Sudah beberapa hari ini gedung tempat Berno mengantor dihuni ulat bulu. Jumlahnya diawali beberapa ekor, lalu bertambah menjadi puluhan, dan kini menjadi ratusan. Kadang mereka menggeliat di rumput-rumput dan bunga taman, kadang melenting-lenting di kursi ruang tunggu, dan kadang merayap di koridor gedung yang menghubungkan antara ruang kerjanya dan ruang anak buahnya. Melalui CCTV yang terpasang di tiap sudut gedung, Berno menyaksikan ulah para ulat bulu itu dengan rasa jijik sekaligus geli.
Awalnya Berno merasa aneh dengan kedatangan para ulat bulu tersebut. Namun, sejak anak buahnya menjamin para ulat bulu tak akan berulah, Berno tak ambil pusing dan membiarkan para ulat bulu itu menghuni kantornya. Dua minggu atau selambat-lambatnya satu bulan, para ulat bulu itu akan punah atau justru menghilang, pergi mengikuti siklus alam. Lagi pula seorang wartawan yang biasa mangkal di kantornya telanjur menuliskan berita tentang ulat bulu yang mewabah di gedung kantornya, tapi isinya justru bagus buat mendongkrak reputasi Berno. Di sana tertulis bahwa ia adalah pemimpin yang sangat peduli pada seluruh nasib makhluk hidup, tanpa terkecuali ulat bulu.
Agar para ulat bulu tidak macam-macam, anak buah Berno telah menyiapkan ruang khusus untuk para ulat bulu. Tentu saja ruang itu terbuka selama ulat bulu tidak menjadi wabah dan mengancam. Jika ulat bulu mulai bertingkah, mereka telah menyiapkan pestisida untuk menghabisi seluruh ulat bulu, bahkan hingga ke calon cucu dan cicitnya.
Sebenarnya para ulat bulu mendatangi gedung Berno karena mereka mempunyai misi. Konon kabarnya, ada seorang seniman yang dilahirkan tak jauh dari tempat para ulat bulu berasal, membawakan Berno ukiran sebatang pohon mangga besar. Ukiran ini sangat detail, bahkan benar-benar menyerupai pohon mangga ciptaan Yang Maha. Katanya lagi, daun-daun ukiran itu saat disantap rasanya persis seperti rasa daun mangga asli, meski warnanya cokelat mengilap karena pelitur. Seperti lukisan, begitulah, semua orang heboh membicarakan bentuk ukiran yang sangat spektakuler ini. Termasuk para ulat bulu.
Para ulat bulu sangat menyukai daun pohon mangga. Pohon mangga adalah rumah kehidupan yang paling nyaman dan hangat untuk menjadi tempat menghabiskan usia yang tak panjang. Para ulat bulu ingin melihat langsung ukiran pohon mangga, bahkan jika diperbolehkan membuktikan kebenaran rasa daunnya yang legit dan renyah persis seperti rasa daun mangga, lalu menceritakannya pada seluruh ulat bulu tentang kepedulian seniman dari kampung kepada mereka.
Terlalu berlebihan sebenarnya, sebab ukiran pohon mangga tidak dibuat khusus untuk para ulat bulu. Namun, bagi para ulat bulu, seniman yang mengukir rumah kehidupan ternyaman sama artinya dengan turut melestarikan kehidupan para ulat bulu. Bahkan, mereka ingin Berno yang berduit itu meminta seniman membuatkan ukiran-ukiran pohon mangga yang lain. Oh, bayangkan, jika terdapat begitu banyak ukiran pohon mangga, mereka bisa sedikit lapang dan lega menikmati hidup yang hanya sebentar ini. Sayang, hingga detik ini mereka hanya mampu merayap di sekitar gedung Berno. Seniman meminta Berno meletakkan karyanya di tempat eksklusif dan aman agar hanya orang-orang khusus dan pilihan saja yang menikmati karyanya, bukan sembarang orang, apalagi segerombolan ulat bulu.
Berno sungguh riang. Ukiran pohon mangga artistik itu lagi-lagi membuat wartawan yang kerap mangkal di kantornya menyebutnya sebagai seorang pencinta seni sekaligus sosok romantis yang akan melestarikan nilai seni di mana pun ia berada. Foto Berno bersama ukiran pohon mangga menyebar di surat kabar, televisi, juga di smartphone.
Para ulat bulu sangat sedih. Meski berada dekat sekali dengan ukiran pohon mangga, mereka hanya dapat melihat ukiran itu dari selembar koran lecek bekas pembungkus pakaian ganti seorang anak buah Berno yang dibuang di tempat sampah tak jauh dari kantor. Gambarnya hitam putih, bahkan beberapa bagian gelap sekali, sehingga para ulat bulu hanya bisa membayangkan ukiran pohon mangga yang spektakuler itu.
Meski telah disediakan ruang khusus, para ulat bulu tetap saja berkeliaran di sudut-sudut ruang gedung Berno. Mereka ingin bertemu langsung dengan Berno dan menyampaikan keinginannya. Melalui anak buahnya, Berno berjanji akan menemui para ulat bulu. Namun, hingga berhari-hari menunggu, Berno tak pernah menepati janjinya.
Merasa ditipu, para ulat bulu berkomplot akan menghabisi daun-daun ukiran pohon mangga. Diam-diam mereka mencari kesempatan untuk masuk ke ruang Berno yang selalu tertutup. Sialnya, tak ada lubang di ruang kerja Berno yang bisa menjadi celah mereka masuk. Ventilasi tertutup sebab ruangan itu berpendingin. Maka, para ulat bulu memilih beberapa ulat bulu yang lincah untuk bersembunyi di tong sampah di samping pintu masuk ruang kerja Berno. Jika pintu terbuka, mereka harus cepat-cepat menyusup masuk. Sayang, pintu jarang terbuka sebab Berno kerap keluar kota atau justru menemui tamu-tamunya di ruang yang terpisah dengan ruang kerjanya.
Para ulat bulu kian letih. Usia mereka tak lama lagi, sedangkan Berno tak peduli sama sekali. Beberapa ulat bulu akhirnya memutuskan meminta bantuan kepada salah seorang anak buah Berno agar dapat masuk ke ruang kerjanya. Begitu anak buah itu lewat, mereka menempel di tangannya yang tidak tertutup baju. Namun, anak buah yang klimis dan rapi itu tak mengerti. Ia terkejut dan melompat-lompat mengibas-ngibaskan tangannya hingga para ulat bulu terlepas. Ia tampak sangat marah karena tubuhnya gatal-gatal. Digaruknya tangannya yang bentol dan memerah sambil mengumpat. Dengan beberapa helai tisu, ia mengambil ulat bulu yang menggeliat di lantai, melemparkannya ke tanah dan menginjak-injak dengan sepatu hitamnya yang mengilat sampai isi perut beberapa ulat bulu itu terburai dan tubuhnya tercerai-berai.
Para ulat bulu marah. Mereka mengirimkan sinyal ke seluruh ulat bulu di kampung-kampung, di kebun-kebun, agar datang ke gedung Berno. Para ulat bulu berdatangan dan jumlahnya lebih banyak, lebih meluas, lebih ramai. Mereka merayap-rayap di jalan raya, meski sebagiannya mati terpanggang matahari. Sebagian lagi berhasil masuk ke kantor Berno dengan melompat-lompat dari dahan ke dahan, berjalan dari rumput ke rumput. Begitu tiba, mereka merayap memenuhi dinding gedung yang lindap.
Berno menyaksikannya lewat CCTV di ruang kerjanya sambil tersenyum dengan geli. Ia memanggil anak buahnya, lalu meminta anak buahnya membuat kesepakatan dengan dedengkot ulat bulu agar menunggunya di ruang tunggu. Berno akan menemui mereka dan membicarakan kemauan ulat bulu. Ia tak ingin buru-buru menyemprotkan pestisida, sebab khawatir media massa akan menudingnya sebagai pemimpin yang tak berperikehewanan.
Para ulat bulu ribut. Sebagian ulat bulu telanjur marah dan berkeras untuk tak usah lagi menemui Berno, beramai-ramai menyerang anak buahnya yang lain atau jika perlu, Berno itu sendiri, sampai ia tak punya kesempatan lari atau membunuh ulat bulu. Sebagian yang lain menyetujui pertemuan dengan Berno, tapi dengan syarat, Berno memberikan kesempatan untuk mencicipi beberapa helai daun ukiran pohon mangga. Setelah melalui perdebatan yang alot, akhirnya para ulat bulu bersepakat menemui Berno.
Para ulat bulu menunggu di ruang tunggu hingga berjam-jam. Begitu banyak manusia yang punya kepentingan dengan Berno. Bergantian para tamu itu masuk dan keluar ruang kerja Berno, sementara pimpinan ulat bulu menekur di sudut ruang, tak dipedulikan. Namun, demi cita-cita dan mimpi sebelum habis oleh usia, mereka tabah menunggu.
Hari mulai gelap. Para ulat bulu masih setia menunggu. Anak buah Berno rutin mengantarkan makanan berupa dedaunan hijau dan segar tiap beberapa jam. Lamat-lamat mereka makan, lalu tertidur, lalu makan lagi, lalu duduk menatap daun pintu yang tak kunjung terbuka sejak tamu terakhir masuk.
Tamu terakhir masih berada di ruang tamu Berno. Berno sengaja menahannya agar ia punya alasan untuk tidak menemui para ulat bulu. Bahkan menjelang tengah malam, ia menyerahkan segepok uang kepada tamu itu, memintanya tidur di ruang istirahat yang bersebelahan dengan ruang kerjanya, sedangkan ia akan pulang ke rumah melalui jalan rahasia. Sebelum pulang, ia melihat para ulat bulu melalui layar CCTV. Ia tersenyum sinis membayangkan para ulat bulu yang tampak memperihatinkan sekaligus mengenaskan. Para ulat bulu tetaplah ulat bulu sampai kapan pun. Mereka tak akan melampaui manusia, apalagi manusia dengan strata setingkat Berno. Lagi pula, ia sudah terbiasa menghadapi kemarahan dan kekecewaan. Apalagi kalau hanya sekadar menghadapi kemarahan dan kekecewaan para ulat bulu. Besok-besok, para ulat bulu akan mati atau bermetamorfosis dan masalah ini akan dilupakan sama sekali. Waktu akan terus berjalan dengan kepentingan atau kesepakatan yang lain.
Berno memandang ukiran pohon mangga yang artistik dan memukau di sudut ruang kerjanya. Ia mendekatinya, lalu merabanya dengan takjub. Namun, ia merasakan tangannya berdebu. Sekali lagi ia mengusap, bubuk-bubuk halus di ukiran menggelontor jatuh ke lantai dan mengenai sepatunya yang licin. Berno terkejut. Dikibas-kibaskannya serpihan bubuk cokelat muda di sepatunya yang licin dan kilap. Konon katanya, ukiran itu dibuat dari bahan kualitas terbaik. Ia telah membayar mahal untuk itu. Bagaimana mungkin kayu ukiran itu lapuk dalam beberapa minggu saja?
Berno kembali memandang layar CCTV. Para ulat bulu keluar gedungnya dengan wajah kusam. Melewati rumput-rumput, menembus embun basah yang mulai jatuh. Ulat bulu jalan dalam diam, berhenti dalam diam. Sebagian mati sebab telah bersepakat dengan waktu. Sebagian yang lain tahu-tahu menjadi kupu-kupu, kembali dan menghinggapi taman Berno yang kemudian memujinya setengah mati. Ukiran pohon mangga yang mulai lapuk diam-diam terurai sebagaimana Berno yang diam-diam menyimpannya ke gudang, membiarkan cerita tentang keindahannya tetap abadi sampai ke ibu kota dan mengekalkan namanya. Sementara di waktu yang lain, ia memotret tamannya yang dipenuhi kupu-kupu, membawanya ke ibu kota hingga pujian menyerbunya seperti kepak puluhan sayap kupu-kupu. Kupu-kupu di tamannya tetap bergerak dan menari, hanya untuk membahagiakan diri sendiri.[]