Mataku berhutang kepada matamu
Mataku sering meminjam cahaya matamu
untuk menulis dan membaca
ketika tubuhku padam dan gelap gulita
(Joko Pinurbo, Kepada Helen Keller, 2007)
Puisi itu digubah dengan memusat ke mata. Biografi Helen Keller membuat umat manusia insaf atas kemauan memberi sesuatu pada dunia saat kondisi diri buta. Ia memberi berita baik ke dunia mengenai kemauan dan pembuktian, Joko Pinurbo memberi persembahan puisi ke Helen Keller dikembalikan lagi kepada diri selaku penggubah puisi sadar “padam dan gelap gulita.” Puisi itu mungkin tak terlalu dikagumi para penggemar Joko Pinurbo.
Pada masa berbeda, serial puisi “mata” masih berlanjut, tapi tak mengarah ke halaman-halaman buku bakal diraba kaum tunanetra. Puisi mungkin cukup mengawali pada kerja-kerja kebahasaan dan sastra berhuruf Braille. Halaman bagi tangan, bukan halaman bagi mata. Sekian tahun setelah puisi “mata”, Joko Pinurbo dalam Buku Latihan Tidur (2017) menggubah puisi-puisi mengenai kamus dan bahasa Indonesia. Puisi-puisi belum saling berkaitan dengan keinginan kaum tunanetra meraba kamus dan gubahan-gubahan sastra. Keinginan mengaitkan itu perlahan sampai ke kerja perkamusan di Indonesia.
Pada akhir 2018, kamus dipersembahkan kepada kaum tunanetra di Indonesia. Berita agak melegakan. Kamus itu dibuat pemerintah ingin memenuhi kewajiban. Kita tak pernah mendapat penjelasan terjauh bahwa kewajiban berurusan ribuan kata dan pengertian. Sejarah kamus di Indonesia telanjur sejarah bagi mata membaca, telat membuat alur bagi tangan membaca atau meraba.
“Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia (BPPBI) telah mencetak Kamus Besar Bahasa Indonesia Braille untuk difabel netra dengan mengalihurufkan KBBI V cetakan II. KBBI Braille ini merupakan cetakan kali pertama di Indonesia”, kutipan dari berita berjudul “KBBI Braille Pertama Resmi Dicetak” di Republika, 27 Desember 2018. Hadiah di akhir tahun, belum terindah. Berita itu terbaca oleh kita sebagai usaha keras dan merepotkan. BPPBI mengusahakan dengan segala keterbatasan dan minta dimaklumi. Di mata pemerintah, pembuatan KBBI Braille itu komitmen.
Di Media Indonesia, 27 Desember 2018, berita berjudul “KBBI Braille Diprioritaskan untuk SLB”, kita mengutip penjelasan dari pejabat Kemdikbud: “Kami utamakan (distribusi) ke sekolah-sekolah luar biasa dulu. Setidaknya diberikan setiap kabupaten/kota ada satu kamus, tapi belum bisa langsung ke siswa.” Kita bisa menduga jumlah kamus mampu dicetak pihak pemerintah bergantung anggaran. Jumlah sedikit, sulit merata dibagikan dan sampai kepada tangan para murid seantero Indonesia. Keterbatasan dana pasti jadi ganjalan komitmen pemerintah.
Di kabupaten/kota, ada jatah satu KBBI Braille. Siapa berhak menggunakan demi mengetahui ribuan kata dan pengertian? Barang kali ada pembentukan panitia dadakan bertugas menentukan jadwal peminjaman kamus bagi murid di sekian SLB? Jadwal itu merepotkan. Murid-murid ingin masuk ke jagat kamus harus bersabar. Tangan-tangan itu telah menghasrati ratusan lema dan tawaran makna menuruti KBBI V. Kebahagiaan berbahasa dan berkelana pada makna malah sering tertunda.
Perkembangan KBBI memang sudah sampai edisi V. Capaian itu lebih baik ditarik mundur untuk mengerti edisi perdana Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988). Kita simak sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan: “Sebagai kamus besar yang menghimpun kata-kata dari bahasa Indonesia dalam perkembangannya yang sedemikian pesat, niscaya akan diperlukan usaha untuk terus-menerus melengkapinya dengan kata-kata baru yang muncul dalam perkembangan bahasa Indonesia pada masa mendatang. Dengan terbitnya Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi perdana ini, maka usaha melengkapinya akan jauh lebih sederhana. Dari masyarakat umumnya dan para ahli bahasa khususnya diharapkan saran dan masukan demi penyempurnaan kamus besar ini.”
Pada sambutan sehalaman, pembaca mustahil menemukan kata-kata menampung komitmen pembuatan kamus bagi kaum tunanetra. Pada masa lalu, komitmen itu mungkin belum pernah dipikirkan atau tema dalam pelaksaanaan sekian Kongres Bahasa Indonesia. Pembaca cuma menemukan lema Braille di KBBI edisi perdana mengandung arti: “Sistem tulisan dan cetakan untuk orang buta berupa kode yang terjadi dari enam titik di pelbagai kombinasi yang ditonjolkan pada kertas sehingga bisa diraba.” Lema itu menunggu pergantian abad untuk menjadi KBBI Braille.
Acara serah terima KBBI Braille berlangsung di Kantor BPPB Rawamangun, Jakarta, pada 26 Desember 2018. Kita simak lagi berita di Republika: “Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan BPPB Gufran Ali Ibrahim mengatakan, kamus ini sekitar enam bulan disiapkan hingga kemudian dicetak, setelah dalam rapat awal tahun bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan membahas upaya pemenuhan hak untuk penyandang disabilitas sesuai Undang-Undang Nomor 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas.” Kamus mengacu pada undang-undang. Kita menganggap itu pemenuhan kewajiban atau keikhlasan tanpa harus dipaksa undang-undang? Pemerintah memilih membahasakan itu sebagai komitmen.
Di kejauhan, kita masih sulit mengetahui bentuk KBBI Braille. Dua berita di media Republika dan Media Indonesia mengabsenkan foto. Kita mencoba mengerti pada keterangan tercantum di Republika: “Setelah pengalihan huruf selesai dan dicetak, dilakukan penyuntingan oleh penyandang disabilitas netra untuk menghindari kesalahan penulisan, keterbacaan, dan sebagainya. Selanjutnya, Gufran mengatakan, KBBI Braille dicetak dan dijilid secara khusus. Dalam setiap jilid berisi 50 lembar kertas khusus cetakan Braille sehingga secara keseluruhan kamus ini terbagi menjadi 139 jilid. Setiap jilidnya terdiri atas bagian depan kamus yang berisi petunjuk pemakaian bagi disabilitas netra serta di sampulnya terdapat logo Braille.”
Deskripsi itu bisa terpenuhi semua dan dicetak dalam jumlah ribuan asal ada dana. Pihak Kemdikbud sudah melaporkan bahwa anggaran terbatas. Penjelasan seperti dikutip di Media Indonesia: “Pada 2019 bisa juga langsung dicetak menggunakan anggaran 2018 yang nanti kami revisi. Akan kami upayakan jika dimungkinkan segera.” Anggaran menjadikan keinginan meraba kamus 139 jilid belum bisa terlaksana penuh. Penantian masih lama. Ribuan kata dan makna ditentukan dana. Kita turut menanti sambil membaca puisi gubahan Joko Pinurbo agar sabar membatalkan protes dan tuntutan berlebihan ke pemerintah.
Berita telat pasang ada di Suara Merdeka, 29 Desember 2018, berjudul “Penyandang Tunanetra Dapat Akses KBBI Berhuruf Braille”. Judul panjang di berita pendek. Berita cenderung mementingkan undang-undang. Kita simak keterangan pejabat di BPPB: “KBBI dalam huruf Braille ini untuk pemenuhan hak warga negara penyandang disabilitas untuk penggunaan informasi mengenai bahasa Indonesia.” Pada akhir berita, kita membaca maksud pembuatan KBBI Braille:“…. demi mewujudkan keadilan dan kemerataan informasi untuk semua kalangan masyarakat.” Kini, kita sudah menempuhi tahun 2019, membawa ingatan sempat dimekarkan bagi kaum tunanetra bakal meraba kamus 139 jilid. Edisi lengkap masih dinantikan, tak perlu ada keluhan atau seribu dalih menunda kegirangan menempuhi halaman-halaman kamus bergelimang makna.
Kita mengandaikan para peraba kamus perlahan bergairah menggubah sastra berupa puisi atau cerita. Mereka bergantian ingin “terbaca” setelah tekun memilih kata-kata di kamus dan memberi pemaknaan. Kamus itu acuan, sebelum mengajak kata-kata mengembara ke bentang makna tak berbatas. Penerbitan kamus belum lengkap, tapi memberi percik ada ikhtiar pemenuhan kewajiban bahasa dan sastra. Kita pun menantikan kamus itu berfaedah bagi penggubah puisi untuk “menjawab” atau bersanding dengan puisi gubahan Joko Pinurbo. Puisi berhuruf Braille mungkin bakal “menantang” Joko Pinurbo dan para penggubah puisi di Indonesia mau memberi persembahan sastra rabaan, tak melulu memberi buku-buku sastra ke mata. Begitu.