai-gerai semacam ini. Sebut saja misalnya Volcom, Ripcurl, Vans, Quicksilver, Bilabong, Hurley hingga Fila. Produk-produk itu dijual dengan harga terjangkau untuk ukuran nama-nama besar di bisnis sejenis ini. Maklum, di antara merek-merek itu ternyata dibuat di Bandung.

 “Ini Volcom Bandung, Pak. Kawe super, harga terjangkau. Barang bagus,” ujar Aldi, mencoba meyakinkan.

Saya kerap mendengar hal semacam ini, tapi tidak secara langsung dan tidak di Muara Siberut—tempat yang jauhnya tidak terkira dari tempat tinggal saya, Lombok. Jadi saya tidak buta sama sekali dengan sejumlah merek yang dipajang dalam distro kecil pemuda berdialek Minang itu.

 “Dari Padang, ya?” saya iseng bertanya.

Aldi tersenyum. “Rata-rata yang berjualan seperti ini dari Padang,” jawabnya kemudian. “Ayo, Pak. Ada Ripcurl juga ini.”

Saya mengamati keduanya barang sejenak—hem flanel Volcom atau t-shirt longgar berlengan panjang Ripcurl? Baik, keduanya tidak berusaha saya tolak. Saya ambil keduanya. Ripcurl longgar berlengan panjang itu tampaknya cocok untuk istri saya. Untuk mendapatkan keduanya, saya mengeluarkan sekitar 300 ribu rupiah. Produk Bandung, tentu saja. Honor saya sebagai penulis sama sekali tidak ditakdirkan untuk barang yang asli buatan Costa Mesa atau Torquay.

Bagaimana dengan 3Second? Jangan berharap. Menurut Aldi, brand terkenal yang berbasis di Bandung itu, kurang peminat di Muara Siberut.

 “Kurang laku, Pak. Saya sudah pernah mencobanya,” terang Aldi.

 “Oh, mungkin karena kurang bernuansa kepulauan. Di sini kan salah satu branding-nya surfing,” celetuk saya, sebelum berlalu ke gerai yang lain.

Di beberapa gerai, saya tidak menemukan kaos distro khas Mentawai. Kalau pun ada, ukurannya terlalu besar untuk anak saya atau warna dan desainnya kurang cocok dengan selera yang saya pilihkan untuk istri saya. Hari itu saya terlalu cepat datang. Stok barang belum bisa dikirim karena masih dikerjakan di Padang.

 “Barangnya baru ikut kapal Mentawai Fast minggu depan, Pak,” ujar seorang pedagang, perempuan muda yang kebetulan juga dari Padang.

Akhirnya saya mendapatkan kaos beridentitas Mentawai itu di sebuah gerai yang lain. Dua kaos berlengan pendek. Satu untuk istri saya, satu untuk anak saya. Keduanya bergambar sikerei–penyembuh/tabib khas Mentawai—yang sedang menari. Keduanya dihargai 150 ribu rupiah.

Bukan hanya masyarakat lokal (Indonesia) yang berbelanja di tempat-tempat seperti itu. Sejumlah wisatawan mancanegara terlihat juga sibuk menawar harga. Seorang bule yang berbelanja di dekat saya, berhasil menawar harga untuk sebuah topi Hurley berwarna hitam.

Acara jalan-jalan itu terjeda oleh istirahat siang, sekitar tiga jam. Sekitar pukul setengah lima sore, saya dan Agustinus kembali beredar. Kami pergi ke pasar Muara Siberut, melihat orang-orang yang sedang berbelanja sembako, juga aneka makanan olahan.  Lumayan, sambil menunggu saatnya berbuka puasa. Di sekitar pasar dan lapangan, di pinggir Jalan Raya Muara Siberut, berderet-deret penjual takjil. Menjelang Magrib, saya membeli sejumlah takjil: es buah, es kelapa muda, dan bakwan. Saat Magrib tiba, saya dan Agustinus baru saja sampai di tangga naik menuju kamar penginapan.

Tidak terjadi sesuatu yang perlu diceritakan malam itu. Tidak ada badai. Tidak ada telepon dari keluarga. Sesekali ada sinyal, tapi tidak berfungsi dengan baik. Seharusnya saya cepat tidur, tapi ternyata tidak. Saya memikirkan perjalanan besok paginya dan mencoba mencatat sejumlah detail perjalanan beberapa hari itu. Sepertinya saya melakukan itu hingga saya tertidur. (*)