KURUNGBUKA.com, SERANG – Film, tari, musik, lukisan, dan sastra adalah bagian dari karya seni. Karya seni sendiri adalah wacana terbuka. Artinya, setiap orang memiliki hak untuk menilai dan berargumen apa pun pada karya seni sesuai sudut pandangnya.
Seseorang boleh berkata bahwa suatu karya bernilai buruk atau bernilai baik, asalkan bisa bertanggung jawab dengan penilaiannya itu. Biasanya, penilaian yang muncul berdasarkan pengalaman, wawasan, pengetahuan yang mereka alami saja, tanpa mau repot-repot melihat dari sudut pandang lain. Kurang lebih begitu yang disampaikan kang Toto St Radik sore hari tadi dalam diskusi tentang film Yuni.
Apresiasi suatu karya bisa berbentuk pro dan kontra; pujian dan kritikan, dan itu hal lumrah yang cukup ditanggapi biasa saja, kata kang Firman Venayaksa, yang turut hadir dalam diskusi senja yang diadakan oleh Kohati HMI Serang di Kafe Umakite. Justru kalau kemudian setelah menonton film timbul diskusi dan perdebatan, artinya film itu berhasil “masuk” ke dalam pikiran si penonton.
Orang-orang Banten khususnya, yang merasa relijius, biasanya kaget menerima kejujuran yang pahit. Teh Nazla menambahkan kalau film ini adalah film yang jujur, yang selain terjadi di Banten, terjadi juga di beberapa wilayah di Indonesia. Bedanya, komentar yang masuk ke belio lebih banyak berbentuk protes, tidak terima, dan mendaku kalau Banten adalah provinsi yang agamis, relijius, dan tidak mungkin terjadi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan.
Padahal, menurut Rambo Banten yang juga jadi narsum dan mengaku sebagai “anak jalanan”, isu pelecehan, penyimpangan orientasi seksual, dan patriarki dengan mudah ia temui bahkan terjadi dalam lingkungan pertemanannya. Kenapa kita tidak mengakui saja dan jadikan film ini sebagai refleksi bersama agar bisa memperbaiki diri ke depannya?
“Kalau bisa ngewayuh, itu hebat!” seru kang Firman sarkas. Ia menyaksikan sendiri bagaimana bapak-bapak di Banten merasa gagah kalau bisa menikahi perempuan lebih dari satu. Derajatnya seolah-olah naik kalau bisa melakukannya. Lantas, kenapa marah pada sosok Mang Dodi yang melamar Yuni sembari mengajak istrinya dan menyodorkan uang “Selawe jute!” kalau Yuni masih perawan(?)
Kalau sejak awal menonton film sudah suudzon gara-gara melihat scene pertama—adegan Yuni memakai kutang dan cangcut—ya hati dan pikiran kita akan menutup diri untuk melihat lebih jauh tentang nilai apa yang ingin disampaikan lewat film ini.
Saya tak habis pikir pada orang-orang yang marah melihat citra buruk dalam karakter di film, sementara di realitas sehari-hari tokoh seperti itu berkeliaran bahkan di depan mata kita, dan kita diam saja?
Film atau karya sastra, seringkali memunculkan sosok berperangai buruk itu agar kita tahu mana yang baik. Agar kita bisa dengan mudah membedakannya. Kalau semua tokoh kita dibuat baik, lalu apa perbedaannya dan pelajaran apa yang bisa kita dapatkan?
Melihat respons buruk dari sebagian teman-teman saya soal film ini, membuat saya miris dan pesimis untuk mengenalkan karya saya yang lain pada mereka. Apalagi mereka berkomentar setelah menonton dan membagikan link bajakan dari film ini. RIP apresiasi~
Cilegon, 08 Januari 2022.
Foto by Rudi Rustiadi.