Judul : Berumah di Buku; Catatan Kecil Buku Lawas
Penulis : Bandung Mawardi
Penerbit : Basabasi
Cetakan : 2018
Tebal : 136 Halaman
ISBN : 978-602-5783-45-6
Menggandrungi buku jadi laku yang tidak begitu populer di kalangan remaja. Hari ini, gawai yang disokong internet telah berhasil membuat tipuan dengan dalih mengandung unsur modern dan canggih. Hanya sebagian kecil, melalui ikhtiar tanpa jemu, memilih bercumbu dengan buku. Buku sudah jadi bagian hidup. Rentang waktu, biaya, dan jarak tempuh yang jauh bukan persoalan untuk berhenti gandrung pada buku.
Bandung Mawardi, pria yang menjadi kuncen di Bilik Literasi Solo saya rasa jadi salah satu dari sekian manusia yang gandrung akut pada buku. Dalam karyanya, Berumah di Buku; Catatan Kecil Buku Lawas, ia memberi pengantar yang sulit diejawantahkan oleh remaja sekarang. “Aku biasa naik bus atau bersepeda membawa doa-doa ingin bertemu buku-buku menakjubkan. Tahun-tahun sebagai murid di SMA menjadikanku penggandrung buku, tak berpihak ke memuja perempuan” (hlm. 3). Saya merasa luput tak menyapa buku di masa remaja saat membaca kalimat itu.
Pembaca disodori dua puluh lima ulasan di buku ini. Buku-buku dan majalah terbitan abad kedua puluh, yakni tahun-tahun sebelum dan sesudah kecamuk kolonialisme menjadi sumber rujukan utama. Tokoh ternama seperti Bung Hatta, Tjipto Mangoenkoesoemo, Armijn Pane, H.B. Jassin sampai RM Soerjo-Winarso, Yusuf Ismael, Agam Wispi, dan lainnya yang namanya tidak akrab di telinga warga Indonesia turut disebut di buku ini dengan karyanya di masa lalu. Sekian topik diangkat, mulai politik, sejarah, pengetahuan, gender, serta bahasa dan sastra.
Buku ini dibuat tampaknya ingin mengabarkan bahwa masa lalu tidak melulu cerita tentang keterbelakangan dan keterbatasan. Meski imajinasi saya sulit untuk turut mengamini kehidupan manusia di masa lalu sebagai orang yang gemar membaca dan menulis, namun ternyata gerak baca dan tulisnya juga tidak terlalu redup jika ditilik dari tulisan yang diulas di buku ini. Malah bisa jadi manusia-manusia masa lalu justru lebih kuat keinginannya untuk dekat dengan buku dibanding manusia hari ini.
Dunia politik, misalnya. Bung Hatta dengan status sosialnya yang mentereng, tidak melupakan buku. Ia menulis dan membaca buku. “Aku rela di penjara, asalkan dengan buku. Karena dengan buku aku bebas”, begitu kalimat yang sering dikutip di banyak tulisan. Mungkin orientasi politik menurut Bung Hatta pada saat itu tidak melulu tentang jabatan, tapi juga pengajaran kepada masyarakat awam (hlm. 10). Cerita bisa ditemui di esai pembuka buku ini dengan tajuk “Keinsafan Politik”.
Sedangkan tajuk “Buku (Ber)sejarah”, “Melawat Berkalimat”, dan “Imajinasi di Suriname” mewakili tema sejarah. Buku yang diulas di bagian ini sudah sulit ditemui di pasaran. Mungkin karena bukan lagi tren dunia perbukuan atau pertimbangan konten yang tidak begitu memikat, jadi tidak diterbitkan ulang oleh penerbit yang datang belakangan. Saya rasa buku-buku ini minimal—harusnya—pernah dijumpai oleh masyarakat Indonesia. Ya orientasinya agar tahu bahwa generasi awal bangsa ini telaten mencatat setiap peristiwa yang dilaluinya. Cerita di esai “Buku (Ber)sejarah”, misalnya. Esai ini mengulas buku Margono Djojohadikusumo yang kontennya meliput Douwes Dekker dengan segala kiprah politik dan intelektualnya sebelum kemerdekaan (hlm. 13).
Buku-buku yang diterbitkan di masa lalu ternyata juga tidak sepi peminat. Meski angka melek baca dan kesejahteraan ekonomi tidak sebaik hari ini. Coba simak pernyataan ini, “Buku Serat Sinaoe Meneng mengalami cetak ulang di abad 1935. Tak sekedar petunjuk kelarisan. Publik tentu memiliki gairah tak biasa membaca dan mengamalkan ajaran-ajaran tentang diam” (hlm. 19). Buku di masa lalu sudah diejawantahkan ke dalam laku, bukan sekadar kalimat berderet puitis. Buku tidak hanya menyasar ilmu, namun sekaligus amalnya.
Cerita itu bisa ditemui di tajuk “Diam dan Zaman Ramai” yang jadi bagian dari topik pengetahuan. Topik yang sama juga bisa disimak pada tulisan “Penerangan dan Kegelapan”, “Buku Berlagu”, “Hidup Berangka”, “Nostalgia Desa”, “Tjabul”, “Gamelan”, dan “Terkabulkan!”. Cerita-cerita ini mengabarkan tentang pengetahuan dari masa lalu yang tidak sederhana. Pengetahuan yang jarang digasak oleh generasi belakangan dengan sudut pandang terukur oleh panca indera. Saya rasa justru pengetahuan semacam ini harusnya memperoleh porsi untuk dipelajari. Bukan hanya sebagai bentuk dokumentasi, melainkan jadi identitas bangsa ini dari generasi ke generasi.
Selain itu, ada juga topik seputar gender yang bisa ditemui di halaman akhir buku. “Kenangan di Pekarangan”, “Kitab Kuno dan Lelaki”, “Sejarah Lelaki”, dan “Partainja Kaum Ibu” jadi tajuk-tajuk yang bercerita tentang gender. Pembaca diajak untuk insyaf saat membaca tulisan-tulisan itu. Perempuan di masa lalu ternyata juga memiliki andil, power, dan kontribusi untuk negeri ini, tidak hanya pria. Perempuan turut berkontestasi (hlm. 128). Cerita itu juga meruntuhkan persepsi bahwa perempuan hanya sebagai konco wingkeng.
Mengenai topik bahasa dan sastra, Bandung Mawardi menaruh harap pada generasi belakangan. Buku bahasa dan sastra lawas dianjurkan oleh Bandung untuk dicari dan dibaca. Kampanye dengan tulisan—salah satunya dengan buku ini—ditunaikan untuk menarik manusia hari ini gandrung pada buku-buku bahasa dan sastra di masa lalu. Tajuk “Berdoa di Depan Kampus”, “Bahasa (Tak) Merangsang”, “Merindu Buku”, “Berumah di Buku”, “Suratisme”, “Gandrung Tak Terbendung”, “Penggembala Bahasa”, dan “Pujanga Romantis” jadi tulisan yang wajib dibaca untuk mengerti bahasa dan sastra di masa lalu.
Buku ini sekilas bisa disimpulkan hanya sebagai ulasan dari buku yang pernah ada di masa lalu. Saya membayangkan buku-buku yang diulas sampulnya sudah kusam, berdebu, dan beberapa lembar halaman hilang. Meski begitu, buku ini patut diapresiasi. Karena bisa jadi, tanpa ada ikhtiar seperti ini, saya (dan mungkin pembaca lainnya) tetap awam dengan buku-buku yang jadi bacaan nenek moyang Indonesia di masa lalu.
Lebih dari itu, saya rasa kehadiran buku ini tidak sekadar mengabarkan, namun sebagai sindiran perihal realitas baca dan tulis di negeri ini. Tekanan dari kolonial, angka melek huruf rendah, pendidikan masih ala kadarnya, dan seabrek problem di masa lalu tidak menyurutkan keinginan baca dan tulis masyarakat di masa itu. Saya hanya berprasangka, jangan-jangan kedalaman tulisan dan resapan makna dari setiap bacaan justru diperoleh kala tekanan datang dari pelbagai sisi.
Begitu. Buku ini tidak hanya mengulas buku-buku masa lalu, namun juga punya tujuan sindiran. Hanya saja, saya menyayangkan buku-buku yang diulas tidak ditulis rapi dalam daftar pustaka di halaman akhir buku. Ya, sekadar memudahkan pembaca yang penasaran dan ingin meminangnya sebagai koleksi dan kajian. Kalau toh baca dan tulis buku masih jadi pekerjaan berat dan menyita waktu, cukup koleksi buku untuk investasi anak-cucu. Demikian.