Realita sosial tentang bias gender agaknya berhasil dimanfaatkan oleh para sastrawan sebagai bagian dari proses kreatifnya dalam menghasilkan sebuah karya sastra. Berpijak pada pandangan sosiologi sastra bahwa karya sastra adalah wujud manifestasi dari kondisi sosial budaya masyarakat sehingga antara sastra dan masyarakat memiliki keterkaitan yang erat. Sastrawan-sastrawan tanah air yang ‘cukup’ berhasil—dapat dibuktikan legitimasinya dengan menjadi pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta—melakukan imitasi atas budaya patriarki, di antaranya adalah Saman (1998) milik Ayu Utami lewat tokoh Shakuntala, Geni Jora (2004) milik Abidah El-Khaliqy lewat tokoh Kejora, dan masih banyak karya sastra lain yang tidak mungkin disebutkan semuanya di sini. Pada akhirnya, sosok perempuan dalam Saman dan Geni Jora dianggap ‘terpenjara’ gegara superioritas pria. Benarkahseperti itu?
Jacques Derrida, seorang filsuf kelahiran Aljazair, namun menghabiskan waktu di Prancis (1997) dalam karyanya Of Grammatology, menawarkan sebuah metode baru yang menolak kebenaran tunggal, yakni dekonstruksi. Bagi Derrida, dekonstruksi ‘tercipta’ untuk menolak makna umum dalam sebuah teks sastra. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kebenaran tunggal selama ini diyakini oleh teks sastra adalah laki-laki dengan superioritasnya dianggap selalu menguasai, lalubagaimana jika ‘kebenaran’ ini diputarbalikkan menjadi laki-laki sejatinya juga merasa didominasi, tertindas, dan terbebani? Kecurigaan inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Di dalam karya sastra bertopik feminis sendiri, oposisi biner antara superioritas pria dan inferioritas wanita dinarasikan dalam beberapa hal. Satu di antaranya, yaitu laki-laki bebas mendekati wanita yang dicintai, sementara perempuan harus betah dengan satu lelaki. Oposisi biner ini kian memperjelas ihwal kuasa pria atas wanita. Salah satu karya sastra dari penulis Indonesia yang menampilkan oposisi biner di atas dalam karyanya adalah Rahvayana, Aku Lala Padamu (novel karya Sujiwo Tejo, diterbitkan oleh Bentang pada Agustus 2017). Bagi pria, mendekati banyak wanita bukanlahhal yang tabu, sedangkan wanita tercipta untuk menunggu. Gambaran oposisi biner ini dapat dilihat pada novel Rahvana Aku Lala Padamu lewat kisah-kisah pewayangan yang terselip dalam panggung romantisme tokoh ‘Aku’—yang bernama Rahwana—dan tokoh Sinta. Satu di antara tokoh pewayangan yang disebutkan Sujiwo Tejo sebagai wujud kuasa pria dalam menggaet wanita adalah Prabu Citrarata. Berikut kutipannya,
“Di jalan setapak hutan itu, dari balik daun-daun akasia, gunung kembar Renuka sudah terlalu tegang. Rerumputan pada tubuhnya pun terlampau basah demi diintipnya tubuh telanjang Prabu Citrarata setengah berendam digosok-gosok oleh wanita-wanita bugil yang semua menyebalkannya.”
Lewat tokoh Prabu Citrarata, Sujiwo Tejo menguatkan pandangan bahwa laki-laki memiliki ‘hak istimewa’ untuk memiliki beberapa wanita sekaligus. Laki-laki sah-sah saja dikerubungi banyak wanita tanpa perlu mempertimbangkan perasaan wanita tiap-tiap satuannya. Laki-laki kan superior, bukankah begitu? Nyatanya, dalam narasi lain, Sujiwo Tejo justru menunjukkan kesetiaan seorang lelaki bernama Rahwana pada seorang gadis. Berikut kutipannya,
“Tapi, bukan Rahwana kalau tak teguh pendiriannya. Rahwana tak tergoda untuk memburu perempuan Yunani yang ke Afrika hendak belajar sastra Mesir kuno itu. Baginya Dewi Sri di dalam Sukasalya lebih menjanjikan ketimbang Cleopatra.”
Bukti/trace kesetiaan Rahwana pada seorang wanita kian dikuatkan dengan penolakannya terhadap Cleopatra, sebab lebih teguh mengekar Dewi Sri yang menitis dalam tubuh Dewi Sukasalya.
Berdasarkan paparan oposisi biner yang sekaligus ‘perusakan’ konstruksi oposisi biner tersebut, ditemukan sebuah penafsiran atau pemaknaan baru tentang superioritas pria—yang tidak harus diikuti dan diamini—bahwa stigma tentang kuasa pria atas wanita tidak selalu benar. Karya sastra sebagai refleksi kondisi sosial dan budaya masyarakat, ingin menunjukkan bahwa laki-laki tidak selau merasa superior, bahkan laki-laki justru merasa tertekan dengan superioritas itu sendiri.
Bahkan kecurigaan yang ‘paling buruk’ adalah bagaimana jika sebenarnya lelaki tak pernah mau disebut superior? Agaknya gagasan dari Virginia Wolf dalam A Room of One’s Own dapat dijadikan materi renungan yang menarik bahwa menjadi laki-laki atau perempuan yang ‘utuh’ adalah sebuah kesalahan fatal dalam kehidupan. Seseorang pria harus menjadi laki-laki yang keperempuanan, sedangkan seorang wanita harus menjadi perempuan yang kelaki-lakian. Artinya, laki-laki perlu memiliki sisi feminin dalam beberapa kasus dan perempuan juga perlu memiliki sisi maskulin dalam situasi tertentu. Satu-satunya hal yang harus dihindari adalah mengaku superior dan menuduh oposisinya inferior. Sesederhana itu.