Judul                           : Kambing dan Hujan

Penulis                         : Mahfud Ikhwan

Penerbit                       : Penerbit Bentang

Tahun Terbit               : 2018, Edisi Kedua, Cetakan Pertama

Jumlah Halaman         : 379 halaman

Aku bisa bikin layang-layang sendiri. Aku akan meraut bilah bambuku sendiri, menimbang kerangkanya sendiri, merakitkan benang-benangnya, memilih kertas dengan warna terbaik, menerapkannya di kerangkanya, dan menerbangkannya sendiri. Aku tidak tergantung kepadamu. Aku tidak sedang menunggumu. (Hal. 28)

Begitulah yang digerutukan Miftahul Huda kepada orang tuanya. Laki-laki cerdas. Sarjana sejarah yang sedang dimabuk cinta.

Setelah selesai membaca novel roman “Tuhan, Maaf Engkau Kumadu” karya Aguk Irawan dan novel “Kesatria Terakhir” karya E. Rokajat. Saya kembali membaca novel roman “Kambing dan Hujan” karya Mahfud Ikhwan. Novel ini menjadi pemenang dalam sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2014.

Mahfud Ikhwan yang berlatarbelakang sarjana Sastra Indonesia UGM (Universitas Gadjah Mada), mampu meracik cerita dengan baik. Dengan penyampaian bahasa yang gurih, mudah dimengerti, membuat para pembaca rela menghabiskan waktunya untuk menyelesaikan novel tersebut dalam sekali duduk.

Novel Kambing dan Hujan mengisahkan dua insan yang saling mencintai. Miftahul Abrar atau Mif, dan Nurul Fauzia. Sosok Mif digambarkan seorang laki-laki yang cakap, cerdas, baik, dan tampan. Sedangkan Fauzia, adalah si bungsu yang cantik, pintar, tegas, dan jutek.

Sifat kejutekannya muncul pertama kali ketika pertemuan pertama antara Mif dan Fauzia di sebuah Bus. Mif berusaha meyakinkan Fauzia bahwa dirinya adalah warga desa Centong, tempat tinggal Fauzia. Hanya saja Fauzia di Centong Selatan, dan Mif Tinggal di Centong Utara.

Setelah pertemuan di Bus, mereka berdua bertukar alamat surel (e-mail) dan nomor handphone. Singkat cerita, Mif dan Fauzia saling jatuh cinta. Tapi, ketika hendak melangkahkan ke jenjang pernikahan, muncul satu problem. Yaitu kedua orang tua mereka.

Kisah Moek dan Is

Moek dan Is adalah dua sahabat sejoli. Di mana ada Moek, pasti di sampingnya ada Is. Moek dan Is tinggal di desa Centong. Sebuah desa yang berada di dekat tegalan, jauh dari kota. Is adalah penggembala kambing milik seorang  juragan. Setiap kali menggembalakan kambing di padang rumput, Moek selalu menemani Is. Bahkan kambing-kambing yang digembalakan oleh Is, diberi nama satu persatu oleh Moek.

Menjelang sore hari, Gumuk Genjik menjadi tempat terbaik untuk menghabiskan matahari. Mereka berdua saling berbagi cerita, tawa, ataupun duka. Persahabatan mereka seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.

Kedekatan antara Moek dan Is akhirnya dipisahkan ketika mereka berdua lulus Sekolah Rakyat (SR), Moek memutuskan untuk melanjutkan di pondok pesantren. Karena keluarga Is tergolong keluarga tidak mampu, ia tidak melanjutkan pendidikan. Akan tetapi, itu tidak membuat Is yang cerdas patah semangat untuk belajar. Ia belajar di masjid desa dengan seorang guru muda yang bernama Cak Ali.

Ali atau Cak Ali, pemuda desa yang baru pulang menyantren di Yogyakarta. Di masjid peran Cak Ali sangat sentral, di saat orang-orang Centong lebih mengutamakan berladang dan jauh dari masjid, Cak Ali malah lebih memilih  menjadi penghuni masjid. Ia menjadi guru ngaji, memimpin salat, dan memberikan materi pengajian. Masyarakat Centong sangat senang denga kehadiran Cak Ali. Satu persatu anak-anak Centong menjadi Murid Cak Ali, termasuk Is.

Suatu hari, masyarakat Centong mulai meninggalkan Cak Ali ketika muncul keanehan. Cak Ali sholat tidak menggunakan Ushalli. Dan di sholat shubuh, Cak Ali tidak membaca Do’a Qunut. Selain dua perkara itu, Cak Ali juga menentang adanya acara Tahlilan, Ziarah, dan Tayuban. Semua kegiatan tersebut adalah bid’ah menurut Cak Ali. Bahkan Cak Ali dan kawan-kawan pernah beruruasan dengan aparatur desa gara-gara menentang acara tayuban di kuburan.

Is sangat membanggakan sosok Cak Ali. Ketika Moek pulang dari pesantren, Is selalu membawa-bawa nama Cak Ali dalam obrolannnya. Apa-apa kata Cak Ali. Apa-apa menurut Cak Ali. Cak Ali tidak mengizinkan Is membaca kitab-kitab yang dibawa Moek dari pesantren, terutama kitab tasawuf.

Cak Ali dituduh PKI oleh masyarakat Centong karena tingkahnya. Ia meracuni pemikiran anak-anak dan pemuda dengan pembaharuannya. Sebagian masayarakat Centong ada yang setuju dengan cara berpikir Cak Ali, tapi juga tidak sedikit yang menentang Cak Ali dan kawan-kawan. Akhirnya, Cak Ali dan Is membangun Mushola sendiri untuk kegiatan keagamaannya.

Selama di pesantren, Moek bertukar surat dengan Is yang berada di desa. Informasi perkembangan desa, berkembangnya pengajian Cak Ali, sampai curahan hati Is yang bercerita bahwa ia jatuh cinta kepada Hidajatun.

(Halaman 142-147)

Ketakutan kaum tua terhadap pergerakan Cak Ali, Is dan kawan-kawan membuat membuat orang tua di desa Centong memaksa Moek untuk pulang dari pesantren. Diharapkan Moek mampuh mengimbangi gerakan Cak Ali yang semakin meresahkan.

“Kegagalan seorang guru adalah ketika murid yang didiknya tetap saja jadi seorang murid, tidak beranjak meningkat jadi seorang guru,” pesan Ali Qomarullaeli kepada Mat.

Singkat cerita Moek pun pulang ke Desa Centong dan menjadi harapan masyarakat Centong yang tidak suka dengan Cak Ali dan kawan-kawan. Moek diberi kesempatan oleh para orangtua untuk menjadi imam. Selain itu, sepulang dari pesantren, Moek dinikahkan dengan Hidajatun, perempuan yang dicintai Is.  Setelah pernikahan, hubungan antara Moek dan Is menjadi kaku. Pada akhirnya hubungan mereka renggang. Menjauh.

Desa Centong terbagi menjadi dua, Centong Selatan didominasi oleh warga Nahdlatul Ulama (NU) dan Centong Utara diisi oleh warga Muhammadiyah, gerakan pembaharuan yang dibawa oleh Cak Ali di Desa Centong. Moek menjadi tokoh masjid selatan (NU), sedangkan Is menjadi tokoh masjid utara (Muhammadiyah).

Itulah kisah Moek dan Is di Desa Centong yang diceritakan oleh Pak Fauzan kepada Fauzia putrinya. Pak Fauzan adalah tokoh Moek dalam cerita tersebut, dan Is adalah Kandar, pemimpin masjid Utara, orang tua Mif, kekasih Fauzia.

Mahfud Ikhwan mampu meramu konflik yang kompleks dalam sebuah cerita. Hubungan antara NU dan Muhammadiyah yang terkadang saling berbeda pandangan menjadi pemicu konflik dalam novel ini. Tidak hanya itu, konflik percintaan pun diramu sangat apik oleh Mahfud Ikhwan. Konflik-konflik tersebut menjadi roh dalam novel ini.

Desa Tegal Centong: Potret NU dan Muhammadiyah di Akar Rumput

Begitulah mungkin maksud Mahfud Ikhwan menggambarkan NU dan Muhammadiyah seperti kambing dan hujan, hal yang mustahil dapat disatukan. Tapi lain halnya di Centong, kedua tokoh panutannya memiliki masa lalu. Yaitu seorang sahabat karib sehidup semati. Ketegangan kedua tokoh agama karena perbedaan cara memandang dan juga kisah cinta keduanya.

Bayangkan, dalam satu desa terdapat dua masjid dan dua panutan (tokoh agama). Di saat jamaah masjid Selatan menunaikan salat tarawih 23 rakaat, maka jamaah masjid utara menunaikan 11 rakaat. Di saat jamaah masjid utara tidak membaca do’a qunut, maka jamaah masjid selatan membaca qunut. Di saat jaamah masjid selatan merayakan hari raya idul fitri, maka jamaah masjid utara masih berpuasa. Itulah gambaran masyarakat Centong. Barangkali potret kecil Indonesia hari ini.

Bertahun-tahun Pak Kandar (Is) dan Pak Fauzan (Mat) tak saling menyapa, bukan karena perbedaan pendapat masalah agama. Tetapi ada sesuatu yang membuat mereka berdua bersitegang. Inilah yang menjadi tembok tinggi hubungan Fauzia dan Mif.

Di akhir cerita, Mahfud Ikhwan menyelesaikan kisahnya dengan apik. Pak Kandar dan Fauzan dapat dipertemukan dalam satu momen yang tepat. Pada awalnya mereka berdua tegang. Saling diam. Tanpa ada suara. Yah, karena rokok. Rokok menjadi pembuka utama obrolan mereka. Keduanya saling menanyakan kabar. Sampai di penghujung obrolan, keduanya menyetujui pernikahan putra-putrinya.

Kisah cinta sejati dan ketekadan hati Miftahul Abrar dengan Fauzia mampuh menjadi obat konflik yang telah lama hidup. Berkat pernikahan keduanya, akhirnya Moek dan Is atau Pak Fauzan dan Pak Kandar berdamai. Mereka dapat menikmati udara Gumuk Gunjik kembali.

Novel ini seyogyanya ingin menyampaikan pesan yang sangat sederhana namun bermakna. Sejauh apapun perbedaan, permusuhan bukanlah jalan keluar. Akan tetapi, cintlah seharusnya yang menjadi obat penawar perbedaan. Dalam hal ini, Miftahul Abrar dan Fauzia dapat membuktikannya.

Cinta, kiranya Allah senantiasa memuliakannya, mula-mula permainan, lama-lama sungguh-sungguh. Cinta memiliki makna yang dalam, indah dan agung. Tidak ada yang kuasa melukiskan keindahan dan keagungannya. Hakikat cinta tak dapat ditemukan selain segenap kesungguhan pengamatan dan penjiwaan. Cinta tak dimusuhi agama dan tak dilarang syariat-Nya. Cinta adalah urusan hati, sementara hati adalah urusan ilahi.

Ibnu Hazm al-Andalusi, Risalah Cinta: Kitab Klasik Legendaris Tentang Seni Mencinta (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2009), Hlm.27.